LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU
Bab 3
“Terlanjur cinta.”
Cinta biji matamu! Kau hanya cinta hartanya meskipun memang Mas Damar bukan lelaki dengan wajah standar, dia bisa dibilang tampannya di atas rata-rata.
“Emang kamu udah berapa lama sama calon kamu itu?”
Desi menarik tanganku, “Sambil duduk aja ngomongnya, pegel berdiri terus.”
Kuhempaskan bokongku di kursi masih menunggu Desi bicara.
“Tiga bulan.”
Alisku bertaut, “Tiga bulan kamu kenal sama dia terus mau diajak nikah gitu?”
Aku jadi sanksi, jangan-jangan Mas Damar sudah pernah tidur dengan Desi.
Beberapa bulan ini dia memang tidak pernah lagi memintaku untuk melayaninya, dan sepertinya penyebabnya adalah ini. Dia memiliki pemuas lain.
Sudah jelas-jelas ada yang halal malah melirik yang haram.
Setelah ini aku tidak akan mau lagi melayaninya, enak saja. Sudah masuk sangkar orang dan ingin kembali padaku. Tidak akan kuterima.
“Ya ampun, kamu iri banget ya sama aku, Na. Kalau mau nanti aku kenalin sama temennya Mas Pras, tapi nggak bisa ya. Kamu 'kan udah nikah, sayang banget. Padahal kalo kamu belum nikah mungkin bisa dapat yang agak kaya meskipun nggak sekaya Mas Pras.”
Damar Prasetya, suamiku. Orang di kantor lebih mengenalnya dengan nama Pras daripada Damar.
“Na, Una. Kamu di dalam?”
Terdengar suara bibiku memanggil dari luar. Jangan-jangan Aslan sudah terbangun, buru-buru aku keluar.
“Ada apa, Bi?”
“Aslan bangun nyrariin kamu.”
Aku langsung pamit pada Desi.
Aslan tertidur saat kutinggal jalan-jalan sebentar, dia kelelahan karena perjalanan dari kota kesini lumayan jauh.
“Mami.” Aslan melompat memelukku saat aku baru saja masuk.
“Jagoan kenapa nangis? Harusnya kalau Mami di luar, tunggu sampai Mami pulang, nggak boleh nangis.”
“Papi mana? Kapan Papi datang?”
Aslan tidak pernah bisa jauh dari papinya.
Aku ingin tahu apakah benar Mas Damar menjanjikan akan menikahi Desi atau itu hanya bualan Desi semata, karena aku tahu sekali Desi seperti apa. Tidak pernah mau dikalahkan orang lain, bisa saja dia hanya bicara omong kosong.
Tidak bisa jika hanya mendengar penjelasan dari Desi saja. Aku akan mengambil tindakan saat semuanya jelas, penjelasan Desi tidak cukup untuk aku percayai.
“Papi kerja, Nak. Nanti Papi nyusul kesini kok.”
“Aslan mau telepon Papi.”
Kusodorkan ponsel padanya. Ponsel jadul yang sengaja kupakai, sedangkan ponselku sendiri ada di dalam tas. Aku tidak suka menjadi bahan omongan tetangga jadi lebih baik terlihat biasa saja.
Kening Aslan berkerut, “Kenapa handphonenya jelek, Mami?”
“Tapi masih bisa buat telepon Papi kamu.”
“Bisa video call?”
Aku menggeleng, “Biar Mami yang telepon. Aslan main sama Bibi di depan sana.”
Anak itu mengangguk lalu berlari keluar.
Aslan ini mirip sekali Mas Damar, mulai dari wajah dan kelakuannya. Tidak ada sedikit pun yang mirip denganku.
“Kenapa, sayang?”
“Cepet kesini, aku tunggu.”
“Aku masih sibuk.”
“Nggak mau tahu, besok pagi harus ada disini.”
“Tapi-”
Tidak menunggu dia selesai bicara, langsung kuputuskan sambungan telepon.
Aku tidak sabar ingin tahu bagaimana rekasi Mas Damar jika melihat Desi. Banyak pertanyaan yang bersarang di dalam benak soal kebenaran yang tidak bisa kutebak.
“Una.”
Aku terhenyak saat Desi tiba-tiba masuk.
“Kamu bikin kaget aja. Kenapa?”
“Aku belum selesai cerita loh, kamu harus tahu istimewanya calon suami aku.”
“Jadi selingkuhan aja bangga,” gumamku.
“Bangga dong, soalnya selingkuhan yang dinomor satukan.”
Aku tidak habis pikir dengan isi otak Desi. Menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan lelaki kaya.
“Gimana kalo sebenarnya calon suami kamu itu nggak kaya?”
“Maskudnya? Nggak kaya gimana? Jelas-jelas dia CEO.”
“Gimana kalau itu perusahaan istrinya?”
Bersambung ….
