‘Aku tak mengerti mengapa mencintai itu bisa sesakit ini. Kupikir cinta akan selalu semanis persis namanya, nyatanya lebih pahit dari apa pun.’Ara membatin kala matanya terbuka perlahan. Mata rapat dipenuhi kotoran kecil. Ia baru bangun, dan Rangga tak ada di sisinya.Posisi Ara kini terbaring di atas ranjang, berselimut hangat. Dia menepuk jidat mengesah.“Dia pasti yang pindahin ke sini,” gumamnya buru-buru bangkit dari ranjang.Ara langsung menuju ambang pintu kamar. Membukanya, lalu memanggil Rangga setengah gila. Demi apa pun, Ara sangat takut kalau laki-laki itu ingkar janji dan malah pulang atau pergi entah ke mana.“Mas Rangaaa!”KLONTRANG! PRAAK!Suara barang jatuh yang menyahut penggilannya pertama kali. Ada suara pecah juga. Kemungkinan itu adalah benda beling kaca.“Apa, Ra?!” Lalu menyusul suara Rangga.Saat itu juga rasa lega menguasai hati Ara. Wanita itu sungguh bersyukur jika Rangga tak mengingkari janjinya.Ara gegas menuruni anak tangga. Tergesa. Ia menuju ke ruang
Tumben. London diguyur hujan deras. Padahal, biasanya tidak. Bahkan udara masuk membawa bau tanah kering yang menusuk hidung.Namun, hal itu tak membuat semangat Fery untuk pulih hilang. Ia bahkan terus melatih otot ibu jarinya yang sudah lumayan bertenaga.Jangan tanya sebahagia apa dia, sudah pasti hatinya melambung tinggi. Sejak ia bisa menggerakan ibu jarinya walau terkadang nyeri karena terlalu sering menggerakannya, Fery tak pernah lagi menangis.“Mas, aku senang kamu sudah ada perkembangan baik begini,” ucap Vina terharu. Gadis yang baru saja kembali dari Jakarta itu sangat bahagia dengan kemajuan pada kakaknya.Fery masih saja menggerakan ibu jarinya, tak peduli meski sekarang ada Vina. Namun, tak lama ia berhenti karena merasa pegal.“Jangan terlalu dipaksakan, Mas. Pelan-pelan saja,” saran Vina seraya menggemggam tangan Fery.Fery mengarahkan pandangan matanya kepada sang adik. Ia baru ingat kalau gadis itu habis dari Indonesia untuk menjual aset terakhir yang mereka punya.
“Uwaah ....”Speechless. Yang Ara lakukan ketika sampai di London adalah membuka lebar mulutnya, memandang sekeliling kagum.Sudah lama sekali semenjak dirinya tak pergi ke luar negeri seperti ini. Dan kota London sudah berubah banyak sejak terakhir kali ia datang.Kota cantik yang dulu ia kunjungi bersama Fery saat bulan madu. Dan itu adalah kali pertama dan terakhir ia datang ke sini.Bibir Ara yang tersenyum penuh kemaguman itu perlahan pudar. Pikirannya diseret jauh ke dalam kenangan lama yang memuakan, tetapi dirindukan olehnya. Dan Ara sungguh bersedih hati sekarang.Ara ingat betul ketika mereka melaksanakan malam pertama dengan begitu romantis di salah satu hotel berkelas di sekitar sini. Melihat letusan-letusan kembang api yang indah di antara gedung-gedung nan tinggi ini di balik selimut yang basah oleh keringat.Dan suasana itu tak akan pernah terlupakan ileh dirinya sedikitpun.Pelukannya, ciuman hangatnya, sentuhan lembutnya, serta bisikan penuh canda itu juga. Ara tak ak
“Mau mulai nyari di mana, Ra? Aku tak yakin akan menemukannya dengan mudah di tempat luas ini,” ucap Rangga.Karena lelah dan ibu hamil itu butuh istirahat yang cukup, jadi keduanya memutuskan untuk memulai pencarian keesokan harinya. Tepatnya hari ini.Rangga dan Ara telah bersiap. Mereka baru turun dari apartemen ke jalanan.“Ke sini,” sahut Ara seraya menunjukan selembar kertas berisi deretan alamat rumah sakit yang menurut Ara besar kemungkinan Fery ada di sana.Rangga mengerti. Laki-laki itu menghela napas cukup panjang, menatap lamat-lamat kertas tersebut sambil mengangguk.“Ya, sudah. Ayo, lebih cepat lebih baik.”“Heem. Kita cuma punya waktu empat hari,” lirih Ara diserang ketidakyakinan. Apakah akan menemukan Fery atau tidak.Sebab ini bukanlah tentang ibarat peternak yang mencari seekor sapi, tetapi ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Ini London, kota yang sangat luas. Tak akan mudah mencarinya hanya bermodalkan nekad.Meski begitu, Ara akan tetap berusaha. Dan usahanya
