Share

Pernikahan dan Malam Pertama

"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar. 

Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga. 

"Hey ... malah melamun."

Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca. 

"Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin. 

"Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu."

"T-tapi--"

"Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau.

"Bunda, nangis?" 

"Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."

Akhirnya, dengan kaki yang masih sedikit terasa gemetar, aku ke luar dengan menggenggam erat tangan Bunda. Semua orang menatapku, sesekali terdengar mereka melontarkan pujian. Sungguh pujian itu tidak lantas membuat kaki ini berhenti gemetar.

Aku duduk di kursi, tepat di samping laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Aku hanya menunduk, tidak menoleh apalagi mencoba menatap matanya. Meski tahu ia tengah memperhatikan diri ini. 

Gema suara ayah mengucap kalimat bahwa ia menikahkan putrinya ini, membuat air mataku benar-benar menetes. Dilanjutkan dengan suara bariton Azka yang dengan lantang dan lancar menjawab. Tidak butuh waktu lama dari para saksi mengucap kata sah. Jadilah sekarang aku resmi menyandang status menjadi istri seorang presdir. 

Namun, tidak satu pun orang-orang di kantor yang datang. Memang itu adalah permintaanku, akad dilaksanakan sederhana meski awalnya Azka keberatan. 

Biarlah semua berjalan pelan-pelan saja, aku benar-benar belum siap. Semua ini terjadi seolah tiba-tiba dan sangat cepat. Semoga aku bisa melewati semuanya dan belajar menjadi istri yang baik untuk Azka-suamiku. 

***

"Bunda, apa malam ini Qila akan tidur dengan Azka?" tanyaku pada Bunda malam harinya saat semua orang sudah pergi. 

"Haha ... jangan membuat lelucon, Qila. Tentu saja, bukankah Azka itu sekarang suamimu. Ckckck ...."

"T-tapi, Qila takut." Kuapit lengan Bunda kuat. 

"Aduh ... sakit, Qila. Lagian, apa yang kamu takutkan? Dia nggak makan orang, kok."

"Iih ... bukan gitu, Bun. Nanti aku harus gimana? Nanti kalau--"

"Ssttt ... udah, ah. Nggak malu apa ngomongin itu sama Bunda," ucap Bunda dengan nada mengejek. 

"T-tapi, Bunda--"

"Udah. Bunda capek, nih. Mau tidur dulu, kamu masuk kamar sana. Mandi dan bersih-bersih. Bunda tidur dulu, ya. Bye sayangnya Bunda."

"Bundaa ...!" teriakku dengan nada setengah memelas. 

Bunda meninggalkanku sendiri di ruang makan. Masih dengan pakaian lengkap pengantin. Jujur saja aku sudah sangat gerah, ingin sekali mandi agar tubuh kembali segar. Namun, kakiku berat sekali melangkah. Di kamar itu ada Azka, bagaimana mungkin aku masuk ke sana untuk mandi dan berganti baju? 

Oh ... dia akan melihat rambutku? Nervous! Ya, Tuhan. Aku belum pernah membuka hijab di depan laki-laki manapun selain Ayah. 

"Bismillahirrohmanirrohim. Tenang, Qila. Sekarang yang ada di kamar itu adalah suamimu. Dia berhak atas dirimu," gumamku menguatkan diri sendiri. 

Dengan langkah pelan, tapi pasti. Aku masuk ke kamar yang sudah dihias cantik dengan nuansa putih abu-abu. 

"A-a-azka, kamu belum tidur?" tanyaku dengan bersandar ke daun pintu yang sudah tertutup kembali.

"Tentu saja belum. Aku menunggu istriku yang lama sekali muncul." 

Azka meletakkan buku yang tadi sedang dibacanya dan mulai menatapku. Ia menatap dari kaki hingga kepala.

"Apa-apaan kamu ngeliatin begitu!" sentakku. 

"Ada masalah? Jangankan menatap, menyentuhmu saja tidak akan ada orang yang berani melarang."

"B-bukan begitu. T-tapi, ya, jangan gitu juga kali liatnya," ujarku terbata. Kemudian, duduk di ranjang dan hendak berbaring. 

"Kamu nggak mandi? Nggak ganti baju? Mau tidur pakai baju itu?" cecar Azka. 

"Hmm ... eh, i-iya. Aku ganti baju dulu, terus mandi. Kamu liat ke sana, nggak boleh ngintip. Awas kalo ngintip!" seruku dengan mengangkat jari telunjuk tepat di depan wajahnya. 

Azka terkekeh mendengar ancaman dariku. 

"Baiklah. Aku akan lihat ke arah sini, sekarang silahkan ganti baju."

"Jangan mengintipku, aku belum siap."

"Aku juga tidak ingin mengintip. Kalau tidak sengaja terlihat, tidak masalah, 'kan?"

"Heh ... mana ada tidak sengaja!" bentakku padanya, membuatnya kembali terkekeh. Benar-benar menjengkelkan. 

