[Inilah yang ingin Abang tunjukkan soal Hasan. Semoga kamu mengerti, Dek.]
Aku membaca pelan isi pesan kedua dari Bang Zaky. Helaan napasku mengudara begitu keras. Entah apa yang dia maksud dengan mengerti, saat foto Bang Hasan dan seorang bocah mungillah dikirimkannya padaku.
[Jangan bersikap acuh, Adek, karena kamu akan terluka.]
Pesan ketiga dari Bang Zaky masuk lagi. Aku tidak habis pikir tentang apa yang sebenarnya ingin disampaikan Bang Zaky perihal suamiku. Hanya selembar foto dimana Bang Hasan berjalan dengan menggendong bocah mungil. Tidak ada apa-apa lagi selain keduanya, tetapi Bang Zaky bersikap seolah Bang Hasan baru saja berselingkuh dan mengkhianati diriku.
Aku mengepalkan tangan untuk sesaat. Tidak perlu pikir panjang tentang apa yang akan kubalas untuknya.
[Terima kasih banyak, Bang. Akhirnya, aku punya koleksi tambahan untuk foto Bang Hasan. Aku paham dengan kegelisahannya Bang Zaky, tapi aku tidak ingin mencurigai Bang Hasan untu
“Itu ...,” tunjukku ke arah si kecil.Bang Hasan, kakak sepupu serta mamak mertua lekas menoleh. Mereka mengikuti arah jariku yang menyoroti anak itu.“Itu siapa, ya, Mak?” ujarku lagi.Terus kuperhatikan si kecil, mendadak saja perasaan cemas berkecamuk di dalam dada jika mengingat foto yang dikirimkan Bang Zaky siang tadi. Anak itu, juga ada di sini. Di rumah ini, bersama keluarga Bang Hasan dan yang lain.Sejenak, kuputuskan untuk terus berpikiran positif walau belum ada satu penjelasan apapun mengenai siapa sebenarnya anak kecil itu. Dia si kecil yang berwajah masam, sedang memandangi layar gawai, berpakaian bagus dan mahal, juga tampan.“Siapa, ya, Mak?” Entah sudah berapa kali aku menuntut, namun tetap saja mamak dan Bang Hasan diam.Mereka terlihat bertukar pandangan, sampai kakak sepupu Bang Hasan yang mengaku tinggal agak jauh dari kediaman mamak mertua bersuara, “Itu anaknya Kakak, Zahrah.
Manik mata Bang Hasan memendar mendengar tuduhanku barusan. Niat hati hanya ingin menjebaknya, namun suamiku malah bersikap di luar dugaan. Kami saling menatap dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara untuk sesaat, yang menggema hanyalah tangisan tanpa henti dari Husein, dan bujuk rayu dari mamak mertua yang terus mencoba untuk menghentikan tangisnya. “Abang, jelasin!” Aku mencoba menahan gejolak emosi. Tidak mungkin benar tebakan sembaranganku itu. Husein tidak mungkin anaknya Bang Hasan. Selain tidak ada kemiripan di antara keduanya, aku yakin benar Bang Hasan belum pernah menikah selama kepergiaannya ke Kalimantan. Setidaknya, itulah yang disiratkannya dalam setiap kata sebelum kami memutuskan untuk menikah. “Hasan, kalau kamu enggak bawa Zahrah ke kamar, tolong bujuk Husein dulu,” pinta kakak sepupunya. Kami bersamaan melongok ke lantai dasar. Di bawah sana, mamak mertua menengadah, pun kakak sepupu. Sedang Husein, tangan mungiln
Pekikan nyaring dari mamak mertua terdengar saat tubuh Bang Zaky melayang sebelum kemudian menghantam lantai. Rahang pria itu mendapat pukulan telak dari suamiku saat bibirnya mengucapkan kata nan menyakitkan untuknya.Aku lekas menahan Bang Hasan lebih dulu, sebelum tangannya yang membentuk kepalan keras itu mencumbu rahang Bang Zaky untuk kali kedua. Apapun yang dilakukan oleh Bang Zaky selama ini, tidak seharusnya diselesaikan dengan kekerasan seperti ini.“Abang, berhenti ... jangan pukuli lagi.”“Minggir, Zahrah. Abang tidak bisa tinggal diam melihat kelakuannya Bang Zaky,” geramnya.Bang Hasan mendekat lagi usai menepis tanganku. Dia membawa serta semua emosi ke hadapan Bang Zaky seolah siap untuk menumpahkannya di sana.“Sadar kamu, San!” Kakak sepupu berteriak lebih lantang. “Tahan Hasan!”Kerabat lelaki menyerbu, mereka mulai mengapit lengan Bang Hasan yang memberontak, menyeret paksa
“Abang tidak ingin menjelaskannya sekarang?” tanyaku begitu aku menutup daun pintu rumah.Bang Hasan yang menggendong Husein hanya berdiam diri di depan pintu kamar kami. Bibirnya terkatup sempurna sampai aku tidak bisa menebak apa yang ada di benaknya. Tidak cukup sampai di situ, Bang Hasan pun enggan menoleh padaku meski untuk sejenak.“Abang ....”“Besok, besok Abang jelaskan. Sebaiknya, malam ini kita istirahat dulu, Zahrah,” elaknya. Sesuatu yang sudah kutebak saat melihatnya mengajakku gegas pulang ke rumah.Bang Hasan tentu akan bertahan dengan pikirannya, dan menganggap jika keputusannya adalah yang terbaik. Akan tetapi, bagiku semuanya tentu berbeda. Anak kecil yang akan dibawa Bang Hasan ke dalam kehidupan kami, aku tentu berhak untuk tahu tentang siapa dia dan dari mana asalnya.“Itu anaknya Abang, kan?” Sesak terasa di dalam dada.Aku hampir saja menumpahkan air mata saat mendapati
