Share

4 Digerebek Warga

Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya.

“... anak zaman sekarang ...”

“... memalukan, aib masyarakat ...”

“Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?”

Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda.

‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan.

“Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan.

“Bangun! Bangun!”

Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya.

“Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta.

Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa.

“Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.”

“Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga.

“Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami nggak ngapa-ngapain, sumpah!” seru si cewek cepat-cepat.

“Kalian berdua tertangkap basah sedang tidur berdua di pos ini,” kata ibu-ibu itu.

“Kami ketiduran, Bu.” Deo menyahut. “Beneran kami nggak ngapa-ngapain. Tidurnya aja jauhan, saya di sebelah kanan, dia di sebelah kiri.”

“Tetep aja kalian udah tidur bersama,” kata si ibu geram. “Perbuatan yang nggak pantas dilakukan. Kalian harus dikenai sanksi tegas.”

“Sanksi?” Deo melongo. “Sanksi apa, Bu?”

“Kalian harus mau dinikahkan,” kata si ibu dengan tegas.

“Apa? Dinikahkan?!” Deo dan cewek itu saling pandang dengan ngeri.

Deo menelan ludah, wajahnya panik luar biasa.

“Nggak bisa gitu dong, Bu!” protesnya. “Masa kita mau dinikahin? Kita aja nggak saling kenal ...”

“Iya Bu, kita jangan dinikahin dong ...” Si cewek memohon dengan wajah memelas.

“Udah, udah. Kita bawa ke Pak RT dulu aja,” usul warga yang lain.

“Setuju, setuju!”

Deo dan cewek itu saling pandang dengan pasrah.

***

“Apa, menikah?!”

Mama memandang tajam Deo saat seorang warga yang mengantarnya ke rumah memberitahukan soal sanksi yang harus ditanggung anaknya karena kedapatan tidur di pos ronda bersama seorang cewek.

Untungnya saat itu hanya ada mama dan kakaknya saja, sementara papa Deo sedang keluar rumah.

“Betul, Bu. Karena kami ingin memberi efek jera kepada anak-anak muda lainnya agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” sahut warga yang mengantar Deo.

“Tapi Pak, anak saya ini belum ada dua puluh tahun lho.” Mama mencoba mencari celah. “Baru setahun lalu dia lulus SMA, dan dia masih kuliah. Nggak mungkin lah saya kawinkan dia sama cewek yang nggak dikenal.”

“Tapi Bu, masalahnya biarpun baru lulus kemarin, nyatanya adek ini sudah berani tidur sama cewek, di kampung orang lagi. Itu kan bikin malu warga kampung kami,” bantah si bapak.

Deo mulai merasa terdzolimi oleh pernyataan bapak tersebut.

“Pak, jangan fitnah dong. Saya cuma ketiduran di pos ronda, bukan tidur sama cewek,” ralatnya.

“Sama aja kan, Dek? Toh ada bukti kalo ceweknya juga tidur di pos ronda.”

“Tapi saya nggak terima sama statement Bapak yang nuduh seolah-olah saya sengaja tidur sama cewek itu. Kenyataannya kami berdua ini ketiduran, Pak. Nggak ada kesengajaan sama sekali.” Deo menjelaskan dengan menggebu-gebu.

Si bapak manggut-manggut.

“Apa itu statement?”

“Pernyataan Bapak itu lho,” sahut Deo. “Kalo insiden itu sengaja, saya juga pilih-pilih tempat yang tertutup, Pak. Nggak mungkin saya pilih pos ronda.”

“Betul Pak,” timpal mama. “Kalo memang nggak sengaja, jangan disuruh nikah, Pak. Anak saya belum cukup umur, masih bau kencur, keringet, masih kemarin sore banget dia, Pak ...”

Gennaro yang sejak tadi diam mendengarkan, hanya melempar pandangan dinginnya kepada Deo. Tetapi itu lebih dari cukup untuk membuat Deo merasa sedang dihakimi.

