"Kami nggak lama, Mbak, harus melanjutkan perjalanan segera. Ada urusan mendesak besok pagi," jelas Azman bersamaan Abi Nailah meletakkan piringnya yang telah kosong."Bermalam saja dulu, Nak. Tak ada kapal yang berangkat malam." Ibu menimpali."Lain kali aja, Tant. Kami lewat darat. Aku yang nyetir," jelas Azman diangguki lelaki datar di sampingnya."Sebenarnya Nailah pengen tinggal di sini sama Ummi dan Azmi. Tapi nggak dibolehin Abi." Nailah menunduk setelah melihat abinya sesaat. Ada sedih di balik wajah putih bak pualam itu. "Tidak apa-apa, Sayang. Dua tiga hari ini, ummi dan Azmi akan ke sana." Nailah langsung terlonjak dengan mata berbinar menanggapinya. "Janji, ya, Ummi." Aku menaikkan jari tengah dan telunjuk membentuk V meng-iya-kannya."Tunggu sebentar," kataku, lalu masuk membungkuskan makanan dan kue-kue untuk di jalan. Juga oleh-oleh buat Simbah, Reta, dan Mas Gading. Sekaligus enam lembar sarung baru -kado waktu nikahanku dulu yang belum tersentuh- untuk Simbah. Be
"Kami pulang dulu, Nak Bulan, besok-besok ke sini lagi, oh, ya, nggak papa, kan, Azmi sekali-kali kami bawah ke rumah?" Mama muncul bersama Azmi dalam gendongan kakak Mas Rio. Aku mengangguk lalu mengantarnya turun ke bawah. Untung mereka muncul tepat waktu, jadi tak perlu pusing merangkai kata menjawab Reta. Pernyataan Mas Gading sebelum ke sini membuatku serba salah membahas Mas Rio di depannya. "Makasih untuk hari ini," ujar Mas Rio sambil menyodorkan ponselku yang sempat terlupa lagi. Aku meraih cepat benda persegi itu tanpa ada keinginan menatap wajahnya. Entahlah, rasa takut menghalangi melakukan itu. Takut hatiku melemah, takut ibaku mendominasi, dan takut tak bisa menolaknya. Arght! Sekuat aku menanam benci, ada rasa entah yang begitu menekan."Besok aku ke sini lagi, sekalian bertemu Azmi," ujar Mas Rio lagi. Aku mengangkat kedua bahu sebagai jawaban terserah. Aku tak ingin dia berperasangka lebih, jangan sampai dia mengira aku siap diajaknya janjian.Sebagai anak yang didid
Pov Rio Arindra"Aku malu kalau perjodohan itu tak sampai ke pernikahan, Rio. Apa kata orang-orang nantinya? Di mana letak posisi kita sebagai manusia yang dipegang kata-katanya? Kalau tak mampu mewujudkan sebuah janji?" Entah keberapa kali kalimat seperti itu, mama perdengarkan di telingaku. Hingga hari ini, ini, asam lambungnya meningkat dan terbaring sakit di rumah. Bukan karena perjodohan itu saja yang tidak bisa masuk di akalku pada jaman modern dan digital ini. Selain karena sudah punya calon pendamping yang sempurna dan telah berjalan tiga tahun tak terasa. Juga, gadis dipilihkan mama-papa itu adalah sahabat dari kekasih belahan jiwaku.Alangkah tak berfungsinya otak ini, bila Marta yang cantik nan seksi, kutukar dengan ... arght! Namanya saja sangat norak. Bulan? Kayak nama-nama wanita jaman purba saja, Sari Bulan, Mega Bulan, Naga Bulan, Ah, itu nama-nama wanita tempo doloe. Intinya nggak kekinian. Bagaimana bisa mengajaknya ke acara-acara kantor? Kalau namanya aja aneh begi
Pov Rio ArindraJantung seakan berderap seperti mau perang ketika mama memintanya melepas jilbab dan aku disuruh memasang kalung di leher wanita tak elok di mata itu. Memang aku tak pernah melihatnya bertelanjang kepala, bahkan wajahnya saja tak pernah kuperhatikan seksama selain ketika bertengkar, berdebat, dan saat-saat emosi jiwa membuncah. Ah, kenapa ada desir aneh saat berjarak beberapa jengkal dengannya? Ternyata di balik pakain tak kekinian itu dia memiliki keindahan alami tanpa menggoyangkan isi dompet. Arght! Harum tubuhnya mulai memorandakan ketenanganku, juga melengserkan persepsi buruk kepadanya. Dia jauh lebih dari wanita yang kupuja.Pertengkaran hebat terjadi saat kami pulang dari mama. Marta membanting foto pernikahanku dengan sahabatnya karena cemburu. Entah kenapa tiba-tiba saja membawa bingkai yang menyimpan momen bersejarah itu. Selain ingin menggantungnya di dinding sebagai jaga-jaga tidak tersingkapnya kebobbrokan rumah tangga akibat ulahku ke keluarga besar. Ju
Pov Rio Arindra"Mas fikir Bulan akan kembali? Nggak usah buang-buang waktu menunggunya. Kalau aku saja sahabat dikhianati, apalagi kamu yang memang nggak pernah berbuat apa-apa." Marta terus mengomel melihat kamar Bulan telah selesai direnov. Aku membuatnya lebih luas, unik, dan menyambungkan ke taman belakang. Wanita yang telah tersakiti itu paling suka tanaman. Aku mengetahuinya, saat sering tak sengaja setiap pulang dari kantor dan sehabis makan masakannya, terihat dari jendela kamarku dia menanam dan merawat sayur-sayuran jangka pendek. Daun sop, tomat, Cabe, kacang panjang, tersusun rapi beserta bunga. Setelah menyirami tanamannya dia akan menghabiskan sore menatap kilauan cahaya matahari berwarna keemasan sampai lenyap di ufuk barat. Ah, baru kini kusadari, tempat itu sangat damai setelah mengikuti kebiasaannya, itupun setelah dia tiada.Bertambah-tambahlah rasa sesal ini menekan, mengetahui tanaman itu sepenuhnya dia belum nikmati dan pergi. "Mas tak boleh ke mana-mana!
