Share

Mendadak Jadi Istri Kedua CEO Muda
Mendadak Jadi Istri Kedua CEO Muda
Penulis: gramarind

01. Antara Mimpi dan Kenyataan

"Nggak mau, Bu. Ibu tahu Laras masih pengen lanjut kuliah. Beasiswa Laras bahkan udah diterima kemarin." Perempuan dengan rambut panjang kecoklatan itu berbicara dengan suaranya yang mulai bergetar. Matanya kini bahkan terlihat berair, seakan menegaskan bahwa ia sedang menahan tangisnya dengan sekuat tenaga hingga suaranya bergetar seperti itu.

"Kamu tahu uang 300 juta itu banyak untuk keluarga kita, Ras. Bapak sama Ibu dapat uang segitu dari mana lagi?"

"Laras akan carikan buat Bapak. Tuggu sampai Laras selesai kuliah, Laras pasti bayar semua hutang Bapak."

"Mereka nggak bisa nunggu lebih lama, Nak," sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi duduk tenang sambil memijat pangkal hidungnya, "mereka ngancam mau laporin bapakmu ke polisi kalau kita nggak lunasi dalam sebulan kedepan. Kamu tega lihat bapakmu masuk penjara?"

"Terus, Ibu tega lihat anak Ibu harus ngubur mimpinya dan hamil tanpa menikah?!" pekik Laras dengan nada bicaranya yang mulai tinggi.

"Lagi pula kamu nggak rugi, toh, Nak? Mereka cuma akan ambil sel telur kamu untuk dibuahi. Setelah melahirkan kamu bisa lanjut kuliah. Mereka juga janji buat kuliahin kamu sampai selesai, kan?"

"Ibu sadar ngomong gitu sama Laras? Ibu tega ngomong gitu sama anak perempuan Ibu satu-satunya?"

"Kalau gitu kamu nikah aja," ujar seorang perempuan yang baru saja memasuki rumah keluarga Laras.

Rumah itu tidak terlalu luas, jadi siapa saja bisa melihat bagian dapur dan ruang keluarga, ketika mereka memasuki ruang tamu. Sama halnya dengan Bella, perempuan berambut pendek sebahu, yang baru saja mendengar ucapan Laras.

"Kalau kamu keberatan pinjemin rahim buat aku, kamu nikah aja sama suamiku. Jadi kamu nggak perlu khawatir karena hamil tanpa menikah."

"Kamu gila?!" pekik Laras, "aku bahkan nggak kenal sama kamu dan suami kamu!"

"Kalian bisa saling kenal sambil siapin pernikahan, kan?"

Laras menggelengkan kepalanya, kemudian mengusap air mata yang sudah membanjiri pipinya. "Udah gila kamu!"

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Laras melangkah keluar rumah dan meninggalkan mereka semua di sana. Laras menyalakan sepeda motornya, kemudian bergegas untuk pergi. Matanya masih basah, dadanya masih terasa sesak. Masih segar dalam ingatan, bagaimana Laras berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai mata kuliah dan prestasinya di kampus untuk mengajukan beasiswa dan melanjutkan kuliahnya. Kini semua keinginan Laras sudah ada di depan mata. Ia sudah diterima di sebuah universitas kedokteran yang cukup terkenal, dengan beasiswa penuh. Namun, seakan tidak mendapat restu dari semesta, Laras dipaksa untuk mundur dan mengubur semua cita-cita dan mimpinya.

Setelah sekitar 15 menit berkendara dari rumahnya, kini Laras sampai pada sebuah cafe yang sering ia datangi. Laras memarkirkan motornya pada pelataran cafe tersebut, kemudian melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi yang berada di ujung ruangan. Sejenak, Laras menghela nafas sambil menatap lurus keluar jendela. Dalam keterdiaman itu, ia memperhatikan barisan awan yang terlihat begitu cerah, sambil terus berusaha untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Hingga tak lama, ada sebuah gelas yang diletakkan pada meja di hadapannya, dan berhasil memecah keterdiaman Laras. Kemudian Laras tersenyum pada seorang laki-laki yang baru saja meletakkan gelas itu.

