Share

03. Cincin Pernikahan

Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana.

"Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.

Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella.

"Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu."

"Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau."

"Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.

Detik berikutnya, Bella tampak memanggil salah satu karyawan pada toko tersebut.

"Dulu aku pesen cincin pernikahanku sama Jovian di sini, Ras," ujar Bella saat seorang karyawan perempuan sudah berada di hadapan mereka, "ini toko perhiasan langgananku. Makanya aku pengen kamu pakai cincin dari sini juga."

"Mbak, tolong ukur jari dia, ya," ujar Bella pada perempuan di hadapannya, "tolong buatkan dia cincin pernikahan yang cantik."

"Baik, Bu."

"Ah, Jovian butuh cincin baru nggak, ya?" lanjut Bella, "dia udah ada cincin nikah sama aku, sih, Ras. Kamu nggak keberatan kalau dia nggak pakai cincin yang sama kayak kamu, kan?"

Pertanyaan Bella tentu saja membuat semua karyawan yang berada di sana memusatkan perhatian pada mereka. Toko itu masih sepi, karena memang mereka baru saja memulai jam operasionalnya. Makanya ketika Bella berbicara, semua orang yang berada di sana bisa mendengarnya.

"Ada yang pernah bikin cincin buat pernikahan kedua suaminya nggak sih, Mbak?" tanya Bella. Perempuan yang kini sedang melayaninya tampak bingung dan melirik Laras dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ah, ini calon istri kedua suami saya, Mbak."

"Mbak Bella," potong Laras, "aku belum setuju soal pernikahan itu."

"Berarti kamu setuju soal prosedur bayi tabungnya?"

"Mbak, aku--"

"Aku udah transfer uang 300 juta itu ke bapak kamu, Ras. Emang dia nggak bilang? Aku pikir kamu udah setuju makanya bapak kamu terima uang itu," potong Bella. Perempuan itu tampak tersenyum sekarang. Namun, entah kenapa senyuman itu justru tampak aneh bagi Laras.

"Bella, udah. Banyak orang di sini," sahut Jovian.

"Ah ... maaf, ya, Mbak," ujar Bella pada perempuan dari toko perhiasan di hadapannya, "ayo, Ras. Jari kamu mau diukur, tuh."

Tanpa mengatakan apa pun lagi, perempuan itu mulai mengukur jari tangan Laras. Situasinya terasa sangat canggung sekarang. Entah sengaja atau tidak, tapi Bella baru saja terkesan merendahkan Laras dan keluarganya.

Perempuan itu tampak mencatat dengan detail ukuran jari Laras, lalu mulai mengeluarkan sebuah tablet. "Ibu bisa pilih design-nya di sini, ya, Bu. Atau Ibu sudah ada design yang diinginkan?"

Laras tampak bingung saat menatap layar tablet itu. Ia tidak tahu model apa yang harus dipilih. Laras bahkan tidak pernah memakai perhiasan sebelumnya. Terakhir kali Ibu membelikannya perhiasan adalah saat dirinya masih duduk di bangku SD. Anting-anting yang Ibu beli di sebuah toko emas di kawasan Blok M itu saja sudah cukup mewah bagi Laras, jadi bagaimana bisa dia memilih sebuah cincin dari toko semegah ini?

"Mau aku yang pilihin aja nggak, Ras?" tanya Bella.

Jovian tampak melihat sekilas layar tablet yang masih berada di tangan Laras, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.

"Nomor 3 dari kanan bagus," kata Jovian. Laki-laki itu berhasil membuat Bella menatapnya dengan senyum sumbang.

"Ya udah, Mbak. Nomor 3 dari kanan aja," sambung Laras.

"Baik. Pembayarannya bisa dilakukan 50% hari ini, lalu pelunasan saat cincinnya sudah siap diambil, ya, Bu."

"Saya bayar lunas aja, Mbak," sela Bella cepat.

Perempuan itu tampak mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menulis surat pemesanan dan memberikannya pada Laras.

"Berliannya mau pakai yang seperti apa, Bu?"

"Samain aja sama punya saya, Mbak."

"Wah, Bu Bella ini memang baik sekali, ya," sahut perempuan itu, membuat Bella mengembangkan senyumnya, "kadarnya 0,4 1F ya, Bu. Totalnya dua puluh tujuh juta seratus lima puluh ribu rupiah."

Bella hendak mengeluarkan dompet dari tasnya, tapi Jovian segera mencegahnya. Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya sendiri dari kantong celana, lalu menyerahkan sebuah kartu berwarna hitam.

"Dua puluh tujuh juta?!" gumam Laras dalam hati, "cincin macam apa yang harganya bahkan hampir 30 juta?!"

Setelah meyelesaikan pembayaran dan keluar dari toko berlian itu, Bella mengajak mereka untuk mampir ke salah satu restoran yang berada di sana. Seperti biasa, Laras hanya menurut dan membiarkan Bella memilih makanan apa saja untuknya. Kini mereka sedang duduk di salah satu kursi restoran. Bella dan Jovian duduk berhadapan dengan Laras, jadi ia bisa melihat seluruh interaksi suami-istri itu.

Bella menyandarkan kepalanya pada Jovian, sementara laki-laki itu menggenggam tangan Bella yang berada di atas pahanya. Mereka kini sedang berbincang, membahas hal-hal yang tidak Laras mengerti. Sungguh, haruskah Laras menghabiskan sisa hidupnya untuk menyaksikan kemesraan pasangan di depannya itu?

"Ah ... iya, aku hampir lupa. Tadinya aku mau sekalian beliin beberapa baju, tas dan sepatu baru buat kamu, Ras. Biar kalau pergi sama Jovian dan ketemu koleganya, Jovian nggak malu sama penampilan kamu. Tapi kata mama Jovian, pernikahan kalian bakal disembunyikan dari publik, jadi aku pikir kamu nggak terlalu butuh itu. Nggak pa-pa, kan?"

Ya Tuhan! Bella benar-benar tidak perlu mengatakan hal itu. Lagi pula, Laras tidak pernah meminta untuk dibelikan barang-barang baru atau mengumumkan pernikahannya. Menikah dengan Jovian saja sudah cukup menjadi mimpi buruk bagi Laras, jadi kenapa ia harus mengumumkan mimpi buruk itu?

"Nggak pa-pa, Mbak. Lagian aku nggak terlalu suka hal-hal kayak gitu, kok."

"Tapi kamu harus rubah penampilan, deh, Ras. Biar Jovian betah. Dia tuh suka perempuan yang feminim dan anggun," kata Bella lagi, "nanti aku ajak kamu ke salon langgananku, ya. Biar mereka rubah penampilan kamu jadi lebih seger."

Laras hanya mengangguk sambil tersenyum canggung. Sepertinya kemarin Laras terlalu cepat menilai bahwa Bella adalah perempuan yang baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status