POV Rio Arindra[Dengar-dengar, mbakmu sudah punya anak, ya?] pesanku pada Rina.Informasi Andi membuatku sangat penasaran. Apalagi pertemuan dengan seorang bocah laki-laki yang sangat mirip denganku di acara ultah anak cabang perusahaan di daeran Tenggara bagian Sulawesi kian membuat harapku besar, sekaligus takut pada waktu bersamaan dengan cerita Andi. Meski tipis aku berharap bocah itu anakku dari Bulan. Namun, takut jika Bulan punya anak dan bukan dariku. Berarti? Bulan telah termiliki di sana dan perkataan Marta yang selalu menjelekkan sahabatnya benar. Wanita yang membuatku rindu setengah mati itu benar-benar pergi karena menghianati? Arght! Masalah yang kian menumpuk mulai tak menormalkan otakku.[Mas mau tahu pasti? Atau sekedar pingin cari kabar saja?][Tentu][Okey! Rina sudah percaya sama, Mas Rio. Karena melihat kesungguhan Mas selama ini][Maksudnya?][Bapak ada di rumah sakit sekarang, mungkin Mbak Bulan datang besok. Jangan sia-siakan kesempatan ini kalau Mas benar-b
Keesokan harinya setelah acara Rina, aku, Reta, dan Mas Gading berencana ke Pare-pare. Kami sudah susun akan berangkat sore agar bisa melihat semburat cahaya merah di balik pulau kecil, yang berdiri di tengah laut pantai Senggol. Sungguh indah moment-moment itu, apalagi sambil makan ubi goreng ditemani sarebba -minuman khas Bugis, yang berbahan jahe, gula merah, santan, dan susu- maka hidup terasa nikmat.Kenapa hatiku terasa ngilu mengingat kota kenangan itu? Mungkinkah karena pernah hampir dua bulan, hanya berputar-putar saja tanpa tujuan membuat lukaku terkuak? Duh, Mas Rio ... Mengingat betapa tersesatnya aku atas perlakuanmu dulu, selalu menciptakan perih di hati. Meski diri telah mencoba menerima segala maafmu sekarang tapi tak memungkiri selalu sesak mengingat masa-masa indahmu dengan wanita pujaanmu, sekaligus masa terdownnya seorang wanita yang berusaha menjadi istri sholehah sekaligus anak berbakti. "Jadi berangkat?" Reta menyadarkanku dari kungkungan masa-masa terpuruk.
Setelah satu jam setengah perjalanan, mobil memasuki kota. Debar entah di dada begitu nyata menyaksikan semua tempat yang pernah kusinggahi, bahkan yang hanya tertangkap mata saja. Oh, kenagan itu begitu nyata antara manis dan pahit bergumul di memoriku, betapa rasa ini syahdu tak terelak.Pare-pare ... Ada kerinduan kokoh di sisi hati, tentang semua kenangan manismu. Namun, sisi lainnya ada benci yang bersarang rekat akibat sebuah luka."Move on, lah, Bebz! Hidup itu dinikmati, bukan ditangisi." Reta menyadarkanku dari lamunan dengan sedikit tepukan di bahu. Walau ada rasa bimbang, tetap jua mengikuti langkah dua bersaudara itu menyusuri pantai Senggol di antara kafe mini dan warung-warung khas daerah.Semua berjalan sesuai rencana. Reta dan Mas Gading menikmati matahari tenggelam sambil berselfia ria. Sedang aku melaluinya dengan seporsi makanan khas Bugis sambil mengulik setiap jengkal kenangan indah yang telah terserak, ah, sesak selalu saja merajai ketika memandang pulau yang sep