Nadina sedikit mengerutkan dahinya Nadina sedikit mengerutkan dahinya, agak sedikit bingung mungkin kiranya atas respons Rayyan atas beritanya. Sementara itu, Rayyan yang menangkap gelagat aneh Nadina usia ia menyelesaikan perkataannya pun segera meralat. “Jangan salah sangka, Nadina. Aku hanya ingin membantumu,” terangnya. “Adnan juga akan pergi bersama neneknya. Dia akan baik-baik saja. Terima kasih untuk tawarannya, saya permisi Pak Rayyan!” ujar Nadina lalu sedikit mengangguk sebelum meraih tas selempangnya dan hendak pergi. “Ehm, Nadina!” celetuk Rayyan sedikit lirih. Nadina menghentikan pergerakannya lalu menoleh ke arah Rayyan. “Iya?” “Bagaimana dengan masalah semalam? Apa kamu bisa mempercayai semua perkataanku? Aku bersumpah tidak berbohong, Nadina.” Rayyan dengan jelas memandang wajah Nadina dengan penuh keyakinan. Wanita itu bahkan juga sadar betul jika pemuda di hadapannya itu tak menunjukkan sedikitpun gelagat kebohongan. “Sebenarnya saya sendiri bingung mengapa h
Si pesuruh kembali ke mobil Regina dan mendapati wajah antusias Regina yang telah menyambutnya. “Bagaimana? Kau dapat semuanya? Ingat! Aku tidak terima laporan gagal!” sergah Regina. “Jika kau memintaku turun langsung, semuanya tak bisa didapatkan secepat itu. Kau akan dicurigai jika mengulik terlalu banyak!” pekik sang pesuruh. “Jadi?! Kau gagal! Dasar pecundang! Untuk apa aku memperkerjakan orang yang tak berkompeten!” hina Regina. “Hei, Regina! Aku tak bilang aku gagal! Jika kau ingin bekerja sama denganku perhaluslah mulutmu itu! Meskipun aku pesuruhmu, aku bisa mengacak-acak hidupmu seperti semua orang yang telah kau hancurkan hidupnya dengan bantuanku!” ancam si pesuruh. “Baiklah! Okei! Jadi apa yang kau dapat, hah?!” Sang pesuruh itu menegakkan tubuhnya lalu mulai tampak serius untuk memberi tahu info yang ia dapatkan dari ruang kesekretariatan tadi. “Wanita itu bernama Nadina. Entah siapa lengkapnya, tetapi yang terpenting ia disebut Nadina. Dia memiliki seorang anak ya
Beberapa jam setelah penantian, mobil Nadina kembali ke area pondok namun kali ini diikuti oleh sebuah mobil lain yang juga berhenti di area pondok. Boby segera memasang matanya untuk menyaksikan apa yang akan terjadi setelah ini. “Tunggu, seorang pemuda? Dia bukan Rayyan. Apa dia saudaranya? Atau– tunggu, apa Nadina banyak yang mengincarnya? Baru sehari aku mengintainya dan aku telah mendapatkan tiga pemuda dalam hidupnya? Waw!!” pekik Boby. Boby segera mengirimkan foto pemuda baru yabg turun dari mobil yang sekarang tengah berbincang dengan Nadina. “Kurasa hubungan mereka tak baik. Nadina terus berusaha menyudahi pembicaraan mereka. Tetapi pemuda itu seolah masih terus mengajaknya bicara. Hmm, kukira kehidupan pondok tak pernah menarik!” celetuk Boby. Sebuah pesan masuk menghalau pandangannya. Laporan atas pencarian pemuda yang baru ini ia lihat telah sampai padanya. “Arif Sadewa. Seorang fotografer. Tunggu, dia pernah bekerja bersama Nadina dan Nadina menjadi modelnya? Sebuah
“Ayo duduk dulu, Nadina. Tenangkan dirimu,” celetuk ali sembari mengelus pucuk kepala menantunya itu. Nadina duduk di sofa dengan masih bersandar pada Aminah dan berusaha mengatur napas dan tangisnya supaya segera mereda. Sementara itu, Ali menyodorkan sebotol air mineral untuk sang menantu teguk. “Abi lihat sendiri ‘kan seperti apa dia?! Umi sudah pernah bilang kepada abi untuk tidak menerimanya kembali datang ke sini. Lihat apa yang dia lakukan kepada putri kita! Dia datang kembali dan hendak menghancurkan kebahagiaan Nadina, Abi!” sergah Aminah. Ali tampak duduk di sofa depan Aminah dan Nadina lalu menarik napas yang cukup panjang. “Kita harus tetap bersikap baik, Umi. Umi lupa saat Rasulullah menyebarkan agama Islam dan mendapat pertentangan dari banyak pihak, caci dan maki, apakah Rasulullah membalas dengan cara yang salah? Rasulullah tetap berbuat baik. Masalah kita tak seberat masalah Rasulullah, dan apa yang hendak umi lakukan?” tutur Ali. Aminah meredakan emosinya sembar
