Share

02. Life Just Took a Left

[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]

Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras.

"Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bisa berumur panjang. Namun, seperti biasa, ia hanya mampu berolahraga selama 15 menit dan selebihnya selalu Laras gunakan untuk rebahan seperti sekarang.

Laras sendiri tahu, bahwa hidupnya tidak pernah mudah seperti hidup orang lain. Tapi, apakah penderitaannya selama ini belum cukup? Dulu, Laras harus berpanas-panasan dan berpindah dari satu angkutan ke angkutan yang lain saat berangkat dan pulang dari sekolah, sementara teman-teman sebayanya sudah memiliki sepeda motor sendiri. Saat masuk kuliah dan berhasil mendapat motor bekas sebagai hadiah ulang tahun dari Bapak, Laras harus bekerja paruh waktu untuk membantu ekonomi keluarganya. Lalu sekarang setelah ia mendapat beasiswa yang sudah didambakan sejak lama, Laras harus kembali mengalah dan dihadapkan pada dua pilihan yang begitu sulit.

Laras bisa saja kabur dari rumah dan menjalani kuliah dengan jurusan yang sudah ia impikan itu. Karena selain mendapat beasiswa penuh, Laras juga bisa mencari pekerjaan paruh waktu untuk biaya hidupnya. Namun, Laras bukan gadis yang bisa menolak permintaan orang tuanya dengan semena-mena, sebab ini bukan hanya soal hidupnya, tapi juga soal hidup kedua orang tuanya. Belum selesai dengan pikirannya yang masih begitu berisik, ponsel milik Laras berdering dengan kencang. Laras tidak tahu siapa yang menelepon, sebab nomor itu tidak pernah ada di daftar kontaknya.

"Halo?"

"Udah siap?" tanya seorang laki-laki dari seberang telepon, ketika Laras baru saja menjawab panggilannya.

"Siapa ini?"

"Jovian, suami Bella."

Ya Tuhan! Laras benar-benar tidak menyangka bahwa perempuan bernama Bella itu bersungguh-sungguh soal ucapannya. Perempuan mana yang rela melihat suaminya menikah dengan orang lain hanya karena ingin memiliki anak? Baiklah, Laras mengerti bahwa memiliki seorang anak bisa menjadi sangat penting bagi sebagian besar pasangan di luar sana, tapi bukankah merelakan suaminya untuk menikahi perempuan lain adalah suatu keputusan yang tidak masuk akal?

"Kenapa diam?" tanya Jovian lagi, "saya tanya, kamu udah siap atau belum?"

"Siap apa?"

"Istri saya udah bilang kita makan siang di luar, kan? 10 menit lagi saya udah sampai di rumah kamu."

"Aku belum mandi."

"Nggak pa-pa, Ras. Saya tunggu, karena Bella minta saya buat jemput kamu."

"Tapi mandinya lama."

"Nggak pa-pa, tetap saya tunggu."

Panggilan telepon itu terputus begitu saja, tanpa sempat Laras mengatakan apa pun lagi. Sementara Laras, ia terlihat mengacak rambutnya frustasi dan membenamkan wajahnya pada bantal untuk berteriak kencang. Kemudian, perempuan itu berjelan ke arah kamar mandi dengan langkahnya yang tampak gontai.

Laras adalah perempuan yang jarang sekali menangis. Bahkan ia tidak menangis ketika lututnya harus dijahit, setelah jatuh dari sepeda yang ia pinjam dari temannya saat SD dulu. Namun, siang ini dia menangis. Laras menangisi dunia yang tidak pernah berpihak padanya. Ia menangisi bagaimana hidupnya selalu tertinggal jauh dari teman-teman sebayanya.

***

Kini Laras sudah berada di perjalanan menuju salah satu restoran di wilayah Senayan, salah satu wilayah yang jarang sekali Laras kunjungi. Jalanan Minggu siang itu cukup lengang. Mungkin karena sebagian orang memilih untuk menghabiskan waktu di rumah setelah dihantam pekerjaan selama sepekan. Sama seperti Jovian yang tampak fokus pada jalanan di depannya, Laras pun tampak fokus pada apa saja yang mereka lewati. Tidak ada pembicaraan diantara keduanya, hingga Jovian terdengar berdeham.

"Saya nggak tahu keputusan apa yang bakal kamu ambil nanti, tapi kamu harus tahu kalau saya nggak mau liat istri saya sedih. Dia mungkin akan patah hati liat saya menikah sama orang lain, tapi dia akan lebih patah hati kalau kamu milih buat nolak permintaan dia."

"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kalian," sahut Laras lirih sambil terus melihat keluar jendela mobil, "bisa-bisanya Mbak Bella minta suaminya nikah sama perempuan lain. Itu bahkan terlalu jahat buat kita berdua. Perempuan mana yang mau berbagi suami?"

