Share

3 Percobaan Bunuh Diri

Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.

TIINN! TIINNNN!

Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.

“Aduuhhh ...”

“Sakit ...”

Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.

“Lo nggak papa?” katanya.

Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.

“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.

Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian.

“Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”

“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.

Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.

“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”

“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali jangan sembrono.”

Deo meringis malu, sementara cewek di sebelahnya manyun menahan kekesalan.

“Padahal kurang dikit lagi,” keluhnya ketika orang-orang sudah berlalu pergi. Cewek itu bangkit berdiri lalu duduk di tepi trotoar.

Deo mengelus-elus sikunya yang terhantam aspal.

“Dikit lagi apanya?” tanya Deo, ikut duduk di tepi trotoar. Sikunya mulai nyut-nyut tidak keruan.

“Dikit lagi gue mati,” kata cewek itu. “Kalo elo nggak tiba-tiba muncul, gue pasti masih bisa mati ditabrak truk atau bus.”

Deo menarik napas.

“Jadi lo nggak beryukur nyawa lo masih utuh?”

“Enggak! Lagian gue heran banget, kenapa dari tadi gue berdiri di tengah jalan rame, tapi truk-truk itu masih bisa ngehindarin gue ...” keluh cewek itu lagi. “Gue pikir mati itu gampang, ternyata jauh lebih susah daripada yang gue kira.”

Deo memandangnya dengan heran. Cewek itu membuka hoodie yang menutupi kepalanya.

“Apa gue segitu nggak pantesnya buat mati?” Keluhan-keluhan itu terus mengalir dari mulutnya.

“Gue jadi kepo, alasan apa sih yang bikin lo segampang itu buat bunuh diri?” tanya Deo ingin tahu.

“Lo nggak bakal paham,” decak cewek itu. “Karena lo nggak di posisi gue.”

“Makanya gue jadi kepo,” komentar Deo. “Alasan masuk akal apa yang bikin elo rela mengakhiri hidup lo sendiri? Biar kalo suatu saat gue ada di posisi lo, gue nggak bakal ngelakuin apa yang lo lakuin tadi.”

Cewek itu bertopang dagu dan terdiam cukup lama.

“Gue baru diputusin,” katanya dengan pandangan menerawang. “Alasan sepele, baginya pacaran itu nggak terlalu serius dan bisa diakhiri kapan aja. Padahal sejak awal gue jadian sama dia, gue berusaha tulus dan serius ngejalaninnya.”

Deo terdiam selama cewek itu bercerita.

“Lo pasti mikir kalo alasan gue ini juga sepele kan?” ketus cewek itu. “Lo nggak ada di posisi gue sih, makanya lo nggak bakal paham apa yang lagi gue rasain. Lo pasti mikirnya gue labil, cengeng, lemah ...”

“Nggak juga,” sahut Deo kalem. “Gue ngerti kok gimana rasanya diputusin.”

Si cewek memandangnya tidak percaya.

“Lo nggak ngalamin apa yang gue alami, gimana bisa lo tau rasanya?”

Pandangan Deo menerawang ke langit yang menghitam karena mendung.

“Lo pacaran udah berapa lama?” katanya.

“Tiga tahun,” jawab si cewek.

“Gue udah pacaran lima tahun lamanya, hari ini mestinya gue sama dia ngerayain anniversary kami yang kelima.” Deo bercerita.

“Wah, selamat deh!”

“Tapi siang tadi gue justru diputusin sama dia,” sela Deo. “Gue diputusin karena dia mau dinikahin sama ortunya. Dan barusan gue dari nganterin kakak gue lamaran di rumah tunangannya.”

Mata cewek itu mengerjab heran.

“Apa hubungannya lo diputusin sama kakak lo lamaran?” katanya tidak mengerti.

“Hubungannya adalah ...” Deo menggantungkan kalimatnya sementara gerimis kecil-kecil mulai turun. “Ternyata kakak kandung gue sendiri yang akan menikahi mantan cewek gue. Makanya siang tadi gue diputusin.”

“Apa? Yakin lo?” sahut cewek itu terkejut.

“Yakin lah, mata gue kan masih normal. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri saat kakak gue masangin cincin lamaran itu ke jari tangan mantan gue,” ujar Deo, satu tangannya terulur menengadah ke depan, membuat tetesan air hujan itu tertampung di tangannya.

“Elo kuat lihatnya?”

“Dikuat-kuatin lah, gue nggak mau mohon-mohon dia supaya batalin pertunangannya sama kakak gue,” kata Deo tenang.

“Tapi kan elo masih bisa nyegah ...”

“Kalo dia udah tega mutusin gue buat orang lain, itu tandanya dia nggak beneran serius sama gue. Ngapain gue kejar lagi?” tukas Deo. “Buang-buang waktu aja.”

Cuaca saat itu seolah mewakili perasaan Deo yang terluka. Tidak tanggung-tanggung, hujan yang semula hanya rintik-rintik kecil mendadak turun lebih deras dan mengguyur semua yang masih berada di jalan.

“Elo nggak marah sama kakak lo itu?!” tanya si cewek dengan suara keras, mengimbangi suara air hujan yang menghantam jalanan.

“Kalo gue marah sama dia, itu artinya gue nggak bisa nerima kenyataan!” jawab Deo setengah berteriak. “Ngapain gue mati-matian mempertahankan orang yang nggak serius sama gue?! Kalo emang dia jodohnya sama kakak gue, gue bisa apa?!”

Cewek itu mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan.

“Lo yang sabar, ya!”

“Stok sabar gue luber-luber kayak hujan ini, kok! Tenang aja!” Deo berdiri dari duduknya dan menengadahkan wajahnya ke langit. Tetesan-tetesan besar air hujan menampar kulitnya dengan keras, seakan sedang membangunkannya untuk menerima kenyataan pahit itu.

“Neduh, yuk?!” ajak si cewek. “Hujannya deres banget, gue kedinginan!”

Deo menoleh dan mengangguk setuju. Cewek itu berjalan mendahuluinya ke tepi, sementara Deo mengikutinya dari belakang.

Mereka berdua mencari tempat yang bisa dipakai untuk berteduh sementara. Saat cewek itu melihat ada pos ronda yang letaknya tidak begitu jauh di perkampungan warga, mereka berdua memutuskan untuk berteduh di sana.

“Udah mau maghrib, nih ...” kata Deo sambil duduk di tepi. “Lo nggak langsung pulang?”

“Entar aja,” sahut si cewek. “Gue lagi males ke mana-mana. Tujuan gue semula kan mau mati. Tau-tau lo dateng gitu aja ...”

Deo menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mati terus yang lo pikirin,” komentarnya. “Kalo mau bales dendam sama mantan, yang pinter dikit lah. Buktiin ke dia kalo elo masih bisa hidup lebih baik tanpa dia.”

“Tapi gue masih cinta sama dia ...”

“Kalo dia nggak cinta, lo mau apa?” kata Deo lugas. Dia menggeser tubuhnya lebih dalam ke pos ronda agar lebih hangat.

Ketika cewek itu menoleh dan melihat Deo menyandarkan tubuhnya dengan sangat nyaman di pos ronda, dia ikut bersandar sisi satunya. Mereka berdua saling berhadapan, namun terdiam memandangi hujan dengan pikiran masing-masing.

Hujan yang terus turun membuat rasa kantuk datang menyerang, sampai akhirnya tanpa sadar mereka tertidur di dalam pos ronda.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status