Kok gak dimakan?" Pria itu baru sadar kalau sedari tadi Hilma hanya diam melihatnya yang sangat menikmati mie yang ada di hadapannya itu, sampai lupa bahwa ada Hilma yang di mana ia tidak bisa menggunakan sumpitnya. "Gak ada sendok ya?" sindir Hilma, membuat pria itu sedikit tertawa kemudian meminta sendok pada kasir. "Makasih, Mbak." Pria itu memberikan sendoknya pada sang istri, saat ini Hilma baru bisa menikmati mie nya. Gadis itu terdiam sebentar, ia belum pernah menemukan mie senikmat itu. "Enak ya? Itu lah, makanya aku sampe gak ngeh kalau kamu belum makan. Haha, maaf ya."Hilma tersenyum, ia akui mie ini memang enak. Sampai dia sendiri juga diam karena kaget. "Beda ya sama mie di warung-warung," ujar Hilma. "Ya jelas, Ibu. Ini harganya aja berapa."Hilma yang sedang mengunyah melirik suaminya itu. "Memangnya berapa?""Dua puluh lima ribu semangkok itu."Uhuk!"Mie yang terasa pedas itu membuat tenggorokan Hilman rasanya terbakar karena tersedak mendengar jawaban Zafar. Pri
"Besok aku gak ikut ke sawah ya, Pak. Harus liat sawah warga yang dibeli waktu itu buat bangun konveksi. Alhamdulillah yang di Jakarta omset meninggi saat ada pesenan via online. Lebihnya bisa aku pakai buat ngebangun.""Iya, Ujang... gak papa. Kamu fokus aja ke kerjaanmu. Semoga lancar selalu, ya.""Makasih, Pak.""Ayo makan!" kata Hilma, yang sudah membereskan nasi dan lauk di meja makan. "Udah mateng? Tadi katanya masih alot.""Wajannya!" jawab dia, sambil meletakan piring satu per satu. Kemudian mengisinya dengan nasi. "Wah... Kamu tau aja kesukaan bapak. Bebek!" kata Pak Pahan, ia berbinar melihat bebek itu, jika di ingat, sudah hampir lima tahun ia tak makan bebek lagi karena dulu ternaknya habis dijual. "Aa yang beli, Pak," jawab Hilma. "Bapak juga suka? Aku juga sama, suka banget sama bebek. Apalagi dibumbuin pedas begini." Safar turut duduk di samping mertuanya itu. Ia mengambil satu paha bebek, dan memberikannya pada Pak Hasan, kemudian menyendok lagi untuknya.Hilma yan
Melihat Zafar yang terbaring sambil memeluk guling, Hilma memunguti bajunya yang berada di sofa, dimasukkan kembali ke dalam paper bag. Ia kemudian membawa baju yang tadi ia kenakan ke kamar mandi, dan mengganti baju yang sedang dipakai itu. Hilma kembali ke kamar Mengunci pintu dengan pelan, kemudian dia duduk di ranjang. Gadis itu menatap kosong ke bawah, Sedetik kemudian air matanya kembali jatuh membasahi pipi. Dengan segera ia mengusapnya mencoba menenangkan diri, di tatapnya sang suami yang sedang memunggunginya itu. Kemudian Hilma mengambil satu buah bantal dan meletakkannya di sofa, Gadis itu berbaring menatap sang sang suami. Hilma merasa tak enak, jika dipikir lagi benar kata Zafar bahwa mereka terlalu jauh padahal sudah menjadi suami istri. Gadis itu berfikir Bagaimana jika dia mulai untuk mendekatkan diri pada Zafar, seperti apa yang pria itu katakan tadi, bahwasanya mereka cukup menjadi teman saja sementara ini. Mengingat semua kebaikan Zafar membuat hati gadis itu l
Kamu yakin mau jadi temanku?" Gadis itu menatap Zafar yang bertanya serius perihal-hal ini. Kemudian mengangguk. Melihat sang istri yang mengganggu, Entah kenapa Zafar malah merasa ada yang mengganjal dalam hatinya, ia takut jika Hilma menerima semua ini hanya karena terpaksa, bukan karena keinginan dia sepenuhnya. Pria itu membenarkan posisi duduknya, ia mengangkat satu kaki untuk menopang tangannya. "Kamu tidak perlu memaksakan semua ini Hilma, jika memang kamu tidak mau ya tak apa, aku tidak akan memaksa." Hilma diam, padahal dirinya bukan sedang berpura-pura dan juga bukan karena terpaksa menerima semua ini, dia ingin agar lebih dekat dengan Zafar layaknya teman, menyingkirkan segala malu, marah dan rasa ego yang selama ini ia Tanamkan dalam hatinya. Dia meletakkan dodol di meja, kemudian tangannya meraih tangan sang suami, ia menatap pria itu dalam kemudian berucap, "Aku serius, ini semua bukan karena terpaksa, aku ingin mencoba dekat dengan kamu sebagai teman. Jika memang ka
"Kenapa jadi gak suka liat Ajat?" Pertanyaan yang Zafar lontarkan secara tiba-tiba pada istrinya itu. Sambil menikmati snack dan menonton TV, ia nampak terlihat biasa saja dengan pertanyaannya. Padahal Hilma merasa tak suka jika dipertanyakan begitu. "Apa baru sadar kalau udah punya suami? Dulu ke mana aja?""Udah makan aja gak usah banyak nanya!" kata Hilma kesal. "Wajar dong kalo suami mau tau!"Hal itu membuat Hilma melongo, sejak kapan dia mengakui kalau gadis itu adalah istrinya. Padahal selama ini bahkan mereka tak nampak layaknya suami istri. "Kamu kenapa, sih?" Kini gadis itu menatap serius pada Zafar. Pria itu menatap dari ujung matanya, kemudian menggeleng. "Kalo gak papa ngapain nanya mulu.""Iya deh, maaf. Gak lagi."Hilma menghela napas, ia kemudian ke atas meninggalkan Zafar sendirian di bawah. Pria itu mengintip istrinya yang ke atas, kemudian kembali merebahkan diri di sofa. Kenapa Hilma tidak sadar juga, bahwa pria itu sudah sedikit menyimpan perasaan untuknya.