Kami duduk bersisian setelah menghabiskan sekian waktu dalam keheningan. Ekspresi Bang Hasan yang tiba-tiba berubah menjadi sedih, membuatku memilih menyerah dan memutuskan untuk menenangkannya lebih dulu. Setidaknya, sampai Bang Hasan bersedia berbicara lebih jauh.Tanganku bersedekap di dada yang membusung, sedangkan Bang Hasan duduk dengan jemari yang terpilin di pangkuan. Tidak ada yang berbicara, hanya ada helaan napas yang mengudara, dan aku masih belum sanggup untuk membuka suara.“Abang tidak tahu harus memulainya dari mana ....” Begitulah ucapan Bang Hasan kemudian.Dia menghela napas sedalam mungkin, sampai dadanya yang bidang membusung, mengalahkanku yang sejatinya seorang wanita. Aku paham, sesuatu yang disimpannya sekian lama, telah membuat dirinya sakit dan tersiksa sampai mengenang pun mampu membuatnya terluka.“Soal ini, Abang juga tidak jujur sepenuhnya pada mamak dan yang lain,” imbuhnya lagi.Bang Hasan me
Kupeluk erat Bang Hasan saat melihatnya terdiam usai menyibak sedikit kisah. Tubuhnya mendadak dingin, keringat sebesar biji jagung berhamburan di pelipis, hingga membasahi kerah kemeja kerjanya hari ini. Bang Hasan mulai memilin jemarinya di pangkuan untuk kesekian kali. Gugup terasa jelas dari setiap pergerakannya. Seakan tidak ingin membuka tabir itu, Bang Hasan tertawa kecil sendirian. Hanya beberapa detik, sebelum kemudian bibirnya merapat lagi, dan suamiku bersiap untuk menguak lebih banyak kisah yang selama ini disimpannya seorang diri. “Abang, jadi sering diajak ke rumah. Makan malam di sana bersama dia dan istrinya. Kadang, Abang menolak karena merasa tidak nyaman. Istrinya kerap kali berpakaian terbuka saat Abang datang, dan teman Abang tidak menegur sama sekali. Selain itu, tatapannya ke arah Abang mulai berbeda dan jelas membuat Abang risih. Sesekali, dia tersenyum, senyum penuh napsu. Ekor matanya meruncing, Abang mulai merasa aneh dengan wanita itu. ”
Andai saja hari ini weekend, mungkin aku bisa meluruskan lutut yang lelah di rumah, bertemankan gawai, menonton tv, dan semangkuk cemilan. Sungguh, semua hal yang dulu mudah kulakukan, sekarang bagaikan hujan di musim panas.Jangankan bisa berleha-leha seharian, batinku saja terus bergolak usai menikahi Bang Hasan. Walau dia tidak pernah menuntutku memasak atau mengurusnya setiap hari, tetapi hal-hal yang dilakukannya belakangan ini membuat perutku mual sendiri.Pagi tadi, Bang Hasan langsung berangkat ke rumah mamak mertua. Dia mengantar Husein yang masih terlelap di ranjang kami tanpa berkata apapun padaku. Usai mandi pagi, kutemukan rumah sepi, lalu deru mobil kami terdengar dari arah luar.Ingin rasanya bertanya, kenapa Bang Hasan mengambil keputusan sepihak. Namun, jawaban yang akan kuterima akan selalu sama. Dia ... ingin menjaga perasaanku, di atas segalanya.“Bu ... Bu Zahrah!”Aku mengerjap sekali, nanar segela menghilang dan b
“Bismillah ....”Kalimat yang terlontar saat menginjakkan kaki kembali di rumah keluarga Bang Hasan. Debar-debar kekhawatiran segera menyergap begitu kudapati suara riuh rendah dari arah dalam.Perlahan, dengan memberanikan diri, aku melangkah memasuki ruang depan. Tempat yang sama dengan dimana kutemukan kenyataan tentang Husein dan Bang Hasan.Di sofa-sofa yang sama, beberapa orang duduk berdekatan. Mamak mertua memilih posisi menyamping, tepat di sebelah Bang Hasan yang memangku Husein. Sedang kakak sepupunya yang kemarin mengaku sebagai orangtua kandung Husein, duduk di arah berlawanan.Dari tempatku berdiri saat ini, bisa kulihat dengan jelas jika mereka terlihat bahagia. Termasuk dua orang yang sepertinya pasangan suami istri itu.Mereka tertawa kecil, sesekali melontarkan canda dan tawa sampai suara riuh kembali menyapa. Sembari meneguk minuman berwarna jingga yang disuguhkan di atas meja, mereka lagi-lagi menjerumuskan