"Dateng-dateng langsung mojok di sini. Nyapa dulu, kek!" ujar laki-laki itu. Dia adalah teman kuliah Laras, yang selalu menemani Laras kemana pun. Berbeda dengan Laras yang ingin melanjutkan studinya, laki-laki itu membuka sebuah cafe kecil dengan bantuan orang tuanya.

"Makasih," ujar Larasati sambil tersenyum, kemudian ia mengaduk-aduk minuman itu dengan sebuah sedotan.

"Kenapa sih, Ras? Murung amat? Beasiswa lo udah diterima, jadi kali ini apa lagi?"

"Gue dipaksa hamil."

Laki-laki yang duduk di hadapan Larasati jelas terbebelalak. "Hah? Yang bener, ah, kalau ngomong! Gue nggak ngerti!"

"Lo tahu kalau bapak gue punya utang 300 juta, kan, Chan?" tanya Laras pada laki-laki bernama Chandra di hadapannya.

"Yang dibawa lari sama temen proyeknya dan berakhir bokap lo harus ganti rugi itu, bukan?"

"Yup ...." Larasati bersandar pada kursi yang ia duduki. "Orang yang minjemin minta itu duit dibalikin bulan depan karena anaknya mau kuliah di luar negeri."

"Terus? Lo dijual ke orang itu?"

"SEMBARANGAN!" pekik Larasati, membuat Chandra seketika mengulum mulutnya.

"Sorry, gue pikir lo dijual." Kali ini, Chandra terkekeh.

"Tapi bisa dibilang gue emang dijual, sih. Ada sepasang suami-istri yang udah nikah 5 tahun, tapi ternyata istrinya nggak bisa kasih anak. Jadi mereka mau pinjem rahim gue. Mereka mau bayi tabung pakai sel telur dan rahim gue."

"Jadi lo terima?!"

"Ya nggak, lah, Chan! Apa kata orang kalau gue hamil padahal belum nikah?"

"Lo nggak bilang sama ibu lo kalau beasiswanya udah keterima? Sayang banget, Ras. Gue tahu seberapa keras lo ngejar beasiswa itu."

"Gue udah bilang, Chan." Laras tampak terkekeh. Namun, kekehan yang justru terdengar pilu. "Tapi kata Ibu, ngejar mimpi tuh cuma buat orang-orang kaya. Sedangkan gue, gue nggak berhak untuk itu."

"Terus lo bilang apa lagi?"

"Gue nggak bisa bilang apa-apa lagi, sampe ada perempuan yang tadi dateng, tiba-tiba minta gue jadi istri kedua suaminya."

"Gila!" pekik Chandra yang kemudian menutup mulutnya karena terkejut, "terus gimana?"

Laras tampak menggeleng pelan. "Gue kayak nggak punya pilihan lain selain nerima salah satunya, Chan. Lakuin prosedur bayi tabung dan relain anak gue buat diambil mereka, atau gue nikah dan jadi istri kedua."

"Tapi lo bilang nggak mau hamil sebelum nikah ...."

"Menurut lo gue harus gimana?"

"Mau gue pinjemin duit ke orang tua gue, nggak?"

"Lo gila?!" pekik Laras sambil memukul pelan bahu Chandra, "300 juta nggak sedikit, Chan. Lo bisa diusir dari rumah!"

"Ya terus lo mau gimana, Ras?"

"Kayaknya gue bakal terima, deh."

"Bayi tabung?"

Laras menggeleng lemah, lalu meremat ujung kaos yang ia kenakan. "Nikah sama suami dari perempuan tadi."

Tidak ada lagi suara diantara keduanya, sebab mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Di tengah keterdiaman itu, Chandra menekan sakit yang berada jauh dalam dadanya. Diam-diam, laki-laki itu berdoa agar mereka bisa menemukan jalan keluar, agar tidak ada laki-laki lain yang membawa Laras pergi jauh dari sisinya ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status