LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU
Bab 5
Mataku memanas membuat buliran bening berjatuhan membasahi pipi.
“Eh, Una. Kenapa malah nangis?” Bibi menegur membuatku buru-buru mengusap kasar pipiku yang basah.
“Nggak, Bi. Aku kasihan aja sama anaknya nanti.”
“Anak nggak salah tapi jadi korban. Apalagi katanya calon suami si Desi itu udah punya istri, anaknya masih kecil lagi.”
Tidak, aku tidak sanggup lagi mendengar semua itu. Meski faktanya masih setengah-setengah tapi dari apa yang kudengar itu semua sudah menjurus dan kemungkinan memang Mas Damar lelaki itu, lelaki yang menghamili Desi.
“Bi, malam ini Aslan tidur di kamar Bibi ya. Dia kangen sama Bibi.”
Bibi tersenyum menggodaku, “Iya, Bibi tahu. Nanti malem Damar datang kalian pasti nggak mau diganggu.”
Aku hanya membalas dengan seulas senyum lalu masuk ke dalam kamar.
Rumah yang dulu ditempati olehku dan orangtuaku sengaja ditempati oleh bibi-adik sepupu ibuku-karena rumah tidak baik dibiarkan terbengkalai begitu saja.
Kuhirup udara sebanyak-banyaknya saat sesak masih kurasa. Tidak pernah membayangkan jika lelaki yang menjadi tempatku bersandar, lelaki yang menggantikan ayah untuk menjagaku malah menghancurkanku sampai tak bersisa seperti ini.
Aku tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Padahal sesuai kesepakatan sebelum kami menikah, jika ada salah satu dari kami yang merasa bosan dengan hubungan ini harus dibicarakan, meskipun akhirnya harus berpisah. Dan itu memang lebih baik daripada ditikam dari belakang seperti ini.
Momen-momen bahagia tiba-tiba berkelebat dalam benak membuat darahku semakin mendidih.
Air mata tak bisa lagi kubendung, malam ini kuhabiskan dengan menangis. Tidak peduli besok mataku akan bengkak, sekarang aku hanya ingin mengurangi rasa sesak yang memenuhi rongga dada.
***
Sesuatu yang hangat terasa di puncak kepala. Aku juga merasakan ada sesuatu yang menimpa pinggangku. Kesadaranku belum kembali sepenuhnya. Mataku mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk.
Dada bidang yang tak terbungkus apapun. Pemandangan pertama yang kulihat saat mataku terbuka sepenuhnya, refleks aku mendorong tubuh itu menjauh hingga terjungkal ke bawah kasur.
Suaranya yang terjatuh bahkan terdengar jelas di telinga.
“Sayang, kenapa aku didorong? Pinggangku sampai sakit.”
Suara itu.
Aku merangkak ke tepi ranjang, melihat Mas Damar dengan posisi setengah duduk sambil memegangi pinggangnya.
“Salah sendiri, kenapa pulang nggak bilang-bilang. Aku refleks tadi.”
Tanganku terulur membantunya untuk berdiri.
“Aku datang jam satu dini hari, mana tega bangunin kamu. Ini lagi mata kamu kenapa? Habis nangis karena apa?”
Merasa diingatkan soal semalam. Dia pikir aku seperti ini karena siapa kalau bukan karena dia.
Tapi kondisiku sekarang masih mengantuk dan malas untuk berdebat atau memulai obrolan dengannya.
Aku melemparkan kaosnya yang tersampir di kepala ranjang, “Kebiasaan. Ini di rumah orang, jangan sembarangan buka baju begitu.”
“Panas, sayang.”
Hatiku lebih panas, bahkan sudah mendidih karenamu!
Tidak memperdulikannya, aku kembali berbaring dengan posisi membelakanginya.
Kutepis tangannya yang tiba-tiba hinggap di pinggang.
“Sayang, mumpung kamu bangun. Sebentar aja ya,” bisiknya.
