“Seharusnya Tuan Sean bisa lebih hati-hati dan hindari tempat-tempat tidak penting seperti ini. Sekarang ‘kan Tuan kehilangan dompet dan ponselnya karena tempat-tempat seperti ini tidak aman buat Tuan Sean! Kalau sudah begini, pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus semua surat kehilangan. Terus isi ponsel Tuan Sean, pasti banyak yang penting di sana,” cerocos pak Sadin menyambung ocehannya, tanpa memperdulikan isyarat Sean yang memintanya untuk diam.Ya, sejak pak Sadin bersuara, Sean terus memberikan isyarat dengan tangannya meminta pak Sadin berhenti. Sean bahkan berusaha meraih mulutnya pak Sadin, tetapi tangan lelaki tua itu langsung menepis tangannya. Sean akhirnya berdesis keras saat pak Sadin hendak membuka mulutnya.Pak Sadin baru mengerti isyarat dari Sean, saat lelaki itu selesai mendesis dan melirik pada Zia. Tentu saja wajah Zia merah padam. Lelaki tua berkacamata itu memasang wajah bersalah dan tersenyum penuh penyesalan.Tanpa izin, tangan Zia menyambar c
“Tunggu, Gadis kecil!” pekik Sean panik saat menyadari Zia hendak membuka pintu mobil seberangnya.Zia terkejut. Sean langsung memasang senyuman canggung menutupi rasa canggungnya. Gadis Kecilnya tidak boleh tahu kalau dirinya ceroboh. Dompet dan ponselnya tidak dicuri, tetapi terjatuh di atas jok tempatnya duduk.Hatinya terus merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa, dirinya tak kepikiran kalau dompet dan ponselnya tertinggal di mobil. Ia malah berasumsi ada pencuri hanya karena tempat yang mereka kunjungi sangat ramai. “A--ada apa, Tuan?” tanya Zia kebingungan.Tentu saja Zia bingung. Perintah Sean mengejut dirinya hingga membuat wajah Zia tampak seperti orang linglung. Ia bahkan refleks menjauhkan tangannya dari handle pintu dengan tatapan ketakutan.Mulut Sean menganga sesaat. Ia lalu menoleh ke arah kanan mereka seraya mencari ide untuk mengalihkan perhatian gadis kecilnya. “Ka—kamu tidak ingin membeli sesuatu sebelum kita pulang?” tanya Sean asal.“Tidak ada, Tuan,” jawab Zia ce
“Selamat pagi, Nona Zia,” sapa bi Asti saat Zia baru saja membuka pintu kamarnya.“Selamat pagi, Bi Asti,” balas Zia diakhiri senyuman ramahnya.Gadis melirik ke lantai dua, tepatnya ke arah kamar Sean setelah menjawab sapaan bi Asti. Entah kenapa ia merasa penasaran dengan lelaki itu. Sepulangnya tadi malam, tepatnya setelah ia mengatakan tak akan mengelak, Sean hanya memilih diam dan tak banyak bertanya.“Tuan Sean sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nona,” ucap bi Asti menyadari raut wajah Zia penuh tanya.Zia hampir tersentak. Sejelas itukah rasa penasarannya di wajahnya? Gadis itu menggigit bibir bawahnya menyadari bi Asti tersenyum padanya. Ia lalu menatap jam dinding pada tembok ruang tengah.“Pagi-pagi sekali?” guman Zia seraya memasang wajah heran. Mungkinkah Sean menghindarinya, tebak Zia. Sejujurnya ia merasa heran karena pamannya terdiam sejak pulang tadi malam. Zia pun mencoba mengingat ulang rangkaian kejadian tadi malam.“Ada apa, Nona Zia? Apakah Nona memerlukan sesuat
“Aku akan menjadi Nyonya Mahandika! Jadi jaga sopan santun kamu, pembantu sombong!” geram Agnes seraya menunjuk pada wajah Asti.Dunia Zia terasa terdiam sesaat mendengar ucapan gadis di hadapan bi Asti. Hatinya terasa perih mendengar ucapan gadis bernama Agnes tersebut. Kedua bola matanya tiba-tiba terasa perih.Cepat-cepat Zia mengatur napasnya. Ia tak seharusnya merasa sakit hati dan kecewa saat mengetahui gadis itu adalah calon istrinya Sean. Gadis itu jauh berkali-kali lipat lebih cantik dari dirinya dan juga Agnes terlihat lebih berkelas serta sepadan dengan Sean.Kenapa hatinya terasa sangat sakit dan kecewa dan ia ingin menangis saat itu juga. Zia lantas memberanikan diri menatap dua wanita yang masih berseteru. Wajahnya langsung memasang heran saat melihat bi Asti tertawa kecil.
