Share

Bab [06] Undangan Pesta

Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.

Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.

“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.

Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.

Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak enak badan dan Mr. Melvi pasti akan mengerti. Ya, itu dia. Alasan yang pintar, Rheanne. Batinnya memuji.

Setelah meyakinkan diri, lantas Rheanne pun beranjak pergi untuk menemui Justin di ruangannya. Berdehem sejenak sebelum mengetuk pintu ruangan itu dan masuk kedalam setelah terdengar seruan berat dari dalam sana.

Saat masuk, tiba-tiba atmosfer di sana terasa berbeda. Rheanne meneguk ludahnya gugup, menatap Justin yang terlihat tengah berkutat dengan beberapa tumpukan dokumen di sana. Mengabaikan rasa gugupnya, Rheanne perlahan berjalan mendekat pada Justin yang masih belum menoleh sedikitpun padanya. Sebelum berucap, Rheanne menarik napasnya dalam.

“S-sir?” cicit Rheanne pelan. Hanya menatap wajah Justin saja, dia sudah gugup seperti ini.

Justin hanya bergumam di tempatnya. Pria itu masih berkutat dengan kertas-kertas di atas mejanya. Entah kenapa tiba-tiba lidahnya terasa kelu, Rheanne memilin jarinya gugup. Namun, sekuat tenaga mungkin Rheanne membuka suaranya.

“Em, begini, mengenai pesta …”

“Jika ke sini hanya untuk beralasan, aku tidak terima.” Justin memotong ucapan Rheanne dengan cepat. Pria itu mendongak dan menatap Rheanne dengan serius.

“Apa?” Rheanne terdiam mematung. Dia bahkan belum mengatakan tujuannya ke sini, tapi Justin seolah bisa membaca isi pikirannya. Rheanne semakin meneguk ludahnya gugup.

Pria itu menyimpan berkasnya di atas meja. “Apa alasanmu?” Justin bertanya membuat Rheanne segera tersadar.

Rheanne berdehem singkat. “I-itu, aku … Aku, sedikit kurang sehat. Jadi lebih baik jika aku tidak usah ikut,” jelas Rheanne walau dengan suara yang pelan karena gugup.

Satu alis Justin terangkat, pria itu lalu memperhatikan Rheanne dengan lekat.

“Aku tidak melihat wajahmu pucat,” seru Justin menatap Rheanne dengan wajah yang lebih serius.

Rheanne semakin gelisah di tempatnya. “O-oh itu. Iya, aku hanya masih merasakan gejalanya saja, Sir,” sahut Rheanne beralasan.

Justin tidak menyahut. Membuat Rheanne tidak berkutik. Seketika ruangan menjadi sunyi dan senyap. Mereka sama-sama terdiam. Sedangkan Rheanne terus menunduk gelisah karena tidak mendapat reaksi apapun dari Justin. Pikiran dan hatinya dipenuhi dengan rutukan pada dirinya sendiri. Sekarang Rheanne merasa menyesal karena sudah senekat ini.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Justin kembali berucap. Namun, ucapan Justin justru membuat Rheanne semakin lemas di tempat.

“Apapun alasannya, aku tidak menerima penolakan.” Nada suara Justin terkesan tegas dan memerintah.

Rheanne memberanikan dirinya untuk menatap Justin. “T-tapi,”

Lagi, sebelum berucap Justin sudah kembali menyela ucapannya. “Pesta ini atas undangan dari rekan kerjaku. Dan Tuan Damien sudah mengundang semua orang di sini. Jadi, sebagai bentuk penghormatan padanya kita harus menerima undangannya dengan baik. Benar bukan?” jelas Justin panjang-untuk pertama kalinya.

Bahkan Rheanne dibuat tercengang mendengar penuturan panjang itu. Untuk pertama kalinya Rheanne selama bekerja di sini mendengar Justin berbicara panjang seperti ini. Walaupun raut wajahnya masih tetap sama, dingin dan datar.

Rheanne kembali tersadar lalu mengangguk dengan lesu. “Ya, Sir. Benar, aku mengerti. Maafkan aku."

Justin hanya mengangguk tanpa membalas. Setelah itu, Rheanne berpamitan untuk undur diri. Rencananya gagal sudah. Tidak ada film, tidak ada cemilan dan tidak ada santai enak di rumah. Rheanne menghela napas lesu.

“Nona Austin.”

Panggilan Justin membuat Rheanne menghentikan langkahnya. Segera gadis itu membalikkan badannya pada Justin yang memangil.

Justin menatap wajah Rheanne dengan lekat. “Tepat pukul tujuh,” seru Justin sedikit tegas.

Rheanne mengerut bingung, merasa tidak paham apa maksudnya. Rheanne hanya mengangguk saja setelah itu berlalu ke luar ruangan. Selama berjalan bahkan saat dia sudah berada di dalam ruangannya, Rheanne masih memikirkan ucapan dari Justin.

Tepat pukul tujuh, apa maksudnya itu. Otak kecilnya tidak bisa memikirkan hal itu. Tanpa peduli, Rheanne kembali melanjutkan pekerjaannya.

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status