“Aku jijik sama kamu. Jauh-jauh sana! Aku nggak mau disentuh sama tangan yang udah dipake buat pegang perempuan lain.”
Mas Damar membalikkan tubuhku dengan paksa, wajahnya terlihat serius dengan kening yang berkerut.
“Apa maksud kamu? Siapa lagi yang kamu cemburui?”
Kutahan emosi sebisa mungkin. Karena menodongnya juga tidak ada gunanya bisa saja dia berkelit. Jadi lebih baik diam saja untuk saat ini.
“Nggak ada, udah tidur sana. Aku capek banget soalnya.”
“Makanya jangan terlalu kecapekan, kamu jadi uring-uringan nggak jelas gini.” Dia menarikku kedalam pelukannya.
Biasa posisi ini yang kusukai tapi sekarang rasanya aku jijik. Tapi tidak ingin membuat kecurigaan, aku bisa apa selain menerimanya.
Tuhan, jangan biarkan aku berkubang dalam penderitaan. Sudah cukup orang tuaku pergi dan menyisakan luka yang dalam. Jangan buat aku kembali terluka lagi karena lelaki yang begitu aku banggakan.
Masih ada setitik harapan jika semua ini kesalahpahaman.
Aku tidak ingin … tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang menjadi pelindungku.
Tak terasa air mata kembali merembes membuat dadanya basah.
Tahu aku menangis, dia mendekapku dengan erat. Bukannya menjadi tenang tapi rasanya semakin sesak, perih.
Pura-pura itu menyakitkan.
Bersambung ….
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 6Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”Keningku berkerut, “Masker?”“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi
Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mem
“Aku penasaran aja mukanya kayak apa. Pengen bandingin gantengan siapa sama calon suami aku.”Aku memutar bola mata malas, “nggak usah banding-bandingin, semua cowok itu ganteng di mata orang yang tepat.”“Suami mukanya pas-pasan aja pelit banget.”Kulepaskan paksa tangannya, “Udah ya, aku capek banget. Mau pulang. Nggak usah penasaran sama muka suami aku, yang ada nanti kamu jantungan lagi.”“Karena jelek ya?”“Terserah kamu lah mau mikir kayak apa juga, aku nggak peduli.”Aku tidak memperdulikan teriakannya dan terus melangkah menjauh. Datang ke kampung untuk liburan dan silaturahmi bersama keluargaku yang lain tapi malah musibah yang didapatkan. Tapi mungkin jika kau tidak datang kesini aku tidak akan ahu menahu soal Mas Damar yang kemungkinan besar selingkuh dengan Desi.Tapi kalau memang selingkuh kenapa harus Desi? Dia memiliki banyak kenalan wanita yang kulihat dari parasnya lumayan. Bukan aku mengatakan Desi tidak cantik, semua wanita cantik dan memiliki kelebihan masing-masi
“Ya ampun, Mas.”Aku meringis melihat dahinya memar.“Kamu kenapa sih?” tanya Mas Damar sambil mengelus dahinya.“Una, Una. Cepetan dong, aku buru-buru nih.” Desi berteriak dari luar sambil menggedor pintu.Dia bisa membangunkan Aslan jika membuat ribut begitu.Aku menarik Mas Damar ke kamar.Ini menyangkut harga diri, aku tidak mau ada keributan disini meskipun iya Mas Damar dan Desi selingkuh. Tapi aku tidak ingin semua itu terbongkar dan menjadi konsumsi publik, itu aib.Apalagi Desi tidak akan diam saja jika tahu Mas Damar suamiku, bisa jadi seluruh desa tahu. Bukan tidak ingin mempertemukan mereka dan meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak. Banyak yang harus aku pertimbangkan termasuk bukti yang harus ada di tangan.“Kamu diem disini, jangan keluar. Kunci mobil mana?”“Di saku jaket.”Aku meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan merogoh kunci dari dalamnya.“Pokoknya jangan keluar kalau kamu nggak mau celaka.” Aku memperingatkannya sebelum menemui Desi.Mungkin jik
Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
“Kamu pikir, Anto pakai nama aku buat dapetin cewek? Ya ampun kamu udah jadi korban sinetron ya. Aku bahkan nggak kepikiran kesitu. Dia udah lama kerja jadi supir di rumah kita loh.”“Bukan aku yang jadi korban sinetron, bisa aja Anto yang jadi korban sinetron. Dia ngikutin adegan sinetron. Nggak ada yang nggak mungkin.”“Udah, jangan suudzon dulu. Nggak usah nebak-nebak, biar nanti aku cari tahu soal ini. Kemarin aku kasih dia libur selama aku disini, mungkin bakalan agak susah ditelepon karena dia bilang katanya mau balik kampung.”Aku merasa bersalah karena sudah menuduh suamiku sendiri selingkuh. Aku memang bodoh karena temakan omongan Desi yang belum tentu pasti kebenarannya. Bisa saja dia juga tidak hamil. Entahlah ….Sekarang yang terpenting aku merasa lega karena Mas Damar tidak selingkuh. Beberapa hari ini aku dibuat tidak tenang dan malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Beban berat yang berada dipundak langsung menguap seketika.“Maaf.” Aku menatapnya penuh sesal.Saat melaku
“Aku mau lihat dong.”Lancang sekali dia mau melihat suamiku.“Udah ya, aku masuk dulu.”Langkahku terayun masuk ke dalam rumah tidak memperdulikan Desi yang terus memanggil.Buru-buru menyambar handuk dari kamar untuk diberikan pada Mas Damar. Salahku sendiri tadi karena menyeretnya ke kamar mandi tanpa membawa handuk.“Lama banget, kamu dari mana?”“Bawa belanjaan di mobil.”Mas Damar menatap curiga, “Nggak ikut ngegosip sama ibu-ibu lain 'kan?”“Kurang kerjaan banget aku ikut ngegosip.”“Ya siapa tahu kamu pengen cari hal yang baru, di kota mana ada waktu kamu buat ngegosip.”“Meskipun ada aku nggak mau, buang-buang waktu buat hal yang nggak penting kayak gitu.”Meninggalkan Mas Damar. Aku ke dapur untuk menatap belanjaan. Kemarin saja aku pergi belanja sendiri karena tidak mau Mas Damar dilihat orang.Pulang kampung ternyata tidak seindah yang ada dalam pikiranku. Setelah kesalahpahaman soal perselingkuhan sekarang malah jadi bahan gosip, salah apa aku pada mereka hingga mereka me
“Mas, jangan kayak gini dong.”“Berapa kali kamu pernah ketemu saya?”Bola mata Desi bergerak liar, “Sering. Tapi terakhir di hotel itu sekali.”“Sering maksudnya kamu yang melihat saya doang gitu 'kan? Saya juga lihat di video, kamu kayak orang minum.”Desi diam sebentar sebelum menjawab, “karena kamu bilang nggak boleh menegur kalau lagi di kantor biar nggak ketahuan. Di hotel itu kita 'kan minum sama-sama.” Dia malah mendelik padaku.Aku geleng-geleng kepala, menyeringai menatapnya. Mas Damar bukan peminum.“Dasar ular!” Dengan gerakan cepat Desi menjambak rambutku, “kamu bukan istrinya Mas Pras 'kan? Kamu sengaja lakuin ini karena iri.”“Lepas! Jangan sampai saya berbuat kasar sama kamu.” Mas Damar memperingati Desi agar melepaskan tangannya dari rambutku.“Desi, lepas!” Aku meringis saat ia semakin keras menarik rambutku, seolah tidak peduli dengan peringatan Mas Damar.Ibunya Desi bahkan hanya diam seperti mendukung apa yang anaknya itu lakukan, sedangkan orang-orang malah sibuk