Nadina tiba-tiba melepas pelukannya dan mendorong Nadhif menjauh. “Mas kenapa di sini malam-malam? Mas harusnya ada di pondok. Mas kabur?” sergah Nadina menatap kelu sang suami. “Saya harus kemana jika bukan padamu, Nadina? Kita selalu melewati malam bersama ‘kan? Kenapa saya harus melewatkan malam ini tanpamu?” tutur Nadhif. “Mas! Adil, Mas! Istri mas bukan Nadina saja sekarang! Bagaimana mas bisa meninggalkannya di malam pernikahan kalian?!” Nadina membalik tubuh sang suami lalu mulai mendorongnya pergi. “Kita bicara besok saja! Mas pulang dan temani Putri Azalea. Akan menyakitkan untuknya karena mas tidak ada bersamanya sekarang,” ujar Nadina. “Saya tidak jadi menikahinya, Nadina. Sudah saya bilang bukan saya pelakunya. Dan Allah menunjukkan jalannya sendiri,” ujar Nadhif seketika membuat Nadina berhenti mendorong sang suami pergi. “Maksud, Mas? Bukannya mas sudah mengirim pesan itu sebagai tanda pernikahannya terjadi? Jangan berbohong, Mas!” bentak Nadina. “Saya tidak berbo
Wajah Nadina mendadak menjadi pucat, rasa kecewa yang semula tergambar atas pernikahan kedua sang suami kini berubah menjadi rasa belas kasih kepada sang korban. “Gimana keadaan Azalea sekarang, Mas?! Apa semuanya baik-baik saja??” sergah Nadina sambil menatap manik mata sang suami. “Dia ada di rumah sakit sekarang, besok saja kita temui. Sekarang sudah malam, kamu juga harus beristirahat, Nadina.” Nadhif sedikit mengangguk kecik berharap sang istri menuruti perkataannya kala itu. “Sekarang saja, Mas! Nadina mau bertemu Azalea sekarang. Nadina mohon, sekarang saja, ya!” pekik Nadina sembari mencengkeram lengan pakaian Nadhif. Keduanya kini berada di sebuah ruangan tempat Azalea terbaring dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya. Keadaannya tampak cukup parah hingga Nadina terlihat meneteskan air matanya. Tangan wanita itu kini hendak meraba perut Azalea, namun perkataan Nadhif menghentikannya. “Bayinya sudah tidak ada, Nadina. Azalea keguguran karena kecelakaan itu. Nyawa kand
Hari dimana Nadina diperkirakan melahirkan putra pertamanya semakin dekat. Namun wanita itu tak gentar untuk tetap mendatangi beberapa rumah santri yang telah lulus untuk menyampaikan beberapa hal kala itu. Nadina yang pergi bersama seorang sopir saja merasa sedikit was-was jika tiba-tiba ia merasakan sesuatu pada kandungannya. Namun kesibukan Nadhif tak bisa membuatnya meminta atau sekadar menuturkan keinginan untuk sang suami turut hadir. Saat Nadina hendak kembali ke mobil, perutnya mulai keram. Ia mulai merintih sakit hingga membuat sang sopir sedikit panik. Sayangnya, mobil mereka macet dan tak bisa segera menyala. “Biar saya bantu membawanya ke rumah sakit. Bapak hubungi saja suaminya untuk segera datang!” pekik seorang pemuda yang langsung membantu Nadina pindah ke mobil miliknya. Meskipun dalam rasa sakitnya, Nadina masih bisa melihat siapa pemuda yang membawa tubuhnya ke mobil kain. Ia sedikit menolak namun tak ada hal lain yang bisa dilakukannya. “Tolong percaya kepada
Nadina dan Nadhif dalam perjalanan menuju rumah sakit dan memutuskan untuk menginap di sana karena Nadina telah merasakan beberapa hal pada kandungannya. Nadhif dengan sigap membantu Nadina masuk ke mobil usai semua perlengkapan ia letakkan di kursi belakang. Hari itu, sebelum berangkat, Nadhif tampak memandang lama wajah Nadina yang tampak kebingungan karena ditatap lama oleh sang suami. “Ehm, ada apa, Mas? Nadina jadi canggung karena mas menatap seperti itu,” lirih Nadina tampak malu-malu. Nadhif meletakkan tangannya di atas tangan Nadina yang tengah mengelus pelan calon putri mereka. “Terima kasih sudah menjadi yang terbaik dalam hidup saya, Nadina. Apapun yang terjadi, kamu harus bahagia. Semoga setelah ini hanya kebahagiaan yang datang kepadamu, Sayang.” Nadhif lanjut mengecup bibir Nadina. Selama sekian detik itu, Nadina merasakan ada sesuatu yang aneh pada sang suami. Nadhif memang kerap menunjukkan cintanya, namun kali ini hatinya berkata lain. Seolah ada sesuatu yang men
Dokter segera membawa Nadhif keluar ruang bersalin sementara Nadina tampak panik namun tak bisa turut mengejar sang suami. Beberapa detik kemudian, ia jatuh pingsan. Nadina terbangun di ruang inap yang sunyi saat itu, saat dirinya menoleh ke samping dilihatnya Khoiri tengah menahan tangisnya. Teringat kembali pada sang suami, Nadina segera bangkit dan menghampiri Khoiri meskipun keadaannya belum cukup stabil. “Ibu,” lirih Nadina. “Nak, kamu sudah sadar. Jangan banyak bergerak dulu ya, Sayang! Kondisimu masih kemah, butuh banyak istirahat,” tutur Khoiri berusaha menuntun Nadina kembali. “Mas Nadhif di mana, Bu? Tadi mas pingsan, Nadina mau melihat Mas Nadhif. Ibu antar Nadina, ya!” pekik Nadina sembari memutar dirinya memeriksa sekitar. “Istirahat saja dulu ya, Sayang! Kamu masih lemah,” tutur Khoiri sambil kembali terisak. “Ibu, ibu kenapa nangis? Nadina baik-baik saja! Nadhin juga sudah lahir! Mas Nadhif juga baik-baik saja. Jangan membuat Nadina takut dengan tangisan ibu, ya!”
