Hendi berpikir kalau siluman perempuan yang ada di hadapannya itu benar-benar sinting. Dia kemudian meludah ke tanah, sengaja melakukan itu untuk menghina Anggita. “Sialan! Aku terjebak bersama makhluk sepertimu di tempat terkutuk ini tanpa tahu harus ke mana,” maki Hendi.“Aku tahu tempat yang lebih bagus dari ini, tempat di mana sungai-sungai mengalir jernih dan airnya bisa kamu minum sepuas hati, tempat di mana pohon-pohonnya berbuah manis dan besar-besar, tak habis-habis bahkan jika kamu terus memetikinya.” Anggita mengatur rambutnya sedemikian rupa dengan tangannya agar menutupi sebagian wajahnya yang rusak. “Ayo, Hendi, biar kutunjukkan kepadamu tempat itu.” Anggita mengulurkan tangannya.Sesaat Hendi ragu-ragu, dia tahu dia tidak bisa memercayai perkataan siluman, tetapi dia tak punya pilihan lain. Dia berada di dunia asing yang terasa bagaikan mimpi untuknya, semua serba aneh dan tak masuk akal. Hendi tidak tahu harus ke mana atau melakukan apa untuk bisa bertahan hidup di san
Jeritan Hendi semakin nyaring, memekakkan telinga. Siapa saja yang mendengarnya bisa merasakan sakit yang saat itu tengah mendera Hendi, menusuk-nusuk, menyengat.“Tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup di dunia kita.” Anggita kembali teringat akan kalimat itu. Dia memandang Hendi dengan putus asa.“Sakit! Kepalaku seperti hendak meledak!” Hendi berkata sambil memegangi kepalanya. Napasnya turun naik. Sekali lagi dia memperdengarkan jeritan panjang kesakitan.“Tidak! Berhenti berusaha mengingat! Sudah, Hendi, hentikan.” Anggita berusaha menenangkan Hendi. Dia merengkuh Hendi ke dalam pelukannya, menenangkannya seperti seorang ibu menenangkan seorang bayi. “Lepaskan, biarkan, tarik napas pelan-pelan, hembuskan.” Anggita memberi aba-aba.Di dalam pelukan Anggita, tubuh Hendi menggigil hebat. Padahal udara saat itu luar biasa panas.“Aku melihat sesuatu, seseorang, tapi enggak jelas,” katanya lemah.“Lupakan. Kamu bisa mati kalau berusaha lebih keras dari ini.” Anggita berbisik di te
Sementara Karmila tenggelam dalam lamunannya sendiri sembari menjagai Hendi di kamar perawatan rumah sakit, malam beranjak semakin larut. Beberapa lampu di lorong rumah sakit sudah dimatikan. Suasana sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu keluarga mereka yang sakit duduk-duduk dalam diam di bangku-bangku selasar. Satu-dua perawat yang berjaga duduk di balik nurse station sambil terkantuk-kantuk. Udara malam itu sedikit dingin karena hujan tengah turun deras membelah langit malam.Beberapa kali kilat menyambar diikuti suara geluduk. Sedikit lampu yang masih menyala berkedap-kedip. Tetapi tak ada orang yang terlalu peduli, menganggapnya itu hanya reaksi elektris biasa karena cuaca buruk.Pintu lift di lantai tempat kamar Hendi dirawat berdenting terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Selama beberapa detik pintu lift masih terbuka, kemudian saat pintunya hendak menutup rapat, sepotong tangan berwarna hitam keunguan seperti daging busuk keluar dari celah pintu dengan tib
Tangis Karmila berganti gelak tawa. Setelah lelah dengan semua ironi dan tragedi yang terjadi di dalam hidupnya, Karmila mendadak merasa kisah hidupnya adalah sebuah komedi.“Karmila.” Andaru memanggilnya. Ada getaran kecemasan dalam suaranya yang parau.Mendengar ayahnya memanggil namanya, Karmila tahu bahwa sosok yang datang itu memanglah ayah sejatinya. Tidak setiap saat ada sosok ghaib, bukan manusia yang mengaku sebagai ayahnya.Karmila menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, merasa debar kencang di dadanya sedikit berkurang, barulah dia berbalik, menghadap ayahnya, Andaru. Wajah ayahnya memang sudah rusak, tetapi Karmila masih mengenali sepasang bola mata itu karena saat dia menatapnya, dia merasa seperti sedang memandangi cermin, memandang balik ke bayangannya sendiri yang ditangkap oleh cermin. Ya, sepasang mata Andaru, mengingatkannya akan sepasang matanya sendiri.“Sialan! Kau benar ayahku!” Karmila tersenyum simpul.“Apa berlebihan kalau aku menginginkan sebuah
