Di koridor rumah sakit, Ara tercenung sedih. Dirinya sungguh putus asa. Ingin hati untuk menjerit, tetapi mati-matian ia menahannya.“Ra, ini masih satu hari. Dan di sini rumah sakit masih banyak. Kita pasti menemukannya,” kata Rangga menyemangati.Laki-laki itu mengusap bahu Ara untuk menenangkan. Meski sejatinya hati Rangga kini sudah setengah hancur setelah melihat Ara sedih karena memikirkan laki-laki lain.“Tapi, Mas. Kita cuma punya waktu tiga hari lagi. Sepertinya akan sulit. Seperti katamu. Kota ini luas, dan akan sangat susah sekali menemukannya.”Air muka Ara tambah keruh. Hatinya telah dipenuhi dengan keresahan yang kian meletup-letup.Wanita itu menundukkan wajah. Dan Rangga tak sanggup lagi untuk membujukanya atau menghiburnya.“Permisi ... jangan menghalangi jalan.”Beberapa juru perawat lewat membawa branker dorong, membawa pasien terburu-buru. Ara dan Rangga kontan pindah, memberi jalan.Di detik itu juga Ara terpaku. Rongga dadanya mendadak sesak. Mati kutu sebadan-ba
Bu Asti masih melamun sambil menggigiti kukunya sendiri di koridor rumah sakit. Sekarang Fery tengah diperiksa oleh dokter Albert. Dokter baru yang akan menangani Fery. Dan katanya itu adalah dokter terbaik di rumah sakit ini, dan telah berpengalaman mengurus pasien seperti Fery.Vina tiba setelah sebelumnya izin pergi ke toilet.“Ma, gimana kondisinya? Belum selesai diperiksa, ya?” tanyanya mulai cemas.Bu Asti kontan mengerjap kaget. Lamunannya buyar. Padahal, otaknya sedang emmikirkan sosok Ara. Bertanya-tanya apakah tadi itu salah lihat atau tidak.“Kakak kamu masih diperiksa. Sini, mama mau tanya sama kamu.” Bu Asti menyeret anaknya dan duduk di kursi yang tersedia di koridor.Vina bingung. Tak biasanya sang ibu bersikap begini.“Ada apa? Jangan bilang ragu lagi sama dokternya. Mama enggak usah khawatir. Katanya, kan, udah profesional.” Vina menyela. Menyangka jika sang ibu khawatir soal itu.Namun, wanita separuh baya tersebut langsung menggelengkan kepala. Ia menatap dalam pada
‘Benar kata mas Rangga. Mungkin mas Fery sudah sembuh dan tak lagi tinggal di rumah sakit.’ Ara berkata dalam hati.‘Harusnya aku senang, kan? Tapi, kenapa malah sedih begini? Ataukah karena aku kecewa karena dia tak berinisiatif untuk menemuiku atau mengabariku tentang kondisinya setelah pulih?’Ara meremas ujung tangannya sendiri. Frustrasi.Setengah hidupnya sudah hampa, dan sekarang semakin hampa saja setelah benyak menelan kekecewaan yang teramat.“Ra, matahari udah mau tenggelam.” Rangga mengaburkan semua isi pikiran Ara. Laki-laki itu menatap nanar. Berharap agar wanita keras kepala di hadapannya mau menurut kali ini.Bukan apa. Rangga sangat khawatir dengan kondisi kesehatan Ara sebab sedang hamil.“Ya, udah. Ayo pulang, Mas.” Ara berkata lesu. Matanya tak bergairah usai mengatakan itu. Ara berjalan lebih dulu.Rangga menghela napas dalam. Mengeluarkannya pelan beserta kesedihan dalam dada. Melihat punggung Ara yang semakin jauh dari pandangan mata, ia pun segera menyusul.‘Ak
Mata Rangga merah. Perih. Sekelilingnya menghitam. Pagi itu dirinya sungguh lemas bukan main. Setelah semalaman berjuang setengah gila menahan nafsu yang membuncah dalam dada. Dia tak tidur dan berakhir begadang sampai matahari terbit.‘Nggak enak banget rasanya,’ batin Rangga masih sebal.Dia lelaki normal. Ingin juga merasakan kehangatan itu. Namun, ia tak bisa. Sebab, wanita yang ia cinta dan tidur di apartemen sama dengannya itu bukanlah wanisa sah-nya.Rangga tak segila itu sampai harus merayu Ara atau bermain dengan sabun di kamar mandi. Ia sangat mengutamakan harga dirinya sebagai laki-laki dewasa.“Mana mungkin aku harus melepas keperjakaanku dengan sabun. Konyol,” gumamnya semalam.Kasihan sekali dia.Ara berjibaku di dapur sekarang. Tumben.Wanita itu sebenarnya merasa bersalah karena membuat Rangga tidur di sofa semalaman. Karena di apartemen tersebut memang hanya tersedia satu kamar saja, dan Ara tak bisa berbagi ruang. Jadi, untuk menebus kesalahannya, pagi ini Ara menyia
