“Coba cari lagi yang benar, Tuan!” pinta Zia sedikit panik. Sean kembali merogoh saku celana depan dan belakangnya, sementara Zia merogoh saku jaket Sean yang melekat pada tubuhnya. Kedua saling bertukar pandang. Sean menggelengkan kepalanya, isyarat tak menemukan apapun. Zia menggigit bibir bawahnya lalu ikut menggelengkan kepalanya, isyarat kalau ia juga tak menemukan dompet Sean dalam jaketnya. Perlahan keduanya menoleh pada pedagang cakwe. Mereka langsung disambut senyuman intimidasi dari pedagang tersebut. Tentu saja pedagang tersebut tak mau tahu masalah yang dihadapi Sean dan Zia. Ia hanya tahu dagangan yang sudah mereka makan dan yang berada di tangan Zia harus segera dibayar. Zia lalu menoleh pada Sean dengan tatapan merasa bersalah. “Tuan, mungkin tertinggal di mobil?” tanya Zia mencoba tenang. Sean terdiam, mencoba mengingatnya. Tiba-tiba kedua bola matanya membulat sempurna. Ia ingat kalau sebelumnya bertabrakan dengan beberapa pria sebaya dengannya saat berdesak-desak
“Gadis kecil, kamu bawa ponsel ‘kan?” tanya Sean dengan tatapan penuh harap. Wajah Zia langsung berseri. Benar ia melupakan ponselnya. Tangannya kembali merogoh tote bag-nya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Ralat! Itu ponsel milik Sean yang diberikan padanya selama kontrak kerja.“Saya pinjam dulu, yah!” ucap Sean setelah menerima ponsel Zia.Sean langsung menghubungi pak Sadin melalui ponsel Zia. Benar, hanya pak Sadin lah yang bisa menyelamatkan dirinya dan Zia. Sejujurnya Sean juga merasa bersalah. Lelaki itu sudah melihat wajah ceria Zia saat mengajaknya ke pasar malam, tetapi harus sirna karena sebuah kemalangan yang tak terduga. Akhirnya kekhawatiran Sean berakhir. Pak Sadin berhasil dihubungi dan langsung bergegas menuju tempat mereka berada. Sean mengukir senyuman pada Zia, hingga wajah Zia langsung berubah lega.“Tunggu sebentar, Pak. Saya pasti akan membayar dagangannya,” ucap Sean pada pedagang itu dan ditanggapi tatapan acuh.Sean lalu menoleh pada Zia yang kini memilih
Deru napas Zia berpacu cepat, ia kembali memasang meringis. Bisikan Sean membuat bulu kuduknya berdiri. Haruskah ia mengaku mencuri uangnya Sean? Sebenarnya ia tahu kalau Sean pasti menyadarinya, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengakuinya“Kenapa? Kamu masih tak mau mengakuinya, Gadis Kecil?” bisik Sean lagi hingga membuat tubuhnya makin merinding.“Baiklah kalau begitu, aku mengaku kalau dulu mencuri uangmu, Tuan. Tapi, sekarang kan uangmu hilang karena kecerobohanku bukan aku yang mencurinya,” sahut Zia pasrah. Nadanya sedikit bergetar. Ya, ia tak bisa selamanya bersikap pura-pura tak terjadi apapun di antara mereka berdua. Zia memilih pasrah dan memang seharusnya ia bersikap seperti itu, ‘kan? Sean tersenyum puas, akhirnya gadis kecilnya bisa menurut padanya. “Tapi tetap saja kamu yang membuat aku kehilangan uangku lagi,” tekan Sean makin mengencangkan kuncian, ia makin memeluk erat tubuh Zia dari belakang.Zia terbatuk. Ia terkejut Sean seolah menuntut tanggung jawabnya da
“Saya baik-baik saja, Pak Sadin,” ucap Sean langsung diakhiri senyuman lebarnya.Pak Sadin menghela napas panjang. Tatapan khawatirnya berkuran setelah melihat senyuman Sean. Kemudian ia menoleh pada gadis kecilnya Sean.“Kenapa dengan Nona Zia? Apakah terjadi sesuatu dengan Nona Zia?” tanya pak Sadin dengan tatapan cemas.Sontak saja Zia langsung menaikkan pandangannya. Zia tak menyangka pak Sadin mengkhawatirkan dirinya juga. “A—aku tidak apa-apa,” sahutnya gagap.“Kami tidak apa-apa, Pak Sadin. Hanya ada insiden kecil di sini. Bisakan pak Sadin membantu saya?” sela Sean langsung, hingga atensi pak Sadin langsung tertuju padanya.“Apa itu, Tuan?” tanya pak Sadin langsung.Sean tersenyum tipis sebentar. “Tolong bayarin cakwe di pedagang itu! Sepertinya saya kecopetan, jadinya saya tidak bisa membayarnya,” jelasnya seraya mempertahankan senyuman tipisnya.Tanpa bertanya, pak Sadin langsung menghampiri pedagang tadi dan menanyakan total yang harus dibayarkan Sean. Wajah pedagang itu te