Pak Sadin memperhatikan raut wajah Sean sejak turun dari mobilnya. Ia bisa menangkap jelas kalau atasannya itu tengah menahan amarahnya, tetapi Sean berhasil mengendalikan semua rasa marah dan kesal. Benar, itulah Sean.Sikap itulah yang membuat pak Sadin bangga pada Sean. Lelaki itu selalu bisa mengendalikan perasaannya jika sudah terjun dalam masalah pekerjaannya. Ya, hingga jam istirahat tiba Sean masih bisa tersenyum pada semua karyawannya.Sean bahkan tak terpancing emosi karena teriknya matahari yang membuat butiran keringat meluncur melewati dahinya. Helm proyek yang Sean kenakan tak cukup ampun melindungi wajahnya dari kilauan panasnya cahaya matahari. Lelaki itu masih terlihat bersemangat meninjau pembangunan bangunan kokoh nan tinggi untuk cabang hotelnya.“Tuan, mau langsung pulang ‘kah?” tanya pak Sadin saat memasuki jam istirahat karyawannya. Artinya peninjauan Sean sudah selesai. “Saya akan meminta pak Anwar yang bertugas sebagai leader untuk merangkum laporan bulan ini.”
“A—aku tidak apa-apa, Bi Asti,” sahut Zia gagap, ia lantas tersenyum canggung untuk menutupi rasa salah tingkahnya. Indera penglihatan Zia berselancar seraya mencari ide agar dirinya tak makin salah tingkah. Benar, dirinya menyadari kalau kini pasti terlihat aneh di mata bi Asti. “Aku ke kamar dulu, Bi,” ujarnya seraya melangkah meninggalkan meja makan di belakangnya.“Nona Zia?” panggilan bi Asti menghentikan langkah kakinya hingga Zia memilih memutar tubuhnya dan menatap bi Asti. “Nona Zia, belum menghabiskan sarapannya.”Zia mengukir senyuman canggung. Kemudian ia berbalik ke arah meja makan dan meraih piring dan minumannya yang belum tersentuh. “Aku sarapan di kamar aja, Bi. Lupa, kalau lagi nyusun daftar interview buat tuan Sean,” ucap Zia seraya menunjukkan isi di atas kedua tangannya.Bi Asti tak protes. Ia hanya bisa memandangi tubuh Zia yang menjauh dari pandangannya. Wanita itu dapat melihat tatapan sedihnya Zia.“Kasihan nona Zia, pasti sedih karena ulah nona Agnes,” guman
“Kak Risma?” Kedua bola mata Zia yang memerah langsung berbinar menatap seorang wanita di hadapannya. Gadis itu langsung menghambur dalam pelukan Risma, editor sekaligus sahabatnya. Benar yang diucapkan Risma, surprise untuknya.“Hei, kamu kenapa?” tanya Risma seraya mengerutkan dahinya, tetapi ia justru mengeratkan pelukannya. “Serindu itu kamu sama aku?” duganya.Risma tidak tahu kalau air mata Zia mengalir deras dalam pelukannya. Cepat-cepat, Zia mengusap air matanya. Ia tidak ingin membuat editornya khawatir pada dirinya. Zia melatih senyumannya sebentar sebelum melepaskan pelukannya.“Tentu saja aku rindu sama Kak Risma,” ucap Zia diakhiri bibirnya yang maju. Ia pura-pura kesal dengan pertanyaan yang dilontarkan Risma padanya. “Kak Risma tega banget ngurung aku di sini!” protesnya.Editornya kembali mengerutkan dahinya. Ia menatap gadis di hadapannya heran. Indera penglihatan Risma langsung tertuju pada isi kamar di belakang tubuh Zia, kemudian kedua bola matanya langsung membes
“Maaf, Tuan Sean,” ucapan Sadin langsung Sean membuka kedua kelopak matanya.Sean yang tengah meneangkan isi pikirannya dengan memejamkan matanya sepanjang perjalanan pulang, terpaksa harus membuka matanya. Suara pak Sadin terdengar berat dan sungkan. Ia hanya berdeham pelan, memberi isyarat agar pak Sadin meneruskan kalimatnya.“Tadi telepon dari bi Asti. Nona Agnes datang ke mansion dan mengatakan kalau dia adalah tunangan Tuan Sean pada nona Zia ...,” penjelasan pak Sadin terhenti.Bukan terhenti, tetapi ia menahan dirinya untuk tak memancing emosi Sean. Pak Sadin tahu kalau atasannya tidak suka masalah pribadinya dicampuri dan ia yakin Sean pasti tengah berpikir. Perkiraannya tepat, Sean menghela napas berat.“Mampir sebentar ke mansion sebelum ke rumah ayah saya!” titah Sean dengan nada berat.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin cepat.Kesal, marah dan kecewa, itulah yang Sean rasakan. Ia tahu ayahnya selalu menuntutnya untuk segera menikah. Berkali-kali juga ayahnya berniat menjodohka