"Sudahlah, aku tau kamu menjalankan semua ini hanya karena dipaksa oleh Haji Burhan bukan? Jika memang kamu mau kita pisah oke! Gak usah menuduhku yang enggak-enggak agar kita berpisah. Malam ini juga aku sama Bapak akan pergi dari sini, jadi kamu bisa dengan bebas melakukan hal apa pun setelah kita berpisah, jangan dipaksakan lagi—""Hilma!" teriak Zafar, membuat gadis itu langung dan dan menunduk, takut. Ia memegangi mulutnya dan beristighfar di dalam hati. Gadis itu kelepasan mengatakan hal itu semua karena dia sedang dalam amarah yang besar. "Maaf... Kamu takut? Maaf ya, a—aku gak sengaja ngebentak kamu," ujar Zafar, yang melihat istrinya menunduk dalam dengan tangan yang gemetar. "Dengar Hilma, semua yang aku katakan padamu maaf jika telah membuatmu sakit hati ataupun merasa kecewa. Tapi sumpah demi Allah, aku mengatakan itu bukan untuk menuduhmu, saat itu aku hanya bercanda, semua perkataan itu tuh hanya bercanda. Tidak ada niat sedikitpun untukku menuduh kamu masih mencintai
Gadis itu menghela napas pelan, kemudian mencoba untuk terpejam, tapi masih tidak bisa. Sedangkan waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, gadis itu kemudian pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian melaksanakan solat hajat, ia ingin meminta untuk kebaikan rumah tangganya, juga kebaikan untuk keluarganya. Sedangkan di rumah Haji Burhan, Zafar tengah menatap langit-langit kamar dengan mata yang sayu, pria itu sengaja ke sana untuk menenangkan hati dan pikiran, bukan karena ingin berbincang soal konveksi semata. Karana tidak tidur, pria itu keluar dari kamar menuju ke balkon. Berdiri menatap ke depan sawah yang luas, menikmati semilir angin malam yang menyentuh wajahnya. Kemudian mata pria itu mengerjap saat menatap seseorang yang ia kenal sedang melambaikan tangan sambil tersenyum di bawah. Ia mengucek matanya takut salah liat, dan benar saja bayang-bayang Hilma itu hilang. Zafar duduk menatap rembulan, ia bingung hal apa yang harus dilakukan agar Hilma mau meneriman
Bukannya menjawab pertanyaan Zafar, gadis itu malah bertanya balik. Ia melirik suaminya itu dengan tatapan dalam padanya. Menerka-nerka kenapa bisa Zafar jatuh hati padanya padahal dulu ia nampak tak sudi bersentuhan saja. "Sudah mau tiga bulan, bagimu itu cepat?" Gadis itu melemparkan pandangan ke arah lain. "Iya. Karena kita kenal setelah menikah, kecuali kita sudah lama saling tau.""Bagaimana caranya biar kamu percaya bahwa aku siap untuk menjadi suamimu seutuhnya, Hilma?"Hening.... Gadis itu tak mampu menjawab, ia berpikir lebih dulu takut sampai salah bicara, tapi malah diam membisu karena bingung harus mengatakan apa. "Aku tau pergaulanku dulu seperti apa. Tapi tolong, Hilma, berikan kesempatan untuk aku berubah, ini sedang proses memperbaiki diri.""Hanya untuk memenangkan hatiku?"Kini Zafar yang diam, bukan itu maksud dia, bagaimna caranya agar Hilma sadar bahwa kini pria itu sudah benar-benar berubah tak seperti dulu lagi. ***Setelah perbincangan tadi di danau, kini