Larasati terlihat marah ia mencerca Faiz dan Kinan sesampainya di rumah.“Kalian, menyembunyikan hal sebesar ini dariku, ternyata Nayla adalah cucuku juga,” ucap Larasati.“Sekarang ibu sudah tahu, aku harap ibu tidak memberitahukan ini dulu pada Nayla, biar kami yang akan memberitahukan masalah besar ini, karena ini menyangkut emosional, aku takut Nayla marah dan kecewa, oleh karena itu, kami ingin memberikannya banyak kasih sayang dulu,” jelas Faiz.“Iya, aku tahu, aku juga akan memberikannya kasih sayang,“ sahut Larasati.“Bagaimana keadaan Safa, Bu?” tanya Kinan.“Safa masih koma, mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aku kasihan melihat Safa,” balas Larasati.“Sepulang kerja nanti aku dan Kinan akan menjenguknya,” timpal Faiz.“Iya Mas, aku juga ingin melihat keadaan Safa.”“Ajak juga Nayla,” suruh Faiz.“Lebih baik jangan Mas, dia bisa shock, jika melihat Safa dalam keadaan koma, Mas tahu sendiri ‘kan Nayla sangat dekat dengan Safa.”“Baiklah terserah kamu, aku akan per
Rania bergegas menuju rumah Faiz, setelah memastikan jika Safa dalam penjagaan perawat. Rasa penasarannya harus dituntaskan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, haruskah ia melapor ke polisi biar polisi yang menyelidikinya, itulah yang sempat terpikirkan Rania.Rania menekan bell pintu pagar yang menjulang tinggi, tidak lama kemudian Pak Tarjo datang.“Mau bertemu siapa?”“Bapak, saya ingin menanyakan sesuatu pada Bapak?”“Tanya apa?”“Bapak ‘kan yang menemukan pertama kali Safa terjatuh?”“Iya saya, kenapa?”“Ada siapa saja waktu itu yang di rumah?”Hanya ada saya, lalu ketika aku meminta pertolongan satpam komplek, Bu Larasati baru pulang dari belanja, dan ikut membawa Safa ke rumah sakit.”“Bapak yakin, jika di rumah tidak ada Nayla?”“Yakin,” jawab Pak Tarjo tegas dan serius.“Baiklah, sekarang aku ingin bertemu Kinan.”“Maaf, Nyonya Kinan belum pulang, yang di rumah hanya Nyonya Larasati.”“Baiklah aku akan bertemu dengan Bu Larasati,” pinta Rania.Pintu pagar dibuka, da
Rania sedang sibuk memberi briefing, pada lima karyawan yang akan membantunya memasak untuk catering sebuah seminar, semua bahan telah disiapkan, daftar menu dan resepnya sudah dipelajari. Bu Fatma yang berada disana juga ikut berpartisipasi . “Ran, ini sudah jam tujuh, lebih baik kamu segera ke Harafa Hospital, biar aku yang handle untuk proses selanjutnya. “Terima kasih Bu Fatma, saya pergi dulu,” pamit Rania. Rania menaiki ojek online, supaya lebih cepat dan tidak terjebak macet hingga sampai di Harafa Hospital tepat waktu, sebelum masuk ke ruang kerja, ia melihat keadaan Safa, gadis itu sendirian di dalam kamar dan masih belum sadar. Rania kembali terlihat sedih, tekadnya untuk membawa Safa berobat ke rumah sakit Singapura semakin bulat, walau Faiz tidak akan setuju, bahkan tidak membantu secara finansial, Rania pun tetap pada pendiriannya. Hari berlalu begitu cepat, menjelang senja, Rania sudah berada di kamar Safa, satu jam lagi, ia akan pergi k
Rania lalu mengayunkan kakinya keluar dari rumah Faiz. Sementara Faiz terduduk di sofa, ia menatap Nayla dan Kinan dengan tajam.“Kenapa kalian menyembunyikan hal ini padaku?”“Mas...aku hanya ingin melindungi Nayla, ingat, Nayla juga putri kandungmu,” sahut Kinan tanpa merasa bersalah sedikitpun.“Tapi, seharusnya kamu jujur pada kami, Kinan,” sela Larasati.“Cukup Bu, jangan ikut campur dalam masalah keluarga kami!” bentak Kinan pada ibu mertuanya itu.Larasati terdiam, lalu memilih pergi, meninggalkan ruang tengah. Kinan, Faiz, juga Nayla berpikir mengenai ancaman Rania.“Apa Rania akan benar-benar melaporkan hal ini, jika kita tidak memberinya uang dua milyar?”tanya Kinan “Aku yakin, ia akan melaporkannya, dan pasti Nayla akan masuk penjara, usia Nayla sudah tujuh belas tahun tepat bulan ini ‘kan?” jadi kemungkinan, penjara bukan pusat rehabilitasi untuk kejahatan anak di bawah umur, aku tidak bisa membayangkan, kedua putriku bernasib, sial, yang satunya terbaring di rumah sakit,