"Tapi kamu tahu apa yang lebih jahat?" lanjut Laras yang kini menoleh hanya untuk mendapati Jovian masih memandang lurus pada jalanan, "kalian kasih aku pilihan buat lakuin prosedur bayi tabung, padahal aku belum menikah, dan kalian bakal ambil anakku setelah lahir. Pernah nggak, kalian mikir kalau itu jahat banget?"

Jovian tampak mencengkeram setir mobilnya. Laki-laki itu cukup tahu, bahwa permintaan Bella memang tidak masuk akal. Namun, Jovian terlalu mencintai Bella, jadi ia tidak mau menyakiti Bella dengan menolak permintaannya.

Kini mereka sudah memasuki area parkir salah satu gedung yang cukup terkenal. Setelah berhasil memarkirkan mobilnya, Jovian turun dan melangkah untuk masuk ke gedung megah itu, yang diikuti oleh Laras. Ada beberapa coffe shop yang terlihat mewah di dalam sana, juga beberapa restoran yang pengunjungnya dari kalangan orang-orang kaya. Untuk sejenak, Laras menunduk dan memperhatikan pakaian yang ia kenakan. Hari ini ia hanya memakai celana jeans hitam dengan kaos berwarna putih. Sangat berbeda dengan pengunjung lain yang tampak anggun dan berkelas.

Jovian dan Laras memasuki sebuah restoran yang menyajikan makanan khas indonesia. Baru selangkah Laras masuk ke dalam, ia bisa mencium aroma menggiurkan dari nampan berisi makanan yang dibawa oleh para pelayan. Di sisi kanan restoran itu, ia melihat Bella melambaikan tangan ke arah mereka.

"Macet, nggak?" tanya Bella yang baru saja mendapat kecupan singkat di keningnya dari Jovian.

"Nggak, Mbak. Jalannya sepi, kok"

"Bagus, deh," sahut Bella yang terlihat bersemangat itu, "eh, pesen dulu, Ras. Mau apa?"

"Apa aja, Mbak."

"Nasi goreng kencur di sini enak banget, Ras. Aku sama Jovian sering makan di sini, dan nasi goreng itu yang paling sering aku pesen. Mau coba?"

Laras mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Boleh, Mbak."

Setelah seorang pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, Bella tampak menyamankan posisi duduknya. Perempuan itu menatap Laras, lalu menoleh sebentar pada Jovian yang duduk di sampingnya.

"Ras," lirih Bella, "kamu udah ambil keputusan?"

"Aku nggak bisa, Mbak," sahut Laras cepat, "beasiswaku baru aja diterima, Mbak. Aku udah kerja keras untuk beasiswa itu sejak lama. Aku nggak bisa ngelepas gitu aja."

"Kamu bisa lanjut kuliah setelah melahirkan, Ras. Atau kamu bisa sambil kuliah selama kamu hamil. Aku bakal bayarin penuh biaya kuliah kamu. Kamu bisa pilih kampus dan jurusan mana aja yang kamu mau."

"Aku bahkan belum menikah, Mbak. Gimana bisa aku hamil? Aku bisa sambil kuliah selama hamil? Terus apa kata temen-temenku kalau mereka tahu aku hamil tanpa menikah? Apa kata mereka kalau tahu aku lakuin prosedur bayi tabung padahal aku belum menikah?"

"Aku udah bilang kemarin, kalau kamu bisa menikah sama suamiku."

"Sayang, kamu--"

"Its oke, Jo," putus Bella, "aku nggak pa-pa. Mama kamu udah pengen banget punya cucu dan aku nggak bisa kasih itu. Pilihannya kamu ceraikan aku atau punya anak dari perempuan lain, kan? Kamu mau ceraikan aku?"

Jovian menggeleng lemah. Ia tahu bahwa mamanya bukan seseorang yang bisa ia lawan.

"Aku tahu bapak kamu lagi kepepet banget, Ras. Kamu tega lihat bapak kamu masuk penjara?" lanjut Bella yang kini tatapan matanya sangat sulit untuk diartikan, "kamu punya tiga pilihan."

Bella memajukan tubuhnya, dan melipat kedua tangannya ke atas meja. "Yang pertama, kamu lakuin bayi tabung itu lalu kasih anaknya ke kami. Yang kedua, kamu nikah sama Jovian dan kamu masih punya hak atas anak kamu setelah dia lahir. Atau yang terakhir ... biarin bapak kamu masuk penjara?"

.

.

.

* 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'

(Hidup selalu berjalan ke kiri, kita mengira hidup akan berjalan lurus atau ke kanan, tapi hidup berjalan ke kiri-- hidup tidak pernah sesuai dengan apa yang kita inginkan.)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status