Tiga bulan setelah kematian Nadhif. Nadina duduk di taman pondok sembari menatap kursi lain yang pernah ia duduki bersama sang suami. Memori bahagia dimana ia bersama Nadhif tertawa tanpa henti seolah kembali terulang di hadapannya. “Mas lihat? Lagi-lagi Nadina melihat mas di sini. Semuanya. Tidak ada satu tempat pun yang Nadina datangi yang tidak memiliki kenangan bersama Mas Nadhif.” “Maafkan Nadina karena sudah banyak mengecewakan Mas Nadhif. Maaf jika Nadina sulit untuk berdiri sendiri sekarang. Maaf juga Nadina sangat kurang membalas besarnya cinta mas pada Nadina.” “Rupanya, hari itu mas tahu saat ini akan tiba? Mas tampak terus memeluk Nadina sebelum kita berangkat ke rumah sakit. Mas tampak bersih, rapi, wangi, tampan. Ternyata untuk bertemu dengan-Nya.” “Rupanya rasa takut Nadina saat itu benar, Nadina takut kehilangan mas. Dan sekarang, Nadina sendiri yang harus membesarkan putra putri kita. Bagaimana Nadina harus menjawab pertanyaan mereka saat bertanya dimana ayah mere
Empat tahun setelah kematian Muhammad Nadhif—suami Nadina, ayah Adnan dan Nadhin. “Umi, Nadina titip Nadhin sebentar ya, tadi masih bermain dengan para santriwati di halaman dalem—rumah inti keluarga pondok. Mungkin sebentar lagi ia kembali,” tutur Nadina sembari menyalami tangan Aminah—Ibu Nadhif, mertua Nadina. “Iya, Sayang. Setelah ini umi periksa ya! Kamu hati-hati menyetir mobilnya. Semoga Adnan suka dan nyaman dengan sekolah barunya, ya! Tidak terasa dia sekarang sudah sebesar ini,” tutur Aminah sembari tersenyum dan mengelus pucuk kepala Nadina. “Adnan tumbuh dengan baik berkat kasih sayang umi, abi dan seluruh warga pondok. Nadina yakin Adnan akan nyaman dengan sekolah barunya. Sedari tadi dia sangat bersemangat untuk datang ke sekolah pertamanya!” kekeh Nadina. Usai dari sana, Nadina meraih kotak makan di atas meja makan dapur dan memanggil sang putra yang telah menunggunya di ruang tamu dalem. Hari ini adalah hari pertama Adnan menduduki kelas satu sekolah dasar. Bocah b
Bel masuk berdenting, pemuda itu segera berjalan menjauh dari tempat Nadina nyaris menabraknya. Beberapa murid pun mulai berlarian masuk ke dalam kelas mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa saat kemudian, saat Adnan telah duduk rapi di sebelah sebuah kawan barunya, seorang guru pun masuk ke dalam kelas. Seorang guru yang tampak muda dengan pakaian rapi dan senyum yang manis. “Assalamualaikum, Anak-Anak!” pekik sang guru dengan antusias. “Waalaikumussalam, Pak Guru!!” sahut seluruh kelas dengan kompak meskipun sedikit lambat temponya. Sementara Adnan dan kelasnya dengan sesi perkenalan dan lain hal, Nadina tampak sedang duduk di halaman dalem sembari mengamati Nadhin yang sedang bermain di hadapannya. Putrinya yang berusia empat tahun itu tampak memiliki mata yang mirip dengan mata Nadhif. Nadina sedikit melamun hingga tanpa sadar air matanya menetes membasahi hijab putih panjangnya saat itu. “Nadina, kamu melamun?” Aminah yang muncul dari dalam dalem menepuk pundak Nadin