Share

Bab [05] Strange

Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana.

Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik.

Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya.

Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa karena gadis itu pasti mengenal Justin lebih lama sebab Alissa sudah sangat lama bekerja di perusahaan ini.

Alissa menghentikan kegiatannya. Dia lalu menoleh pada Rheanne dengan kerutan samar di dahinya. “Hah? Apa maksudmu?”

Rheanne menggaruk hidungnya sejenak lalu mengangguk samar. “Iya itu, Mr. Melvi. Dia bukan seorang kriminal kan?” tanya Rheanne lagi.

Plak!

“Awh, Alissa!” pekik Rheanne.

Alissa melotot lebar lalu tanpa beban gadis itu langsung memukul bibir Rheanne hingga membuat Rheanne memekik kesal sekaligus kaget.

“Mulutmu itu! Bagaimana jika ada yang dengar?! Bisa mati kita!” sahut Alissa berdecak keras. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan berharap tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka berdua. Bisa gawat jika ada yang mengadu pada Boss mereka itu.

Rheanne mendengus pelan. “Aku hanya bertanya. Tidak perlu memukulku!”

Alissa hanya mendelik malas. “Itu pertanyaan bodoh!” ejek Alissa.

“Lagipula kenapa kau bertanya begitu?” tanyanya.

Rheanne terdiam. Jika dia memberitahu semuanya apa Alissa akan percaya. Tentang dia yang mendapati senjata di balik jas milik Justin, lalu saat dia melihat noda darah di jas milik Justin. Apa Alissa akan percaya padanya? Tapi Rheanne tidak yakin jika gadis di depannya ini akan percaya.

“Tidak, hanya iseng bertanya,” kilah Rheanne menggeleng pelan.

“Aneh. Tidak ada kriminal yang setampan dan keren seperti Mr. Melvi,” cibir Alissa.

“Iya-iya aku percaya.”

“Walaupun Mr. Melvi sedikit kejam, dia tidak mungkin menjadi seorang kriminal,” imbuh Alissa seraya meneguk minuman sodanya.

Seketika Rheanne berhenti mengunyah. Dia menoleh pada Alissa. “Kejam? Maksudmu?” tanya Rheanne. Mendengar kata ‘kejam’ membuatnya sedikit resah.

Alissa mengangguk singkat. “Iya, sedikit.”

Rheanne diam seraya mendengarkan Alissa yang akan kembali berucap. Rheanne penasaran, kejam dalam hal apa. Membunuh, menghajar atau apa?!

Alissa menghela napas lalu mengembuskannya. “Saat itu ada orang yang korupsi uang perusahaan. Dan berita itu terdengar sampai telinga Mr. Melvi. Karena Mr. Melvi membenci seorang yang berkhianat padanya, jadi dia murka dan marah.” Alissa menjeda sejenak ucapannya.

“Walaupun Mr. Melvi tahu alasan Tuan Cedric melakukan korupsi, tapi itu tetap tidak bisa ditolerir. Mr. Melvi marah dan memecat Tuan Cedric. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, tapi beberapa bulan kemudian kami mendapat kabar jika Tuan Cedric telah tewas. Diduga dia bunuh diri karena gila,” terang Alissa menjelaskan.

Kejadian itu memang sudah cukup lama, tapi masih berbekas.

Rheanne terhenyak di tempatnya. “Kau … Serius?”

Alissa mengangguk. “Iya.”

“Kau yakin dia bunuh diri? Bagaimana jika itu ulah dari Mr. Melvi?” ucap Rheanne menduga. Apalagi ketika dirinya mengingat kembali kejadian tempo hari. Itu masuk akal kan? Bisa saja senjata yang Justin miliki untuk membunuh orang.

“Ck, berhenti berpikiran buruk, Rheanne. Lagipula mana mungkin Mr. Melvi melakukan hal itu?” sahut Alissa berdecak.

“Itu mungkin saja,” gumam Rheanne lirih.

Alissa mendengus pelan. Pada akhirnya mereka pun kembali terdiam. Alissa maupun Rheanne saling fokus pada makan siang mereka. Namun, kemudian Rheanne tersadar dan tersentak saat tanpa sengaja melirik jam tangan miliknya.

“What?! Sh*t!” umpat Rheanne pelan. Dengan buru-buru dia meraih gelas minuman miliknya dan langsung meneguknya hingga tandas.

Alissa yang melihat itu menatap heran pada teman barunya itu. “Hey, hey. Calm down. Kenapa buru-buru begitu?”

“Look this! Sial, aku terlambat Alissa! Mati aku!” gerutu Rheanne merutuki dirinya sendiri.

Karena terlalu larut mengobrol dan bergosip dengan Alissa, Rheanne jadi melupakan jika jam masuk kantor sudah lewat. Ini bahkan sudah hampir satu jam dia terlambat. Rheanne benar-benar merutuki dirinya sendiri. Dasar ceroboh kau Rheanne!

