Share

05. Gaun Pernikahan

Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu.

"Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.

Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin.

"Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian."

"Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia pengang.

"Yang ini aja gimana, Mbak? Boleh, nggak?" tanya Laras. Kini ia memegang sebuah gaun panjang berwarna putih yang terlihat cukup elegan. Gaun itu memiliki lengan panjang yang indah, dengan kain sutra yang bersulam benang perak. Seluruh gaun itu juga dipenuhi kilauan yang tampak cantik.

"Boleh, dong. Kamu coba di ruangan itu, Ras. Biar mereka bisa cocokin sama ukuran badanmu."

Kini Laras berdiri di depan sebuah cermin. Ia menatap sendu pada pantulan dirinya yang sedang memakai gaun itu. Meski terlihat cantik, tapi entah kenapa Laras tidak merasa senang. Bukan pernikahan seperti ini yang Laras inginkan. Ia tidak butuh pernikahan mewah, atau gaun mewah dari perancang terkenal. Tidak masalah meski ia hanya memakai sebuah gaun yang dijahit sederhana, asal dirinya bisa memilih dengan siapa ia menikah. Laras sudah terbiasa untuk tidak memiliki sebuah pilihan dalam hidupnya, tapi untuk kali ini ... hidup terlalu jauh membawanya untuk hancur.

Setelah menghapus jejak air matanya, Laras keluar dari ruangan itu. Ia juga sudah melepas gaun pengantin itu, dan memakai bajunya sendiri. Ia menoleh ke setiap sudut ruangan itu, tapi Bella tidak lagi terlihat di sana.

"Tadi Ibu Bella sudah pulang, dijemput suaminya. Gaunnya juga sudah di bayar, jadi Ibu Laras cuma perlu bawa ini saja, ya, Bu." Seorang perempuan memberikan sebuah bukti pembayaran pada Laras, lalu meninggalkannya sendirian di sana.

"Bagus, lah," gumam Laras, "gue jadi nggak perlu terjebak di tengah-tengah pasangan itu lagi kayak kemarin."

***

Laras sedang duduk sendiri pada sebuah bangku taman yang berada di dekat cafe milik Chandra. Ia menatap ujung tali sepatunya, dengan tangannya yang memegang sebuah es krim coklat kesukaannya. Laras membiarkan es krim itu mencair, hingga mengotori jari-jari tangannya. Sama seperti es krim itu, Laras berharap waktu dapat mencairkan semua kesedihan dalam hidupnya.

"Jangan ngelamun mulu, ntar kesurupan tau rasa, lo!" Chandra baru saja duduk di samping Laras, lalu mengambil es krim yang masih Laras pegang. Dengan hati-hati, Chandra membersihkan sisa-sisa es krim itu dari tangan Laras dengan sebotol air yang tadi ia bawa.

Laras tidak mengatakan apa pun. Tidak peduli meski kini tangannya sedang diguyur air oleh Chandra, atau meski Chandra tampak melepas cardigan yang ia gunakan hanya untuk mengelap tangan Laras yang basah. Perempuan itu hanya terus menatap sendu pada ujung tali sepatunya

Setelah tangan Laras bersih, Chandra memegang kedua pundak perempuan itu, hanya untuk membuat mereka berhadapan. "Lo kenapa?"

"Gue boleh lari nggak, sih? Gue nggak mau jadi istri kedua Jovian atau siapa pun. Gue nggak mau ada di situasi kayak gini. Kenapa hidup nggak pernah adil sama gue?"

"Ras ... gue tau lo frustasi banget sama keadaan ini. Kalo boleh, gue juga pengen bawa lo kabur dari sini. Bawa lo lari dari semua masalah ini. Tapi lo nggak boleh lupa, kalo lari dari masalah justru bakal bikin semuanya makin runyam."

Dengan sekuat tenaga, Laras menahan air mata yang sedikit lagi akan keluar. Ia meremat ujung kaos yang ia kenakan, lalu menghela nafas panjang.

"Lo pernah punya mimpi soal pernikahan nggak, sih, Chan?" tanya Laras, "gue pengen, deh, bisa milih mau nikah sama siapa. Bisa milih kehidupan seperti apa yang mau gue jalani. Gue pengen anak-anak gue bangga punya Ibu seorang dokter."

"Mau apa pun profesi lo di masa depan, bahkan meski lo akhirnya memutuskan untuk diem di rumah sambil ngurus anak dan suami lo, anak-anak lo pasti bangga, Ras. Mereka pasti bangga punya Ibu sekuat lo."

"Kalo lo, Chan? Lo pernah mimpi soal pernikahan?"

Chandra terkekeh sejenak. "Pernah, lah. Gue bahkan udah punya pasangan impian gue. Gue pengen liat dia tiap pagi setelah gue bangun tidur, Ras. Gue pengen punya rumah sederhana sama dia. Nggak perlu luas, yang penting nyaman dan punya halaman belakang. Gue mau tanem banyak bunga di sana. Liat anak-anak gue lari-larian, liat dia siram tanaman. Sederhana, tapi gue nggak akan dapet itu."

"Kenapa?"

Chandra terdiam sejenak. Ia memalingkan pandangannya dari Laras, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi taman itu.

"Gue nggak tau bakal punya kesempatan sama dia atau nggak, tapi rasanya dunia kayak lagi kasih tau gue kalo gue bukan orang yang cukup baik buat dia."

"Pernikahan bukan soal cukup baik atau nggak, kan? Nggak ada manusia yang bener-bener cukup baik buat manusia lain, Chan."

"Lo bener, tapi gue rasa sekarang udah terlambat."

"Kenapa? Dia udah punya pacar?"

Untuk kedua kalinya, Chandra kembali terdiam. Ia tidak akan pernah sanggup mengatakan bahwa perempuan yang ia impikan untuk menjalin hubungan pernikahan dengan dirinya adalah Laras, perempuan yang kini sedang duduk di sampingnya, dan menumpahkan segala carut-marut yang ada dalam kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status