Tubuh Karmila gemetar mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Dengan wajh pucat dia menatap Andaru, bertanya, “Benar, kan?”Andaru tidak berkata apa-apa, tetapi kebisuannya itu sendiri sudah bisa memberikan Karmila jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia dengar.“Kembalilah pulang,” kata Andaru akhirnya setelah jeda cukup panjang di antara mereka.Karmila mendesah, melirik Hendi yang masih koma.“Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk orang itu.” Kembali Andaru berkata.“Apa yang Ayah tahu tentang Bang Hendi? Apa Ayah tahu penderitaan apa saja yang sudah ditanggungnya?”“Semua yang terjadi kepadanya tidak ada hubungannya denganmu, denganku, atau dengan keluarga kita. Dia hanya orang asing, untuk apa kau begitu peduli kepadanya?” Gigi Andaru gemeretak. Dari dalam dadanya berkobar bara api saat melihat sendiri bagaimana putrinya membela seorang laki-laki yang menurutnya sangat lemah. “Aku kira, Dirga kekasihmu, bukannya dia.”“Dirga? Jadi Ayah sudah bertemu dengan dia?” Ka
Di dunia gaib tempat Hendi berkelana tanpa bisa mengingat dirinya, Anggita juga memanggil-manggil namanya.“Siapa yang memanggilku?” gumam Hendi di batas kesadarannya. Di dalam benaknya yang bagaikan sebuah mimpi itu dia mendengar dua suara berbeda memanggil-manggil satu nama yang sama, Hendi. “Siapa yang harus kujawab?”Anggita meniup wajah Hendi dengan sihirnya, membuat pikirannya kembali jernih dan hanya bisa mendengar satu suara, suara milik Anggita.“Bangun, Hendi, buka matamu,” perintah Anggita lembut.Hendi mengerjapkan mata melihat Anggita. Kepalanya masih berdenyut sakit.“Lihat aku saja, dengar suaraku saja,” ujar Anggita, “dengan begitu sakit di kepalamu akan perlahan hilang.”Suara Anggita begitu lembut merayu, terdengar bagai musik indah di telinga Hendi membuatnya pasrah, menyerah sepenuhnya kepadanya. Sedikit demi sedikit Hendi membuang semua kecemasannya, semua usahanya yang tak perlu akan ingatan yang telah hilang.“Yang sudah hilang, biarlah hilang, mungkin sedari aw
Perjalanan Anggita dan Hendi berakhir di balik bukit, di mana sepasang air terjun bertemu dan menumpahkan airnya yang memantulkan kilau warna-wani pelangi. Sungai lebar di bawahnya jernih bagai kaca, menampakkan ikan-ikan besar-kecil yang berenang meliuk-liuk di dasarnya yang berbatu. Pemandangan yang bagai lukisan itu semakin bertambah pesonanya oleh rimbunan hijau dedaunan dari barisan pepohonan dan tanaman merambat.Hendi tak bisa berkata-kata saling takjubnya.Anggita berlari kecil mendahuluinya dengan langkah-langkah ringan. Perempuan siluman itu masuk ke dalam air yang tingginya tak lebih dari lutut orang dewasa. Tanpa ragu dia melepaskan semua pakaian yang melekat di badannya, lalu berendam. “Sini, ikut mandi bersamaku!” teriaknya kencang kepada Hendi.Hendi tertunduk dengan wajah bersemu, dia sempat melihat tubuh polos Anggita. Anggita bertubuh mungil dengan sepasang buah dada yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, berpucuk merah muda. Tubuhnya putih pucat seperti por
Turk berusaha melawan, dia membanting tubuh Anggita, menghempaskannya ke dasar sungai berbatu sampai-sampai tulang belulang Anggita berderak karenanya, mungkin beberapa ruas tulangnya telah patah menghantam bebatuan.Anggita menjerit kesakitan. Luka di tubuhnya membuatnya semakin murka. Dengan beringas dia lanjut melancarkan serangan ke tubuh Turk, tendangan, pukulan bertubi-tubi tanpa ampun. Kemarahannya membuat tenaganya menjadi berkali lipat. Turk babak belur, lemah, tak lagi sanggup melawan, tetapi Anggita tidak berhenti sampai di sana. Diambilnya sebuah batu kali sebesar kepala manusia, diangkatnya tinggi-tinggi sampai ke atas kepalanya, lalu dilemparkannya ke tubuh Turk.Turk mengaduh. Tubuhnya terbelah jadi dua lantaran sedemikian dasyatnya hantaman batu dari Anggita. Sungai yang tadinya mengalir air jernih, segera berubah menjadi semerah darah, darahnya Turk. Setelah itu, ikan-ikan berwarna-warni yang tadinya jinak dan indah, terpicu oleh darah siluman Turk, berubah menjadi ga