“Mas Nadhif!” pekik Nadina seraya membuka matanya lebar-lebar. “Ibu..,” lirih Nadhin yang ikut terbangun akibat terkejut dengan pekikkan yang Nadina keluarkan barusan. “Astagfirullah,” celetuk Nadina langsung meraup muaknya dan memeluk Nadhin erat. “Maafkan ibu, Sayang. Nadhin pasti kaget, ya?” Nadina tampak mengelus kepala Nadhin lembut sembari terus mengecup kening putrinya. “Ibu mimpi Aba, ya? Dari tadi ibu manggil Aba terus, Nadhin panggil ibu tapi ibu tidak bangun-bangun. Nadhin jadi takut,” ujar Nadhin. Nadina merapatkan kedua bibirnya saat kembali teringat kehadiran yang suami benar hanyalah mimpi. Matanya melirik ke jam yang ada di atas nakas. Masih menunjukkan pukul setengah tiga pagi. “Maafkan ibu ya, Sayang! Nadhin tidur lagi, gih!” pintu Nadina lalu kembali memeluk Nadina. Dengan cepat bocah itu kembali memejamkan matanya dan terlelap dalam tidurnya. Sementara itu Nadina tampak masih membuka matanya. Sesekali air mata lolos dari benteng yang ia ciptakan sendiri. Da
Pertemuan dengan sang donatur berjalan lancar, Nadian dan sang donatur dapat mencapai kesepakatan sesuai dengan apa yang mereka berdua setujui. Pertemuan itu tak berlangsung lama, hanya sekitar tiga puluh menit setelah jam janji mereka. Sang donatur pamit pulang lalu Nadina menoleh ke arah Melati. “Sudah putuskan apa saja yang akan kamu bawa ke asrama?” tanya Nadina sambil tersenyum ke arah Melati. “Mbak, ternyata mahal lho di sini! Lagi pula kenapa si donaturnya pilih di sini padahal Cuma pesan minum?” sindir Melati. “Hey, ga boleh gitu! Udah nggak apa-apa. Pilih aja. Kira-kira kalau ini semua buat kamu, kamu bakal pesan apa. Pesan yang kamu suka juga yang akan teman kamu sukai, ya!” ujar Nadina. Melati tampak bengong sebentar lalu menoleh ke arah Nadina dan memeluk kawannya itu erat. “Makasih baaanyakk, Mbak Nadina!! Pasti satu asrama bakal rame banget karena senang makan ini!” pekik Melati. “Sama-sama, gih dipilih! Keburu jam makan siang nanti!” ujar Nadina. Melati kembali
Nadina menghentikan langkahnya. Ia kembali mengingat tentang Rayyan yang mengatakan bahwa Regina bisa melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Bahkan pembicaraannya dengan Regina tadi banyak menyimbolkan sesuatu dari setiap kalimat yang wanita itu tuturkan. “Apa mungkin Regina yang mengirimkannya? Tapi apa mungkin masalah sepeeti ini membuatnya bertindak terlalu jauh?” batin Nadina. Sementara Nadina masih berkutat dengan pikirannya sendiri, Melati yang menyadari ketidakhadiran kawannya itu di sebelahnya segera menoleh ke belakang dan mengerutkan dahi saat menghampiri Nadina. “Mbak? Kok berhenti? Kalau Melati tidak menengok bisa-bisa mbak ketinggalan di sini, lho!” sergah Melati. Nadina masih tak menyahut wanita itu seolah masih dengan pikirannya sendiri sementara Melati mulai melambaikan tangannya di hadapan wajah Nadina. “Mbak?!” pekik Melati seraya menyentak kedua pundak Nadina. Terkejut dengan sentakan yang Melati lakukan, Nadina tampak terjungkat hingga gelagapan merespons
Siang harinya, Nadina berhalangan untuk menjemput Adnan, dan oleh karena Aminah dan Ali yang akhirnya menjemput cucu mereka. Sesampainya di pondok, Adnan tampak segera berlari memasuki dalem seolah berita hebat hendak ia bagikan dengan sang ibu. “Ibu!!” teriak Adnan sementara Aminah hanya bisa terkekeh kecil bersama Ali melihat cucu mereka memiliki semangat yabg tak ada habis-habisnya. Tanpa diketahui, rupanya Nadina tengah menjelaskan sesuatu kepada seorang klien melalui sebuah platform meeting daring. Adnan yang mengetahui itu segera menutup mulutnya rapat dengan mata yang melotot. Nadina hanya melirik ke arah sang putra sembari tersenyum kecil dan mengangguk. “Maaf Ibu, Adnan tidak tahu!” lirih Adnan sembari menyatukan kedua tangannya sebagai kode permintaan maaf kepada sang ibu. Nadina pun mengangguk lalu Adnan berjalan kembali menuju kamarnya. Bocah itu sudah cukup mandiri untuk segera membersihkan dirinya, mengganti pakaian dan merapikan peralatan sekolahnya sepulang dari