Share

Bab [02] The Traitor Deserves To Die

Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin.

Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu.

Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal itu sontak membuat Justin melirik pada tangan Rheanne yang berada di lengannya lalu bergulir menatap Rheanne yang terkejut.

"Sorry, Sir. Aku tidak sengaja." Rheanne segera menarik kembali tangannya.

Justin tidak menjawab, dia hanya memalingkan wajahnya dan segera keluar dari lift. Rheanne menyusul dengan langkah kecil di belakang tubuh pria itu. Tiba-tiba langkah Justin terhenti saat merasakan getaran dari ponselnya. Maka otomatis, Rheanne juga ikut menghentikan langkahnya.

"Aku ke sana sekarang."

Tanpa mempedulikan Rheanne yang masih berdiri di belakang tubuhnya, Justin melangkah pergi begitu saja. Rheanne menatap aneh atas kepergian Justin yang terlihat terburu-buru seperti itu, namun kemudian dia hanya mengendik acuh.

***

Suara langkah kaki yang menggema memenuhi ruangan itu. Orang-orang yang berjejer rapi lengkap dengan pakaian hitam segera membungkuk hormat pada seseorang yang baru saja memasuki ruangan.

"Sir?"

"Di mana dia?"

"Dia ada di dalam."

Tanpa berlama-lama pria itu melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan. Hal pertama yang ia lihat adalah beberapa anak buahnya yang berjaga di sana. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya saat ini, melainkan seorang pria yang berdiri di ujung ruangan dengan kedua tangan yang sudah dirantai.

"Sir, aku ..."

Bugh

Belum sempat pria itu bicara, satu pukulan keras di wajahnya ia dapatkan. Wajahnya yang sudah babak belur kembali meringis akibat pukulan itu. Justin mendengus dingin lalu terkekeh kecil melihat bagaimana hancurnya keadaan pria di depannya ini.

"Hebat sekali. Aku apresiasi untuk keberanianmu," seru Justin tersenyum mengejek.

Justin kemudian melangkah mengitari tubuh Mac yang sudah tidak berdaya. Langkahnya terhenti tepat di depan wajah Mac. Tanpa menghitung waktu lama, Justin melayangkan tendangan di wajah pria itu hingga membuat hidungnya berdarah. Kendati begitu Justin tetap tidak peduli. Dia terus melayangkan tendangan di sekujur wajah dan tubuh Mac.

Melihat Mac yang sudah terkapar lemah, Justin menghentikan dirinya. Dalam sekejap wajahnya berubah sedatar mungkin.

"Kau tahu, apa hukuman untuk seorang pengkhianat?" tanya Justin rendah. "Dia pantas mati."

Mac menggeleng kuat mendengar itu. Dia beringsut mendekati Justin lalu mendongak disertai tatapan memohon.

"Tidak, Sir. Maafkan aku. Aku mohon jangan bunuh aku," pintanya seakan meminta pengampunan.

Kekehan kembali terdengar. Kali ini dengan nada ejekan. "Ya, memohonlah."

"Bahkan sampai mulutmu berbusa pun, aku tidak peduli." Justin mendorong Mac dengan satu kakinya.

"Reymond, berikan aku senjata yang paling bagus agar pria ini segera pergi dengan tenang," seru Justin tanpa melepas pandang dari Mac.

"Baik, Sir."

Saat Raymond kembali dan memberikan sebuah senjata, bibirnya menyeringai kecil. Penuh cekatan Justin mengotak-atik benda itu.

"Tidak, Sir! Aku mohon ampuni aku. Bagaimana nasib keluargaku jika aku mati?" Justin tertawa sejenak. "Aku tidak peduli, Mac."

"Sir, tolong jangan bunuh aku ..."

Terlambat, satu peluru sudah bersarang di perut Mac hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Tiga kali tembakan yang Justin layangkan sudah membuat Mac tidak bernyawa.

Justin menarik benda itu setelah memastikan Mac benar-benar mati. "Berikan dia pada Rolf."

"Baik, Sir."

Setelah memberikan perintah kepada anak buahnya, Justin melenggang pergi. Urusannya sudah beres dengan menyingkirkan Mac. Justin melangkah keluar dari gedung tua itu lalu masuk ke dalam mobil. Justin masih bersikap tenang meskipun ia baru saja membunuh seseorang.

Justin Melviano. Siapa sangka di balik profesinya sebagai pengusaha sukses justru menyimpan rahasia dalam hidupnya. Selain berjaya di bidang bisnis, Justin juga berjaya dalam bisnis ilegal lainnya. Seperti, penyelundupan senjat*, perdagangan nark*b*, bahkan bisnis kebun anggur yang menjadi salah satu keuntungan terbesarnya. Dengan banyak anggota dan organisasi yang ia pimpin, Justin menjadi ketua mafia dengan kekejaman dan kesadisannya dalam membunuh musuh-musuhnya.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status