Share

06. Hari Pernikahan

"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."

Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?

Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih untuk kembali ke rumah sakit. Perempuan itu bekerja sebagai salah satu dokter di rumah sakit milik keluarganya sendiri.

Situasi yang cukup menyedihkan untuk disebut sebagai acara pernikahan. Namun sekali lagi, Laras tidak peduli pada Jovian dan Bella yang langsung pergi meninggalkannya, atau pada kehidupan baru yang akan ia jalani mulai hari ini.

Laras melangkah memasuki kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamar yang bahkan lebih luas dari ruang tamu di rumah orang tuanya. Kini ia berdiri di depan sebuah jendela besar, yang dari sana Laras bisa melihat langsung halaman belakang yang ditumbuhi banyak sekali tanaman itu. Ada beberapa pohon ketapang yang tumbuh di dekat pagar tembok, juga beberapa tanaman-tanaman hias yang tertanam rapi pada pot-pot besar. Dalam keterdiaman itu, Laras bisa merasakan bahwa ponselnya bergetar. Ia menjawab panggilan yang masuk, sambil terus menatap pada halaman belakang itu.

"Ras, maaf saya lupa," ujar Jovian diujung telepon sesaat setelah laras menjawab panggilannya, "bisa tolong bawakan map hitam yang ada di ruang kerja saya, nggak? Ada di atas meja harusnya. Saya udah telepon Bella tapi katanya dia udah sampe di rumah sakit."

"Ruang kerjanya di mana? Aku nggak tau tempatnya."

"Ruangan yang ada di tengah-tengah kamar kamu sama Bella, Ras. Tolong, ya. Saya butuh banget soalnya."

"Ya udah, tungguin. Kalo aku naik busway masih keburu, nggak?"

"Bawa mobil aja, Ras. Kelamaan pake busway."

"Aku nggak bisa nyetir, Jo. Kamu mau mobilmu penyok?"

"Ya udah naik taksi aja, nanti biar saya yang bayar taksinya. Tolong sekarang ya, Ras."

Tepat setelah mengatakan hal itu, Jovian mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Setelah menghela nafas panjang, Laras berjalan menuju ruangan yang Jovian maksud. Di dalam ruangan itu, Laras bisa melihat bahwa Jovian sangat menyukai ruangan yang rapi dan wangi. Tidak ada banyak barang di dalamnya, hanya ada beberapa rak buku, meja dan kursi kerja, juga satu sofa panjang di dekat pintu.

Laras berjalan menuju meja kerja Jovian, lalu mengambil sebuah map yang diminta laki-laki itu. Laras tersenyum kecut ketika melihat foto pernikahan Jovian dan Bella terpajang di meja itu dengan bingkai kecil.

"Ini gue rasanya kayak pelakor, deh. Tapi pelakor yang direstui istrinya," gumam Laras sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan itu.

***

Hanya butuh waktu sekitar 40 menit, hingga Laras sampai pada kantor Jovian. Perempuan itu menelepon Jovian sebelum masuk ke dalam, agar ia tidak perlu berbicara dengan resepsionis seperti beberapa hari yang lalu. 

"Langsung naik aja, Ras. Kamu udah tau ruangan saya, kan?" Begitu kata Jovian ketika Laras mengatakan bahwa dirinya sudah berada di depan kantornya. Maka dengan langkah ragu, Laras melangkah memasuki kantor itu, dan berjalan menuju ke arah lift. Laras bahkan sudah tidak peduli meski kedua resepsionis itu menatapnya keheranan sambil berbisik-bisik.

Tepat setelah membuka pintu ruangan Jovian, Laras bisa melihat dengan jelas laki-laki itu sedang sibuk dengan beberapa kertas yang berada di atas mejanya. Kalau boleh jujur, sebenarnya Laras juga menyadari bahwa Jovian cukup tampan. Namun mau bagaimanapun, ia sudah meneguhkan hatinya untuk tidak jatuh cinta pada laki-laki itu, sampai kapan pun.

"Thankyou, Ras," ujar Jovian setelah Laras meletakkan sebuah map hitam di meja kerja laki-laki itu. Ia mengambil dompet dari kantong celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dompet itu. "Ini kamu pegang aja, Ras. Kalo butuh apa-apa kamu bisa pake itu."

"Nggak usah, Jo. Aku belum butuh apa-apa."

"Pegang aja." Jovian berdiri dan menyelipkan kartu itu pada tangan Laras. "Anggap aja itu bentuk tanggung jawab, karena sekarang kamu udah jadi istri saya."

Laras tampak tertunduk sebentar. "Jo, soal anak--"

"Saya nggak mau bahas itu dulu. Bukan cuma kamu, saya juga belum siap. Bahkan untuk membayangkan saya tidur sama perempuan selain Bella aja saya nggak bisa. Jadi bisa, nggak, kita bahasnya pelan-pelan?"

Perempuan itu hanya mengangguk, dengan senyum yang sama sekali tidak Jovian mengerti maknanya.

"Ras," panggil Jovian ketika Laras hendak berjalan keluar ruangan itu, "jangan berharap apa-apa sama saya. Saya cinta sama Bella lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Jadi, jangan berharap apa-apa. Saya nggak bisa kasih apa pun selain uang ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status