Di koridor rumah sakit, Ara tercenung sedih. Dirinya sungguh putus asa. Ingin hati untuk menjerit, tetapi mati-matian ia menahannya.“Ra, ini masih satu hari. Dan di sini rumah sakit masih banyak. Kita pasti menemukannya,” kata Rangga menyemangati.Laki-laki itu mengusap bahu Ara untuk menenangkan. Meski sejatinya hati Rangga kini sudah setengah hancur setelah melihat Ara sedih karena memikirkan laki-laki lain.“Tapi, Mas. Kita cuma punya waktu tiga hari lagi. Sepertinya akan sulit. Seperti katamu. Kota ini luas, dan akan sangat susah sekali menemukannya.”Air muka Ara tambah keruh. Hatinya telah dipenuhi dengan keresahan yang kian meletup-letup.Wanita itu menundukkan wajah. Dan Rangga tak sanggup lagi untuk membujukanya atau menghiburnya.“Permisi ... jangan menghalangi jalan.”Beberapa juru perawat lewat membawa branker dorong, membawa pasien terburu-buru. Ara dan Rangga kontan pindah, memberi jalan.Di detik itu juga Ara terpaku. Rongga dadanya mendadak sesak. Mati kutu sebadan-ba
Bu Asti masih melamun sambil menggigiti kukunya sendiri di koridor rumah sakit. Sekarang Fery tengah diperiksa oleh dokter Albert. Dokter baru yang akan menangani Fery. Dan katanya itu adalah dokter terbaik di rumah sakit ini, dan telah berpengalaman mengurus pasien seperti Fery.Vina tiba setelah sebelumnya izin pergi ke toilet.“Ma, gimana kondisinya? Belum selesai diperiksa, ya?” tanyanya mulai cemas.Bu Asti kontan mengerjap kaget. Lamunannya buyar. Padahal, otaknya sedang emmikirkan sosok Ara. Bertanya-tanya apakah tadi itu salah lihat atau tidak.“Kakak kamu masih diperiksa. Sini, mama mau tanya sama kamu.” Bu Asti menyeret anaknya dan duduk di kursi yang tersedia di koridor.Vina bingung. Tak biasanya sang ibu bersikap begini.“Ada apa? Jangan bilang ragu lagi sama dokternya. Mama enggak usah khawatir. Katanya, kan, udah profesional.” Vina menyela. Menyangka jika sang ibu khawatir soal itu.Namun, wanita separuh baya tersebut langsung menggelengkan kepala. Ia menatap dalam pada
‘Benar kata mas Rangga. Mungkin mas Fery sudah sembuh dan tak lagi tinggal di rumah sakit.’ Ara berkata dalam hati.‘Harusnya aku senang, kan? Tapi, kenapa malah sedih begini? Ataukah karena aku kecewa karena dia tak berinisiatif untuk menemuiku atau mengabariku tentang kondisinya setelah pulih?’Ara meremas ujung tangannya sendiri. Frustrasi.Setengah hidupnya sudah hampa, dan sekarang semakin hampa saja setelah benyak menelan kekecewaan yang teramat.“Ra, matahari udah mau tenggelam.” Rangga mengaburkan semua isi pikiran Ara. Laki-laki itu menatap nanar. Berharap agar wanita keras kepala di hadapannya mau menurut kali ini.Bukan apa. Rangga sangat khawatir dengan kondisi kesehatan Ara sebab sedang hamil.“Ya, udah. Ayo pulang, Mas.” Ara berkata lesu. Matanya tak bergairah usai mengatakan itu. Ara berjalan lebih dulu.Rangga menghela napas dalam. Mengeluarkannya pelan beserta kesedihan dalam dada. Melihat punggung Ara yang semakin jauh dari pandangan mata, ia pun segera menyusul.‘Ak
Mata Rangga merah. Perih. Sekelilingnya menghitam. Pagi itu dirinya sungguh lemas bukan main. Setelah semalaman berjuang setengah gila menahan nafsu yang membuncah dalam dada. Dia tak tidur dan berakhir begadang sampai matahari terbit.‘Nggak enak banget rasanya,’ batin Rangga masih sebal.Dia lelaki normal. Ingin juga merasakan kehangatan itu. Namun, ia tak bisa. Sebab, wanita yang ia cinta dan tidur di apartemen sama dengannya itu bukanlah wanisa sah-nya.Rangga tak segila itu sampai harus merayu Ara atau bermain dengan sabun di kamar mandi. Ia sangat mengutamakan harga dirinya sebagai laki-laki dewasa.“Mana mungkin aku harus melepas keperjakaanku dengan sabun. Konyol,” gumamnya semalam.Kasihan sekali dia.Ara berjibaku di dapur sekarang. Tumben.Wanita itu sebenarnya merasa bersalah karena membuat Rangga tidur di sofa semalaman. Karena di apartemen tersebut memang hanya tersedia satu kamar saja, dan Ara tak bisa berbagi ruang. Jadi, untuk menebus kesalahannya, pagi ini Ara menyia