Share

Bab [04] A Little Suspicious

Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.

“Get f*cking me out!”

Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya.

“You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.

Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.

Bugh!

Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di hadapannya hingga membuat pria itu meringis kesakitan. Bahkan keadaan bibirnya sobek dan berdarah.

“Kau terlalu banyak bicara.”

Alex meringis lalu menatap Justin dengan tajam. “Justin, sialan!” maki Alex penuh berani.

“Aku bersumpah tidak akan mengampunimu!”

“Shit! Shut your mouth!” sahut Miguel dengan tajam. Pria itu memukul wajah Alex yang sudah babak belur.

Semua di sana menatap tajam ke arah Alex yang sudah berani berkata kotor di depan Justin. Sementara itu, Justin hanya tersenyum meremehkan. Wajahnya begitu tenang menghadapi Alex yang justru menatapnya penuh dendam.

“Biarkan bedebah ini mengatakan kata-kata terakhirnya,” seru Justin dengan tenang.

Alex semakin menggeram di sana. “Kau pecundang, Justin! Kau pengecut!” lontar Alex berteriak dengan lantang.

Justin hanya diam dengan menatap diam pada Alex. Untuk saat ini dia akan membiarkan pria itu berbicara apapun.

“Kau takut padaku hah?” tuding Alex terkekeh mengejek. “Kau menyuruh anak buahmu untuk menangkapku. Kau takut kan, Justin! Kau pecundang! Bastard!”

Sedangkan itu, semua orang di sana sudah menahan amarah. Bahkan jika bukan perintah Justin untuk diam sudah sejak tadi Erland menghajar pria di depannya itu. Pria itu tidak tau diri, sudah kalah namun tetap menantang.

“Tidak lama lagi kau akan hancur. Aku sendiri yang akan menghancurkanmu!” teriak Alex dengan urat kemarahan yang begitu jelas terlihat di wajah lebamnya.

Justin tertawa. Sedikit memalingkan wajahnya, Justin terus tertawa. Setelah itu kembali menoleh pada Alex dengan wajah yang kembali datar. Tawanya lenyap dengan cepat yang kini tergantikan dengan wajah dinginnya.

“Great! Aku suka ambisimu Alex,” sahut Justin mengangguk singkat.

Justin melangkah memutari Alex yang merunduk di sana. Di sisi kanan kiri tubuh Alex ada anak buah Justin yang menahan tubuh pria itu. Justin memperhatikan Alex dengan intens namun penuh intimidasi.

“Tapi, harus aku katakan jika kau terlalu percaya diri.” Justin menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapan Alex.

Bugh!

Justin kembali memberikan tendangan pada tubuh Alex. Kali ini tepat pada perutnya hingga membuat bibirnya kembali meringis kesakitan. Alex mendongak dan menatap Justin dengan tajam.

“Damn it!” maki Alex meringis sakit.

Justin terkekeh pelan. Ringisan Alex justru membuat Justin merasa puas. Mantan anak buahnya itu terlihat sudah lemah tidak berdaya di hadapan Justin.

“Kau melupakan fakta,” ucap Justin menjeda.

Satu tendangan lagi lolos dari tubuh Alex. Pria itu kembali meringis kesakitan setelah rahangnya terkena tendangan lagi.

“Jika aku membenci pengkhianat,” tambah Justin menatap nyalang. Rahangnya mengeras menahan marah.

“Ssh…” Alex semakin meringis kesakitan. Tubuhnya sudah terduduk lemas di lantai karena sakit.

“Kau harus tahu, Alex. Jika pengkhianat sama dengan mati,” seru Justin menyeringai.

Tendangan terakhir kembali melayang pada wajah Alex. Kini pria itu semakin terkulai di lantai. Terbatuk darah disertai erangan dan ringisan kesakitan karena tubuhnya yang terasa sudah mati rasa.

“Come on, bicara lagi sebelum aku menghancurkanmu.” Justin terkekeh kecil. Menatap lurus pada tubuh yang sudah tidak berdaya itu.

Justin merunduk lalu berjongkok di depan Alex. Kemudian menarik rambut belakang pria itu dengan kuat-kuat. Tatapan Justin menatap wajah berdarah milik Alex dengan tajam dan sengit.

