Share

5 Surat Perjanjian Pernikahan

“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.”

Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek.

“Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo.

“Silakan.” Pak RT mengangguk.

Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga.

“Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.”

“Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?”

“Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.”

“Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...”

“Siapa yang nyuruh kamu berhenti kuliah?” tukas papa lagi. “Kamu nurut aja, ya? Nikah dulu sama Veren biar kasus ini cepet berlalu.”

Bener-bener mampus, batin Deo nelangsa.

Veren menangis tersedu-sedu di samping Deo sementara para orang tua merundingkan hari dan tanggal pernikahan mereka.

Deo tidak tahu harus menghibur dengan cara apa supaya bisa meredam tangis Veren yang mulai membanjir. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi sulit semacam pernikahan.

“Udah, jangan nangis mulu. Entar air matanya abis,” kata Deo akhirnya.

“Elo kok tenang-tenang aja, sih?” sahut Veren sambil mengusap matanya. “Lo seneng ya sama rencana pernikahan ini?”

Deo menarik napas.

“Elo nggak bisa bedain ekspresi seneng sama duka cita, ya?” komentarnya. “Kalo gue seneng, udah dari tadi gue jingkrak-jingkrak.”

“Terus gimana, gue kan masih mau kuliah ...”

“Sama, emang lo doang yang punya cita-cita?” tukas Deo. “Gue ada ide sih sebenernya.”

“Apa, cepetan bilang!” desak Veren.

Deo mengawasi para orang tua yang masih sibuk mengobrol dengan Pak RT kampung sebelah.

“Kita bikin perjanjian pernikahan aja diem-diem,” usul Deo dengan suara pelan. “Nikahnya nggak usah lama-lama, setahun atau dua tahun aja. Setelah itu kita pisah, gimana?”

Veren membulatkan matanya yang sembab.

“Gue setuju, tapi ... kita kan tetep bakalan serumah nantinya. Kalo elo kebablasan gimana, dong?”

“Enak aja, itu nanti bisa dibikin dalam surat perjanjian. Salah satunya kalo kita harus jaga jarak satu sama lain selama jadi suami istri. Paham nggak?” jelas Deo, masih dengan suara pelan.

“Oke, gue ngerti. Tapi ada lagi yang menurut gue lebih penting kalo kita mau ide ini berjalan lancar,” kata Veren ikut berbisik.

“Apaan?” tanya Deo ingin tahu.

“Jangan ada anak di antara kita,” jawab Veren sungguh-sungguh.

“Gue setuju.” Deo mengangkat jempolnya.

Mama Deo betul-betul merasa pusing sekarang, dalam satu waktu dia harus merelakan kedua putra kebanggaannya untuk melepas masa lajang masing-masing.

“Emang kamu beneran udah siap jadi seorang suami, Yo?” tanya mama di suatu malam, saat Deo sedang belajar di kamarnya.

“Kalo ditanya siap nggak sih aslinya nggak siap,” jawab Deo jujur. “Namanya juga orang dipaksa. Lagian kan Mama sendiri yang setuju buat ngawinin aku sama si Eren.”

“Veren,” kata mama meralat. “Gimana ya, Yo ... mama juga bingung karena semuanya serba mendadak gini. Kalo acaranya Aro kan udah mama persiapin mateng-mateng.”

Deo menutup semua buku-bukunya kemudian memandang sang ibu.

“Ijab doang juga udah cukup kok, Ma. Tuntutannya warga kampung sebelah kan gitu, yang penting aku sama Veren dinikahin. Nggak usah pake resepsi segala, dua minggu bakalan nggak kekejar buat persiapan.”

Mama menarik napas dengan wajah muram.

“Mama sih berharapnya bisa nikahin kamu sama cewek pilihan kamu, terus bikin acara sakral yang akan selalu kamu kenang seumur hidup kamu, Yo ...” curhatnya. “Jujur mama sedih lihat kamu nikah karena kepaksa, padahal nikah itu kan cuma sekali seumur hidup.”

“Dua kali,” sahut Deo keceplosan.

“Apa kamu bilang?”

“Eh, enggak ada, Ma!” Deo buru-buru menggelengkan kepala. Setelah pisah sama Veren, nantinya kan aku kawin lagi ... batin Deo.

“Sedih mama tuh.”

“Udah lah, Ma. Kali nasibku udah kek gini,” ujar Deo dengan nada menghibur. “Yang penting mama konsen aja sama persiapan pernikahannya Kak Aro. Acaraku sih simpel aja kalo ijab doang.”

Mama mengelus puncak kepala Deo.

“Ya udah, kapan-kapan kalo mama ada rejeki, nanti mama bikin acara yang sama kayak acaranya Aro.”

“Nggak usah, Ma.” Deo menolak. “Acaranya Kak Aro kan juga karena kakak ipar yang mau. Kalo Veren keknya juga nggak ngadain acara apa-apa.”

“Ya udah, kamu persiapin aja mental kamu buat ijab,” pesan mama. “Kamu juga harus siap sama cibiran orang-orang, kalo nantinya mereka tau penyebab kamu nikah dadakan kayak gini, Yo.”

“Yang penting Mama percaya sama aku, kan?” tanya Deo serius. “Sumpah Ma, aku nggak sebejat itu. Aku sama Veren cuma ketiduran dalam satu tempat tanpa disengaja ...”

“Mama percaya, Yo. Kalo gitu mama keluar dulu,” kata mama.

Setelah mamanya keluar kamar, Deo merebahkan dirinya ke atas kasur. Dia nyaris menyesali keputusannya menolong Veren dulu.

Kalau mereka tidak bertemu, Deo tidak akan perlu menyelamatkan Veren dari niat bunuh dirinya itu. Dia juga tidak akan berteduh bersamanya di dalam pos ronda kampung sebelah sampai ketiduran berdua.

Semua ini juga tidak akan terjadi seandainya Veren tidak ikut ketiduran di sana.

***

“Deo, apa bener kamu mau nikah?” tanya Freya ketika dia tidak sengaja berpapasan dengan Deo yang sedang duduk di taman kampus.

“Iya.” Dio mengangguk tanpa memandang Freya.

“Kok bisa tiba-tiba kayak gini, Yo?” tanya Freya lagi. “Kamu nikahnya barengan sama kakak kamu dong?”

“Duluan aku malah,” ralat Deo.

“Tapi kamu kan masih di bawah umur,” ujar Freya. “Sedangkan kakak kamu udah dewasa, umurnya udah lebih di atas rata-rata usia nikah yang dianjurkan pemerintah ...”

“Iya, iya. Apalah aku yang baru lulus SMA tahun lalu, kuliah aja baru permulaan semester,” potong Deo. “Kek kata mamaku, aku masih bau kencur, keringet, ketek, puas?”

Deo berdiri, tanpa menunggu komentar apa-apa dari Freya, dia bergegas pergi meninggalkannya sendirian.

Hari itu Deo dan Veren sudah berjanji untuk ketemu di belakang kampus Deo, guna membahas soal perjanjian pernikahan yang telah mereka rencanakan diam-diam.

“Ini udah gue tulis semua yang bisa gue pikirin soal perjanjian pernikahan kita besok,” kata Veren membuka percakapan. “Nih, lo baca dulu dengan teliti. Kalo ada yang kurang, bilang aja.”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status