“Seharusnya Tuan Sean bisa lebih hati-hati dan hindari tempat-tempat tidak penting seperti ini. Sekarang ‘kan Tuan kehilangan dompet dan ponselnya karena tempat-tempat seperti ini tidak aman buat Tuan Sean! Kalau sudah begini, pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus semua surat kehilangan. Terus isi ponsel Tuan Sean, pasti banyak yang penting di sana,” cerocos pak Sadin menyambung ocehannya, tanpa memperdulikan isyarat Sean yang memintanya untuk diam.Ya, sejak pak Sadin bersuara, Sean terus memberikan isyarat dengan tangannya meminta pak Sadin berhenti. Sean bahkan berusaha meraih mulutnya pak Sadin, tetapi tangan lelaki tua itu langsung menepis tangannya. Sean akhirnya berdesis keras saat pak Sadin hendak membuka mulutnya.Pak Sadin baru mengerti isyarat dari Sean, saat lelaki itu selesai mendesis dan melirik pada Zia. Tentu saja wajah Zia merah padam. Lelaki tua berkacamata itu memasang wajah bersalah dan tersenyum penuh penyesalan.Tanpa izin, tangan Zia menyambar c
“Tunggu, Gadis kecil!” pekik Sean panik saat menyadari Zia hendak membuka pintu mobil seberangnya.Zia terkejut. Sean langsung memasang senyuman canggung menutupi rasa canggungnya. Gadis Kecilnya tidak boleh tahu kalau dirinya ceroboh. Dompet dan ponselnya tidak dicuri, tetapi terjatuh di atas jok tempatnya duduk.Hatinya terus merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa, dirinya tak kepikiran kalau dompet dan ponselnya tertinggal di mobil. Ia malah berasumsi ada pencuri hanya karena tempat yang mereka kunjungi sangat ramai. “A--ada apa, Tuan?” tanya Zia kebingungan.Tentu saja Zia bingung. Perintah Sean mengejut dirinya hingga membuat wajah Zia tampak seperti orang linglung. Ia bahkan refleks menjauhkan tangannya dari handle pintu dengan tatapan ketakutan.Mulut Sean menganga sesaat. Ia lalu menoleh ke arah kanan mereka seraya mencari ide untuk mengalihkan perhatian gadis kecilnya. “Ka—kamu tidak ingin membeli sesuatu sebelum kita pulang?” tanya Sean asal.“Tidak ada, Tuan,” jawab Zia ce
“Selamat pagi, Nona Zia,” sapa bi Asti saat Zia baru saja membuka pintu kamarnya.“Selamat pagi, Bi Asti,” balas Zia diakhiri senyuman ramahnya.Gadis melirik ke lantai dua, tepatnya ke arah kamar Sean setelah menjawab sapaan bi Asti. Entah kenapa ia merasa penasaran dengan lelaki itu. Sepulangnya tadi malam, tepatnya setelah ia mengatakan tak akan mengelak, Sean hanya memilih diam dan tak banyak bertanya.“Tuan Sean sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nona,” ucap bi Asti menyadari raut wajah Zia penuh tanya.Zia hampir tersentak. Sejelas itukah rasa penasarannya di wajahnya? Gadis itu menggigit bibir bawahnya menyadari bi Asti tersenyum padanya. Ia lalu menatap jam dinding pada tembok ruang tengah.“Pagi-pagi sekali?” guman Zia seraya memasang wajah heran. Mungkinkah Sean menghindarinya, tebak Zia. Sejujurnya ia merasa heran karena pamannya terdiam sejak pulang tadi malam. Zia pun mencoba mengingat ulang rangkaian kejadian tadi malam.“Ada apa, Nona Zia? Apakah Nona memerlukan sesuat
“Aku akan menjadi Nyonya Mahandika! Jadi jaga sopan santun kamu, pembantu sombong!” geram Agnes seraya menunjuk pada wajah Asti.Dunia Zia terasa terdiam sesaat mendengar ucapan gadis di hadapan bi Asti. Hatinya terasa perih mendengar ucapan gadis bernama Agnes tersebut. Kedua bola matanya tiba-tiba terasa perih.Cepat-cepat Zia mengatur napasnya. Ia tak seharusnya merasa sakit hati dan kecewa saat mengetahui gadis itu adalah calon istrinya Sean. Gadis itu jauh berkali-kali lipat lebih cantik dari dirinya dan juga Agnes terlihat lebih berkelas serta sepadan dengan Sean.Kenapa hatinya terasa sangat sakit dan kecewa dan ia ingin menangis saat itu juga. Zia lantas memberanikan diri menatap dua wanita yang masih berseteru. Wajahnya langsung memasang heran saat melihat bi Asti tertawa kecil.