“Jadi, katakan padaku siapa pecundang di sini, Bastard,” bisik Justin tajam. Setelah itu tangannya menyentak kasar. Melepaskan cengkramannya pada rambut Alex hingga membuat kepala pria itu terbentur dan berdarah.

Justin bangkit dan menodongkan pistolnya. Dalam satu kali tarikan, peluru itu berhasil mengenai bahu Alex. Pria itu berteriak kesakitan. Darah merembes keluar hingga mengotori baju dan lantai, tapi Justin tidak peduli.

Justin kembali melesatkan peluru kedua pada paha milik Alex. Kembali, Alex mengerang kesakitan. Satu tangannya menutup luka pada pahanya, tapi itu tidak ada gunanya karena darah itu semakin banyak keluar.

“T-tidak, a-ampun …” Alex memohon dengan meringis kesakitan. Tubuhnya sudah tidak tahan menahan semua ini.

Suara permohonan Alex membuat Justin terkekeh sinis. “Katakan lagi.”

“A-ampun, a-aku b-bersalah.”

Justin semakin terkekeh. “Kau memang bersalah.”

“But, I won’t let you go,” ujar Justin menyeringai.

Dor!

Tembakan itu tepat mengenai kepala Alex. Darah dan organ kepala milik pria itu berceceran keluar. Darah milik Alex berceceran di mana-mana. Justin tersenyum puas lalu mengusap dahinya yang sedikit terkena darah.

Justin melirik pada anak buahnya. “Buang dia!” perintah Justin tanpa bantahan.

Mereka mengangguk.

“Yes, Sir.”

***

“Bawakan berkas yang harus aku tanda tangani!”

Tut.

Rheanne hampir berteriak setelah suara itu terdengar jelas di balik sambungan telpon. Itu suara dari Justin yang menyuruh Rheanne untuk menemui pria itu. Tidak ingin membuang waktu lama, Rheanne lekas pergi menuju ruangan Justin. Tidak lupa juga ia membawa berkas yang Justin pinta.

“Selamat siang, Sir.”

Justin melirik Rheanne yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Rheanne segera memberikan berkas yang ia bawa di tangannya kepada Justin.

“Ada lagi yang harus aku tanda tangani?” tanya Justin setelah semua berkasnya ia tanda tangani.

“Tidak, Sir. Ini-“ ucapan Rheanne menggantung begitu saja tatkala matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu di balik kemeja putih Justin.

“Kenapa?” tanya Justin mengangkat satu alisnya heran karena Rheanne yang tiba-tiba berhenti bicara.

Tersadar, Rheanne dengan cepat menggeleng pelan. “T-tidak, Sir. I-ini berkas terakhir yang harus ditandatangani.”

“K-kalau begitu, aku permisi,” pamit Rheanne melangkah sedikit berlari ke arah pintu agar segera keluar dari ruangan Justin.

Justin yang melihat itu hanya menautkan keningnya. Merasa aneh dengan gelagat dari sekretarisnya itu.

**

Saat sudah berada di ruangannya, Rheanne segera meneguk segelas air yang ada di atas meja hingga tandas tidak tersisa. Bahkan berkas yang tadi ia bawa kembali sudah ia lempar sembarang ke atas meja.

“What the hell. Aku pasti salah lihat,” gumam Rheanne mengusap keningnya sendiri.

“Tapi nodanya seperti … No, no, no. Ya, aku pasti salah lihat. C’mon Rheanne, singkirkan pikiran burukmu itu.”

Sungguh kepala Rheanne rasanya ingin meledak saja memikirkan beberapa kejadian yang ia alami. Kemarin benda-benda tajam, dan sekarang Rheanne malah melihat noda aneh di kemeja yang Justin kenakan. Warna nodanya jelas seperti darah, tapi Rheanne tidak ingin berpikiran sampai ke sana. Bisa saja itu hanya tinta merah yang berasal dari pulpen. Ya, itu mungkin saja.

Rheanne menyentuh detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdegup kencang. Saat pertama kali melihat noda di kemeja Justin tentu saja membuat Rheanne terkejut. Rheanne kembali menggelengkan kepalanya. Dia berusaha untuk melupakan kejadian itu dan memilih untuk fokus pada pekerjaannya saja. Namun tidak ayal, hal itu membuat Rheanne sedikit menaruh kecurigaan terhadap Justin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status