Tak ada angin, tak ada hujan. Vina terasa bagai disambar petir ketika berhadapan dengan Ara di apotek itu tanpa diduga. Bahkan sempat merasakan kakinya membeku tak mampu bergerak barang sedetik. Matanya menatap dalam, tak bisa lepas.Entah itu keberuntungan atau bukan, Vina berhasil melarikan diri dari Ara saat itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang, ia berlari sekencangnya.“Vina! Vina!”Bahkan panggilan Ara yang sangat jelas itu tak ia gubris.‘Maafkan aku, mbak. Aku belum siap bertemu muka sama mbak,’ batinnya penuh sesal.Vina lari pontang-panting setengah gila, membelah kerumunan jalan, dan menyeberang sembarangan. Tak aneh jika banyak orang mengumpatinya di jalan itu. Namun, karena kepanikannya lebih besar, Vina tak peduli dan melanjutkan lari bak atlet maraton.Ia berhenti di sebuah gang kecil. Vina berjongkok dengan degup jantung yang amat keras. Napasnya tersenggal. Berkali-kali menoleh ke belakang takut Ara mengejar.Setelah dipastikan aman, barulah Vina merasakan kelegaan yang
Semesta ini seperti sedang mempermainkan Ara. Di saat dia berjuang mati-matian mengejar apa yang menjadi harapannya untuk masa depan, justru masa depan yang ia kejar malah semakin menjauh.Ara tersungkur kelelahan setalah berlarian ke sana ke mari mencari Vina. Bahkan tak terasa waktu tengah hari hampir tiba.Putus asa tak bisa menemukannya, Ara bangkit dan berlari ke toilet umum. Terisak di dalam sana.‘Kenapa kamu pergi, Vina? Kenapa?’ lirih berkata dalam tangisnya.Mengingat raut wajah gadis itu kaget bukan main membuat Ara sadar, bahwa mantan adik iparnya itu sangatlah syok bisa bertemu muka dengannya.Akan tetapi, mengapa harus lari darinya? Satu tanya itu terus menggunduk semakin tinggi di hati. Sayangnya tak ada satupun jawaban yang ia tahu.‘Apa dia sungguh-sungguh ingin tak mau melihatku lagi? Serius?’ batinnya tak paham.Sial. Tangisan Ara tak juga bisa berhenti. Malah semakin menjadi, dan ia hanya bisa meredamnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan.Di saat sama, ponselnya
“Mas, ayo katakan apa rencana kamu itu?” Ara tak sabaran, menagih janji Rangga cepat-cepat, padahal luka bekas teriris pisau di jarinya belum dibalut plester. Rangga baru selesai mengoleskan salep luka.Mata laki-laki itu menatap sepasang iris sendu Ara. Namun hanya sekilas. Kemudian dia kembali fokus pada jari itu.“Sabar, Ra. Plesternya aja belum dibalutkan. Belum lagi makan siang. Aku yakin perut kamu masih belum diisi oleh menu makan siang, kan?” Begitu santainya Rangga berkata.Ah, bisa saja laki-laki itu bicara. Dia sendiri bahkan belum sarapan sama sekali. Di apartemen, masakan itu sudah mendingin dan tak ada yang menyentuhnya.Sementara itu Ara terpaku. Menatap lurus pada Rangga dengan alis yang tertaut hampir menyatu.“Makan siang?” tanyanya pelan.Rangga mengulas senyum seraya menunjukan jam di tangan.“Kamu terlalu fokus mengejar seseorang yang jelas dari kamu, sampai tak sadar waktu sudah begini siangnya.”Kontan Ara menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Benar kata
Lagi-lagi Ara menangih janjinya setelah selesai makan siang. Dia tak akan berhenti merengek kalau yang diinginkannya belum terwujud.Rangga mendesah berat. Hatinya bertanya, inikah akhirnya ia harus mempertemukan Ara dengan keluarga Fery? Rangga sedih. Dan rasa itu tak akan bisa dengan mudah hilang.“Kita bisa cari tahu lewat CCTV,” ucap Rangga akhirnya mengatakan ide sederhananya itu.Ara tercenung. Hah? Hanya itu? Apa bisa? Dirinya sampai meragukan ide Rangga. Namun hati tak bisa dibohongi. Ada segelintir bahagia sebab memiliki sebuah peluang lebih besar untuk menemukan keluarga Fery.“Kita bisa mulai dari sana, ayo.”Ide Rangga tak terlalu buruk. Setelah satu jam menelusuri jejak Vina, akhirnya mereka sampai ke gedung apartemen kumuh yang letaknya berada di gang yang menjorok dalam. Satu persatu pintu diketuk, menanyai apakah mereka mengenal sosok Bu Asti dan Vina, dan apakah mereka tinggal di salah satu aprtemen itu?Keduanya memperlihatkan Foto Vina dan ibunya sebagai alat bantu