Dua hari berlalu, uang dua milyar yang dijanjikan Faiz, telah siap, dan Faiz memutuskan ingin bertemu Rania secara langsung, selain ingin membicarakan masalah kesepakatan dua milyar, Faiz juga ingin membicarakan masalah pengobatan Safa.Tepat pukul delapan malam, Faiz sudah sampai di sebuah kafe, ia menantikan kedatangan Rania.Seorang wanita berjalan ke arah Faiz, mata Faiz tak lepas menatap wanita yang saat ini mengenakan dres tanpa lengan, hingga memperlihatkan bahu putihnya, rambut sebahu dibiarkan tergerai rapi, tas kecil menggantung di bahunya. Rania berjalan pelan, dan ketika melihat Faiz, ia mempercepat langkahnya.“Maaf Mas, aku terlambat,” ucap Rania seraya duduk di kursi depan Faiz.“Tidak mengapa, aku tahu saat ini kamu sibuk,” balas Faiz.Rania tersenyum getir,“ langsung saja Mas, ke pokok permasalahannya.”“Aku akan mentransfer uang yang kamu inginkan, tapi tanda tangani ini, pernyataan perdamaian masalah Nayla dan Safa, kita selesaikan secara damai , aku akan ikut me
“Bagaimana jika kita rayakan kabar baik ini,kalian duduklah, aku akan membuat makan malam untuk kita,” ujar Fatma, menarik tangan Rania supaya duduk di sofa yang sama dengan Fathan.“Bu Fatma, biar aku bantu memasak,” sela Rania.“Tidak boleh, kamu adalah tamuku, Ran, aku senang melakukan ini, duduklah dan temani Dokter Fathan ngobrol,” suruh Fatma lalu meninggalkan Rania dan Fathan berdua di ruang tamu.Menit berlalu, setelah acara makan malam bersama di rumah Fatma. Rania dan Fathan pamit, keduanya pergi meninggalkan rumah Fatma, Kini Rania duduk di jok samping Fathan, yang fokus menyetir.Mobil sedan warna hitam melaju pelan di jalanan, sesekali mereka berbincang ringan.“Ran, aku akan siapkan keberangkatanmu ke Singapura, setidaknya lusa kamu sudah bisa berangkat, ajukan cuti selama tiga hari di HRD Harafa Hospital,” suruh Fathan.“Baik, Dokter Fathan, dan terima kasih ata
Rania suduh berdiri di sebuah rumah sakit terbesar di Singapura, binar bahagia dan senyum terukir di bibirnya, sebentar lagi kerinduannya pada Safa terobati, lalu terlihat pria muda dengan berpakaian rapi menghampirinya.“Selamat datang Kak Rania,” sapa Bastian, dengan menjabat tangan Rania.“Terima kasih, Bas,” jawab Rania yang juga melempar senyum.“Aku telah menyiapkan hotel, yang dekat dengan rumah sakit, jadi Kak Rani, bisa beristirahat,” ucap Bastian.“Seharusnya tidak perlu, aku bisa tidur di rumah sakit ‘kan, sambil menemani Safa.”“Tidak bisa Kak, keluarga pasien hanya bisa berkujung di jam berkunjung, kebetulan ini jam berkunjung, ayo Kak Rani, aku antar ke kamar perawatan Safa,” ajak Bastian.Bastian dan Rania berjalan sejajar memasuki loby rumah sakit setelahnya mereka naik lift ke lantai tujuh belas, dan akhirnya sudah sampai di depan kamar perawatan Safa.Ceklek!... Pintu dibuka dengan pelan, Safa menoleh ke arah pintu, dan ia tersenyum haru, sampai air matanya meleleh
“Kenapa diam Ran?”“Aku merasa tidak pantas bersanding dengan Dokter, aku hanya karyawan biasa, tidak ada yang bisa aku banggakan, aku takut jika suatu saat hubungan ini membawa luka,” jawab Rania.“Jangan jawab sekarang, aku tahu, kamu perlu waktu, kamu pun cukup dewasa menilai seseorang, cintaku padamu tulus, percayalah.”“Pah kesini...!” teriakan Abela menghentikan pembicaraan Fathan, lalu pria itu menghampiri putrinya dan bersama bermain pasir, sedangkan Rania masih terpaku duduk di bangku kayu, masih teringat lamaran yang terucap dari bibir Fathan.Sementara, di Jakarta terlihat Dinda kesal pada Rafa. ”Tahu hidupku menderita, aku tak pernah mau pacaran denganmu,” ucapnya dengan nada keras.“Sial kamu Din, merendahkanku, pergi sana, aku juga muak melihatmu, baru melahirkan anak satu, tidak bisa merawat tubuh, lihat itu, Kak Kinan, body seperti gadis remaja,” sahut Rafa tak kalah keras.Dinda hanya menghela napas kesal, lalu ia pergi dengan mengendong anaknya yang kini berusia hamp