“Kami tidak peduli alasan apa pun yang melatarbelakangi perbuatan mereka, Bu. Yang jelas kami menyaksikan sendiri bagaimana dua anak manusia berbeda jenis ini sedang tidur dalam satu tempat,” kata si bapak. “Dan itu sangat mencoreng nama baik kampung kami.”

Mama menarik napas.

“Apa nggak ada sanksi selain menikah?” katanya heran. “Masa anak saya menikah sama orang yang nggak dikenal sama sekali?”

“Ibu nggak perlu khawatir. Kami akan segera mengadakan pertemuan antara keluarga Ibu dengan keluarga cewek itu dengan Pak RT kami, untuk membahas rencana pernikahan. Kami ingin dalam dua minggu ini mereka diresmikan.”

“Apa? Dua minggu?” seru mama kaget. “Yang bener aja.”

Mampus gue, batin Deo sambil memegang jidatnya.

“Makin cepat makin baik,” kata si bapak dengan wajah puas. “Baiklah, saya permisi dulu.”

Begitu bapak yang tadi mengantar Deo sudah berlalu, mama mendelik galak kepada anak bungsunya itu.

“Deeeoooo, kelakuan kamu ini bener-bener ... mama malu, tau nggak? Baru tadi sore kamu bilang mau bawa calon mantu, eh sekarang kamu beneran mau dikawinin sama cewek antah berantah itu. Mama kan udah bilang kalo omongan itu doa, kamu sih asal nyeplos aja.”

Deo menundukkan wajahnya.

“Maaf Ma, tapi sumpah kejadiaannya nggak sebejat yang Mama pikir,” ujar Deo lirih. “Aku sama cewek itu murni ketiduran, aku ketemu sama dia juga karena nolongin dia pas mau bunuh diri ...”

“APA?! Bunuh diri?” Mama menggeleng-gelengkan kepala. “Kok bisa-bisanya kamu ketemu cewek kayak gitu? Sekarang kamu jadi dipaksa nikah sama dia, kan?”

Deo mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, nasi sudah telanjur menjadi semangkuk bubur.

***

Dua hari kemudian, diaturlah pertemuan tertutup antara keluarga Deo dengan keluarga si cewek dengan Pak RT dari kampung sebelah yang pos rondanya menjadi lokasi TKP dari insiden ketiduran tersebut.

Deo dan cewek itu duduk didampingi orang tua masing-masing, sementara Pak RT menyampaikan tuntutannya. Saat tuntutan itu disampaikan, Deo dan cewek itu saling pandang dengan wajah tegang.

“Jadi begitulah permintaan dari warga kampung kami,” kata Pak RT. “Mereka mau dua anak muda ini dinikahkan dalam dua minggu.”

Masing-masing orang tua memandang calon menantu mereka dengan pandangan menilai.

“Mungkin ada yang mau disampaikan dari para orang tua?” Pak RT mengedarkan pandangannya kepada semua orang. “Atau mungkin dari calon manten sendiri?”

“Saya, Pak!” kata Deo tiba-tiba.

“Silakan, apa yang mau disampaikan?”

“Saya cuma mau menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya,” ungkap Deo. “Karena saya nggak mau ada yang salah paham di sini.”

Orang tua dari pihak cewek itu memandang Deo dengan saksama.

“Saya lihat mbak ini saat dia mau bunuh diri di tengah jalan agar ada truk yang menabraknya,” ujar Deo lambat-lambat. “Saya dorong dia ke tepi jalan, kemudian hujan turun deras sekali ...”

“... dan saya memberinya ide untuk pergi mencari tempat berteduh,” sambung cewek itu. “Saya lihat ada pos ronda di dekat kami. Jadi kami berteduh di sana, sambil nunggu hujan reda. Pas nunggu hujan itu kami ketiduran. Posisi kami sangat berjauhan, nggak seperti bayangan orang-orang ...”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status