Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin.
Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu. Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal itu sontak membuat Justin melirik pada tangan Rheanne yang berada di lengannya lalu bergulir menatap Rheanne yang terkejut. "Sorry, Sir. Aku tidak sengaja." Rheanne segera menarik kembali tangannya. Justin tidak menjawab, dia hanya memalingkan wajahnya dan segera keluar dari lift. Rheanne menyusul dengan langkah kecil di belakang tubuh pria itu. Tiba-tiba langkah Justin terhenti saat merasakan getaran dari ponselnya. Maka otomatis, Rheanne juga ikut menghentikan langkahnya. "Aku ke sana sekarang." Tanpa mempedulikan Rheanne yang masih berdiri di belakang tubuhnya, Justin melangkah pergi begitu saja. Rheanne menatap aneh atas kepergian Justin yang terlihat terburu-buru seperti itu, namun kemudian dia hanya mengendik acuh. *** Suara langkah kaki yang menggema memenuhi ruangan itu. Orang-orang yang berjejer rapi lengkap dengan pakaian hitam segera membungkuk hormat pada seseorang yang baru saja memasuki ruangan. "Sir?" "Di mana dia?" "Dia ada di dalam." Tanpa berlama-lama pria itu melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan. Hal pertama yang ia lihat adalah beberapa anak buahnya yang berjaga di sana. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya saat ini, melainkan seorang pria yang berdiri di ujung ruangan dengan kedua tangan yang sudah dirantai. "Sir, aku ..." Bugh Belum sempat pria itu bicara, satu pukulan keras di wajahnya ia dapatkan. Wajahnya yang sudah babak belur kembali meringis akibat pukulan itu. Justin mendengus dingin lalu terkekeh kecil melihat bagaimana hancurnya keadaan pria di depannya ini. "Hebat sekali. Aku apresiasi untuk keberanianmu," seru Justin tersenyum mengejek. Justin kemudian melangkah mengitari tubuh Mac yang sudah tidak berdaya. Langkahnya terhenti tepat di depan wajah Mac. Tanpa menghitung waktu lama, Justin melayangkan tendangan di wajah pria itu hingga membuat hidungnya berdarah. Kendati begitu Justin tetap tidak peduli. Dia terus melayangkan tendangan di sekujur wajah dan tubuh Mac. Melihat Mac yang sudah terkapar lemah, Justin menghentikan dirinya. Dalam sekejap wajahnya berubah sedatar mungkin. "Kau tahu, apa hukuman untuk seorang pengkhianat?" tanya Justin rendah. "Dia pantas mati." Mac menggeleng kuat mendengar itu. Dia beringsut mendekati Justin lalu mendongak disertai tatapan memohon. "Tidak, Sir. Maafkan aku. Aku mohon jangan bunuh aku," pintanya seakan meminta pengampunan. Kekehan kembali terdengar. Kali ini dengan nada ejekan. "Ya, memohonlah." "Bahkan sampai mulutmu berbusa pun, aku tidak peduli." Justin mendorong Mac dengan satu kakinya. "Reymond, berikan aku senjata yang paling bagus agar pria ini segera pergi dengan tenang," seru Justin tanpa melepas pandang dari Mac. "Baik, Sir." Saat Raymond kembali dan memberikan sebuah senjata, bibirnya menyeringai kecil. Penuh cekatan Justin mengotak-atik benda itu. "Tidak, Sir! Aku mohon ampuni aku. Bagaimana nasib keluargaku jika aku mati?" Justin tertawa sejenak. "Aku tidak peduli, Mac." "Sir, tolong jangan bunuh aku ..." Terlambat, satu peluru sudah bersarang di perut Mac hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Tiga kali tembakan yang Justin layangkan sudah membuat Mac tidak bernyawa. Justin menarik benda itu setelah memastikan Mac benar-benar mati. "Berikan dia pada Rolf." "Baik, Sir." Setelah memberikan perintah kepada anak buahnya, Justin melenggang pergi. Urusannya sudah beres dengan menyingkirkan Mac. Justin melangkah keluar dari gedung tua itu lalu masuk ke dalam mobil. Justin masih bersikap tenang meskipun ia baru saja membunuh seseorang. Justin Melviano. Siapa sangka di balik profesinya sebagai pengusaha sukses justru menyimpan rahasia dalam hidupnya. Selain berjaya di bidang bisnis, Justin juga berjaya dalam bisnis ilegal lainnya. Seperti, penyelundupan senjat*, perdagangan nark*b*, bahkan bisnis kebun anggur yang menjadi salah satu keuntungan terbesarnya. Dengan banyak anggota dan organisasi yang ia pimpin, Justin menjadi ketua mafia dengan kekejaman dan kesadisannya dalam membunuh musuh-musuhnya. ...Menyebalkan! Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau mem
Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.Bugh!Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di had
Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana. Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik. Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya. Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa kar
Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak ena
Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin
Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat
Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”