Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”
"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you." Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat te
Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin. Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu. Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal
Menyebalkan! Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau mem
Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.Bugh!Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di had
Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana. Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik. Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya. Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa kar
Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak ena
Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin