Share

04. Makan Siang

Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya.

"Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu.

"Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain.

"Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."

Chandra tampak menghela nafasnya panjang. "Bisa nggak, sih, lo pesen yang ada di menu aja?!"

"Justru gue lagi kasih lo ide menu yang baru. Kali aja banyak yang suka. Lo kasih harga sama kayak minuman lo yang paling mahal, deh. Gue bayar."

"Sombong amat calon istri pengusaha," gumam Chandra, tapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Laras. Perempuan itu terkekeh, lalu mengeluarkan dompet dari tasnya.

"Gue nggak tahu ucapan lo itu bisa gue anggap sebagai pujian atau ejekan."

"Lo harus tahu kalau gue nggak pernah muji lo," goda Chandra, lalu keduanya tertawa.

Setelah menyelesaikan pembayarannya, Laras duduk di salah satu kursi yang berada di sudut ruangan. Ia selalu duduk di sana, sebab kursi itu paling dekat dengan jendela. Laras suka melihat orang-orang yang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing. Alasan lainnya adalah, ia bisa memperhatikan Chandra yang sedang berkutat dengan mesin kopinya dengan jelas dari sudut itu.

"Mau ke mana, Ras?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan kopi yang dipesan Laras di atas meja.

"Ibu minta gue nganter makan siang ke kantor Jovian."

"Calon suami lo?"

Laras mengangguk pelan. "Padahal kemarin istrinya bilang kalo pernikahan kita bakal disembunyiin dari publik. Terus gue dateng ke kantornya pake alasan apa, dong?"

"Bilang aja lo ojek online dan mau nganter pesanan," ujar Chandra.

"Emang ada ojek online yang nggak pake jaket?"

"Ada, lah! Banyak malahan. Biasanya mall-mall gede tuh minta mereka buat lepas jaketnya sebelum masuk."

"Ide bagus," sahut Laras. Kemudian ia berdiri dan menyambar kunci motornya, setelah menyeruput sedikit minumannya.

"Lo beneran mau ke kantornya?"

"Beneran, lah. Bisa diomelin Ibu kalo gue nggak ke sana." Tanpa mengatakan apa pun lagi, Laras keluar dari cafe itu, dan menyalakan mesin motornya.

Pukul 11 siang, Laras sudah berada di area parkir kantor milik Jovian. Setelah menarik nafas panjang, Laras kemudian memasuki gedung megah yang berdiri di hadapannya itu. Wangi aroma lavender menyambut Laras, ketika ia menjajaki sebuah ruangan luas yang tampak tenang itu. Dengan perlahan, Laras berjalan ke arah resepsionis yang terlihat sibuk dengan telepon di telinganya.

"Permisi, Mbak. Ruangan Bapak Jovian di mana, ya?" tanya Laras pada salah satu perempuan di meja resepsionis itu.

"Maaf, Bu. Ada perlu apa?" tanya perempuan dengan senyum ramahnya itu.

"Saya mau nganterin pesanan makanan, Mbak."

"Oh, titip aja di sini, Bu. Biar saya panggilkan asisten Bapak, nanti beliau yang akan turun untuk ambil makanannya."

Larasati tersenyum lega. Setidaknya makanan itu sampai pada Jovian. Lagi pula, tujuannya ke kantor itu bukan untuk bertemu Jovian, kan?

"Ini, Mbak, makanannya. Saya titip, ya. Makasih." Setelah menyerahkan makanan itu, Larasati melangkah untuk meninggalkan meja resepsionis itu. Ia berjalan untuk kembali ke tempat dimana motornya berada. Dalam perjalanan menuju area parkir itu, Laras mengirimkan sebuah pesan untuk Jovian.

[Laras: Tadi Ibu minta aku buat anterin makan siang. Sekarang makan siangnya udah di meja resepsionis ya.]

[Jovian: Kamu di mana?]

[Laras: Parkiran. Mau pulang.]

[Jovian: Naik aja ke ruangan saya. Saya mau ngobrol.]

Setelah membaca pesan terakhir Jovian, Laras menghentikan langkah kakinya. Ia berdecak sebal, lalu memutar tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam.

"Gue harus bilang apa sama mbak-mbak resepsionis itu," gumam Laras dengan wajahnya yang terlihat kesal. Namun, belum sempat ia membuka sebuah pintu menuju area lobi, ponselnya kembali berdering.

[Jovian: Saya turun ke lobi, biar kamu nggak perlu ditanya-tanya sama resepsionis.]

"Wah, si Jovian-Jovian ini kayaknya bisa baca pikiran gue, deh!" gumam Laras lagi, kemudian ia melangkah masuk ke dalam lobi itu. Kali ini, ia duduk begitu saja pada sebuah sofa yang berada di tengah-tengah ruangan itu. Laras bahkan seakan tidak peduli meski dua perempuan di balik meja resepionis itu memandangnya dengan tatapan aneh.

"Ras," panggil Jovian yang baru saja keluar dari lift. Laki-laki itu tampak berjalan ke meja resepsionis, dan mengambil makanan yang tadi sempat Laras titipkan. "Ayo naik ke ruangan saya."

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Laras mangikuti langkah Jovian dan ikut masuk ke dalam lift. Tidak ada percakapan apa pun di antara keduanya, hingga monitor pada lift tersebut menunjukkan angka 6, kemudian pintunya terbuka. Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan nuansa yang hangat. Furniture di dalamnya didominasi oleh aksen kayu, dengan lampu yang cukup terang, tapi tidak menyilaukan mata.

"Duduk, Ras," ujar Jovian yang sudah lebih dulu duduk pada sebuah sofa.

"Aku nggak tahu itu sesuai selera kamu atau nggak. Tadi ibu tiba-tiba bikin ikan nila bakar dan minta aku buat anterin ke sini," papar Laras, "kamu tau ikan nila, kan?"

Jovian tampak terkekeh sambil membuka kotak makan yang tadi Laras bawa. "Tau, Ras. Manusia mana yang nggak tau ikan nila?"

"Ya kali aja kamu nggak pernah makan ikan murah gitu."

"Saya juga manusia sama kayak kamu yang makan semua jenis makanan, Ras."

Laras hanya mengangguk. Ia kemudian memperhatikan Jovian yang mulai menyantap makan siangnya dengan lahap.

"Kamu sendiri udah makan, Ras?"

"Udah tadi sebelum keluar dari rumah." Laras tampak menegakkan posisi duduknya. "Jo ... soal pernikahan--"

"Oh, iya, saya hampir lupa. Bella bilang kita cuma perlu nikah di rumah, jadi yang dateng keluarga inti aja," ujar Jovian sebelum kembali memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Jovian berhenti sejenak dari kegiatan makannya, lalu memperhatikan wajah Laras yang tampak sedih.

"Menurut kamu gimana?" lanjut Jovian, membuat Laras sedikit terkejut, "saya tau semua perempuan pasti punya pernikahan impian. Kalo kamu, gimana? Kamu pengennya kita nikah yang kayak gimana?"

Melihat Laras yang tidak juga menjawab pertanyaannya, Jovian kemudian kembali bersuara, "Mau gimana pun bentuknya pernikahan ini, saya bakal berusaha untuk adil sama kamu. Saya tau kamu lagi ada di posisi yang paling nggak kamu inginkan. Saya tau nikah sama saya nggak pernah ada dalam daftar mimpimu, tapi saya akan berusaha buat bikin kamu nyaman."

"Meski mungkin kamu nggak akan pernah dapet cinta dari saya, tapi saya jamin kamu nggak akan menderita selama jadi istri saya."

'Nggak akan pernah menderita'? Oh ayolah, Jovian. Dengan memaksa Laras menerima pernikahan ini saja sudah cukup untuk membuatnya menderita ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status