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 4Tawa Desi pecah, “Segitunya kamu iri sama aku. Udah nggak usah ngarang cerita, kamu itu kebawa sama sinetron ikan terbang yang kamu tonton. Mending kamu dengerin aja kisah cinta aku sama Mas Pras.”Aku mengalah, “Katakan, seperti apa lelaki yang kamu pamerkan itu. Sehebat apa dia?”“Ja-”“Mami!”Aku tersentak mendengar Aslan berteriak memanggil, buru-buru aku keluar untuk melihatnya. Takut dia terluka atau jatuh.Langkahku terhenti saat melihat Aslan berdiri sambil memperhatikan anak kecil seusianya yang berlari menjauh.“Aslan kenapa, Bi?”“Itu dia mau kapal-kapalan?” Bibi mengarahkan telunjuknya pada baskom berisi air yang berada di teras.“Oh, yang bunyi itu 'kah?”“Iya.”“Beli dimana itu, Bi.”“Di pasar banyak. Kamu nggak pernah kasih anak kamu mainan apa? Biar nanti aku yang beliin, kasihan banget anaknya nggak dikasih mainan.”Perkataan Desi itu seolah-olah aku ini tidak mampu meski hanya sekedar membelikan mainan.“Aslan, sini, Nak.” A
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 5Mataku memanas membuat buliran bening berjatuhan membasahi pipi.“Eh, Una. Kenapa malah nangis?” Bibi menegur membuatku buru-buru mengusap kasar pipiku yang basah.“Nggak, Bi. Aku kasihan aja sama anaknya nanti.”“Anak nggak salah tapi jadi korban. Apalagi katanya calon suami si Desi itu udah punya istri, anaknya masih kecil lagi.”Tidak, aku tidak sanggup lagi mendengar semua itu. Meski faktanya masih setengah-setengah tapi dari apa yang kudengar itu semua sudah menjurus dan kemungkinan memang Mas Damar lelaki itu, lelaki yang menghamili Desi.“Bi, malam ini Aslan tidur di kamar Bibi ya. Dia kangen sama Bibi.”Bibi tersenyum menggodaku, “Iya, Bibi tahu. Nanti malem Damar datang kalian pasti nggak mau diganggu.”Aku hanya membalas dengan seulas senyum lalu masuk ke dalam kamar.Rumah yang dulu ditempati olehku dan orangtuaku sengaja ditempati oleh bibi-adik sepupu ibuku-karena rumah tidak baik dibiarkan terbengkalai begitu saja.Kuhirup udara
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 6Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”Keningku berkerut, “Masker?”“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi
Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mem
“Aku penasaran aja mukanya kayak apa. Pengen bandingin gantengan siapa sama calon suami aku.”Aku memutar bola mata malas, “nggak usah banding-bandingin, semua cowok itu ganteng di mata orang yang tepat.”“Suami mukanya pas-pasan aja pelit banget.”Kulepaskan paksa tangannya, “Udah ya, aku capek banget. Mau pulang. Nggak usah penasaran sama muka suami aku, yang ada nanti kamu jantungan lagi.”“Karena jelek ya?”“Terserah kamu lah mau mikir kayak apa juga, aku nggak peduli.”Aku tidak memperdulikan teriakannya dan terus melangkah menjauh. Datang ke kampung untuk liburan dan silaturahmi bersama keluargaku yang lain tapi malah musibah yang didapatkan. Tapi mungkin jika kau tidak datang kesini aku tidak akan ahu menahu soal Mas Damar yang kemungkinan besar selingkuh dengan Desi.Tapi kalau memang selingkuh kenapa harus Desi? Dia memiliki banyak kenalan wanita yang kulihat dari parasnya lumayan. Bukan aku mengatakan Desi tidak cantik, semua wanita cantik dan memiliki kelebihan masing-masi
“Ya ampun, Mas.”Aku meringis melihat dahinya memar.“Kamu kenapa sih?” tanya Mas Damar sambil mengelus dahinya.“Una, Una. Cepetan dong, aku buru-buru nih.” Desi berteriak dari luar sambil menggedor pintu.Dia bisa membangunkan Aslan jika membuat ribut begitu.Aku menarik Mas Damar ke kamar.Ini menyangkut harga diri, aku tidak mau ada keributan disini meskipun iya Mas Damar dan Desi selingkuh. Tapi aku tidak ingin semua itu terbongkar dan menjadi konsumsi publik, itu aib.Apalagi Desi tidak akan diam saja jika tahu Mas Damar suamiku, bisa jadi seluruh desa tahu. Bukan tidak ingin mempertemukan mereka dan meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak. Banyak yang harus aku pertimbangkan termasuk bukti yang harus ada di tangan.“Kamu diem disini, jangan keluar. Kunci mobil mana?”“Di saku jaket.”Aku meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan merogoh kunci dari dalamnya.“Pokoknya jangan keluar kalau kamu nggak mau celaka.” Aku memperingatkannya sebelum menemui Desi.Mungkin jik
Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
“Kamu pikir, Anto pakai nama aku buat dapetin cewek? Ya ampun kamu udah jadi korban sinetron ya. Aku bahkan nggak kepikiran kesitu. Dia udah lama kerja jadi supir di rumah kita loh.”“Bukan aku yang jadi korban sinetron, bisa aja Anto yang jadi korban sinetron. Dia ngikutin adegan sinetron. Nggak ada yang nggak mungkin.”“Udah, jangan suudzon dulu. Nggak usah nebak-nebak, biar nanti aku cari tahu soal ini. Kemarin aku kasih dia libur selama aku disini, mungkin bakalan agak susah ditelepon karena dia bilang katanya mau balik kampung.”Aku merasa bersalah karena sudah menuduh suamiku sendiri selingkuh. Aku memang bodoh karena temakan omongan Desi yang belum tentu pasti kebenarannya. Bisa saja dia juga tidak hamil. Entahlah ….Sekarang yang terpenting aku merasa lega karena Mas Damar tidak selingkuh. Beberapa hari ini aku dibuat tidak tenang dan malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Beban berat yang berada dipundak langsung menguap seketika.“Maaf.” Aku menatapnya penuh sesal.Saat melaku