Aliss tertawa. “Ups, maaf." Gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Rheanne hanya melirik sinis. Dia masih harus menyelesaikan makan siangnya yang tinggal sedikit lagi.

“Santai saja, paling kau hanya mendapat omelan Mr. Melvi.”

“Alissa!”

Alissa terkekeh. “Maaf, tapi aku serius. Mr. Melvi tidak akan memecatmu. Tidak perlu terburu-buru seperti ini."

Rheanne menggeleng keras. Setelah itu beranjak pergi meninggalkan Alissa. Bahkan Rheanne berlari kecil untuk segera sampai di ruangannya. Melihat itu hanya membuat Alissa geleng-geleng.

***

Rheanne berjalan cepat menuju ruangan miliknya. Kembali memaki, Rheanne lupa jika hari ini ada pertemuan dengan klien. Sial sekali, dengan segera Rheanne mengambil berkas di atas meja kerjanya lalu melangkah pergi dari sana. Kini gadis dengan kemeja putih dan rok hitam itu-berdiri di depan pintu ruang rapat. Sejenak Rheanne menarik napasnya lalu membuangnya. Setelah dirasa cukup, Rheanne pun mengetuk tiga kali pintu itu lalu berjalan masuk dengan langkah cepat.

“Maaf Sir, aku-akh!” Belum sempat Rheanne berucap, dia sudah berteriak kaget.

Karena terburu-buru, Rheanne jadi tidak memperhatikan langkah kakinya. Alhasil dia jadi limbung dan terjatuh, tapi bukan itu masalahnya, Rheanne terjatuh bukan pada tempatnya. Kedua tangan Rheanne tanpa sengaja menarik kerah jas milik Justin. Gadis itu terduduk tepat di atas pangkuan Justin. Manik mata milik Rheanne bersibobrok dengan mata tajam milik Justin. Untuk sesaat mereka saling beradu pandang, hingga kemudian Rheanne tersadar dan melotot lebar. Sedangkan dua rekan kerja Justin hanya saling pandang dalam diam.

Dengan cepat Rheanne berdiri dan menunduk. “M-maaf Sir, maafkan aku. A-aku tidak sengaja,” ujar Rheanne tanpa berani menatap Justin yang melirik padanya.

Justin hanya berdehem lalu mengalihkan pandangannya pada dua orang di depannya. Sementara Rheanne mati-matian menahan malu dan terus merutuki dirinya sendiri.

“Ekhm, kalau begitu kami pamit undur diri,” intruksi pria itu. Kedua pria itu pun bangkit berdiri. Diikuti dengan Justin.

Mendengar itu sontak Rheanne melongo tidak percaya. Apa? Rapatnya sudah selesai? Rheanne menggerutu dalam hatinya. Setelah ini dia pasti dalam masalah.

“Senang bisa bekerja sama denganmu.” Pria itu menjabat tangan Justin.

“Jangan lupa untuk menghadiri pesta kali ini. Karena kehadiranmu adalah kehormatan untuk kami,” ucapnya.

“Aku usahakan,” balas Justin singkat.

Setelah kepergian dua pria itu, keadaan ruangan pun hening. Hanya ada Justin dan Rheanne yang sejak tadi terus terdiam di tempatnya. Justin melirik pada sekretarisnya sejenak, lalu setelah itu melenggang pergi tanpa kata. Tersadar, sontak Rheanne bergegas menyusul Justin dengan langkah cepat.

“Sir, maafkan aku,” seru Rheanne. Dia berjalan di belakang Justin dan menatap punggung tegap itu yang berjalan di depannya. Rheanne terus mengikuti langkah Justin.

Rheanne mendesah pelan. “Aku benar-benar tidak sengaja. Aku lupa jika hari ini ada rapat dengan klien. Tolong jangan pecat aku Sir,” ujar Rheanne dengan pelan.

Rheanne takut jika kecerobohannya membuat Justin malah memecat dirinya. Justin menghentikan langkah kakinya lalu berbalik badan, menghadap pada Rheanne. Spontan Rheanne memundurkan langkahnya agar sedikit menjaga jarak dari pria itu. Justin hanya menatap Rheanne dengan pandangan lurus. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Entah itu marah atau kesal, tidak ada yang bisa menebak.

“Kembali ke ruanganmu sekarang,” titah Justin tegas.

Dengan patuh Rheanne hanya mengangguk. Dia melangkah lesu ke dalam ruangannya. Duduk dengan lesu di kursi kerja miliknya. Kepalanya ia taruh miring di atas meja, kedua matanya menatap pada ruangan Justin di sampingnya.

“Stupid!” 

Rheanne menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan. Menghentak kasar kedua kakinya. Rasanya dia ingin menangis sekarang juga.

“AH! Aku maluu!” pekik Rheanne tertahan.

Sementara Justin hanya menggeleng pelan. Suara Rheanne cukup terdengar ke dalam ruangannya, bahkan hentakan kaki dari gadis itu pun terasa hingga ke ruangan Justin.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status