"Sudah?" tanyanya. 

"Belum. Jangan lihat, aku tidak pakai hijab. Aduh ... susah sekali buka bajunya!" gerutuku yang masih berusah membuka resleting baju yang ada di bagian punggung. 

"Sini, biar kubukakan."

"Haaa ... jangan-jangan! Jangan lihat ke sini, Azka!"

Terlambat, Azka kini sudah berdiri dekat dengan tubuh ini. Ia memutar tubuhku cepat dan membuka resleting baju yang sedari tadi tidak bisa kugapai. 

"T-tidak!" pekikku tertahan. 

"Kamu berdosa kalau bersikap seolah-olah aku ini adalah orang lain. Kamu tahu, tidak boleh bersikap kasar pada suami?" bisiknya ke telingaku. Membuat bulu kuduk sedikit meremang geli. 

""T-tapi, a-aku hanya masih merasa--"

"Sstt ... tenang saja. Pelan-pelan, aku tidak akan memaksakan apapun. Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Hanya saja, berhenti bersikap begini." 

Usai mengatakan itu, Azka kembali ke kasur bersandar di kepala ranjang dan membaca buku lagi. Aku terpaku menatap laki-laki itu. Apa benar ia tidak akan memaksaku malam ini? 

"Cepat mandi sana, punggungmu terbuka. Nanti masuk angin."

"Ha? Apa? Eh ... i-iya. Aku mau mandi dulu, gerah." 

Cepat-cepat aku masuk ke kamar mandi. Sungguh pipi ini bersemu merah saat kuperhatikan dari balik kaca kamar mandi. Ya, ampun! 

"Azka! Azka!" teriakku masih dari dalam kamar mandi. 

"Ada apa?"

"A-aku b-bisa minta tolong, nggak? Tolong ambilkan handuk, aku lupa," ucapku sedikit malu. 

Tidak lama, Azka mengetuk pintu kamar mandi. Kubuka sedikit dan mengeluarkan tangan untuk meraih handuk yang diberikan Azka. Setelah melilitkan handuk di tubuh, barulah aku ke luar. 

"Aaaaa ... ngapain kamu di sini!" teriakku kaget mendapati Azka di depan pintu kamar mandi. 

"Tidak apa-apa. Hanya memastikan kamu baik-baik saja. Sayangnya, tidak ada celah atau lubang untuk mengintip."

"Are you kidding me? Aarrggh ...!" 

"Kamu cepat sekali menyesuaikan situasi, ya," ucapnya tersenyum. 

"What do you mean?"

"Lihatlah, sekarang tubuhmu hanya tertutup sedikit oleh handuk. Bahkan dengan sekali tarikan saja, aku bisa melihat seluruh tubuhmu."

"Huft." Kuhela napas berat, percuma melawannya bicara. Meski aku saat ini sebenarnya merasa takut juga dia akan melakukan hal yang dikatakannya itu. 

"Kamu yakin tidur pakai baju itu?" tanya Azka saat aku selesai memakai piyama. 

"Memangnya kenapa?"

"Hey ... ini malam pertama kita, bukan?"

"Lalu?" Aku berbaring di kasur diikuti Azka. 

"Setidaknya pakai lingerie atau apalah--"

"Apa itu lingerie?"

"You do know what?" tanya Azka dengan ekspresi kaget. 

"Ya, aku tidak tahu. Bisakah biarkan aku tidur sekarang? Aku benar-benar lelah," ucapku. Kemudian, memilih membelakangi Azka. 

Beberapa menit suasana di dalam kamar mulai hening. Aku merasa yakin kalau Azka sudah tertidur pulas sekarang. 

"Ppiiuft ... aku tidak bisa tidur," gumamku sendiri. 

Apa Azka benar-benar sudah tidur? Hah ... bayangkan saja, sedikitpun mataku tidak bisa terpejam. Aku takut dia melakukan hal yang macam-macam, meski ia punya hak melakukannya. Pelan-pelan, kuputar sedikit tubuh menghadapnya, agar aku bisa yakin kalau Azka benar-benar sudah tidur. 

"Aaaacchh ...!" pekikku kencang. 

"Pssttt ...!" Azka membekap mulutku dengan tangannya. "Jangan teriak begitu, nanti Ayah dan Bunda dengar!" Azka melepas tangannya. 

"Kamu ngapain ngagetin gitu, sih!" sentakku memegangi dada dengan kedua tangan. 

"Aku tidak bisa tidur," ungkap Azka. 

"Aku juga." Kami memilih menyandar di kepala ranjang. Tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Sekarang apa?" tanyanya. 

"Apanya?"

"Ya, maksudku ... sekarang kita harus bagaimana agar bisa tidur dengan nyenyak?"

"Jangan tanyakan itu padaku. Kalau aku tahu, sudah pasti aku sedang bermimpi indah sekarang. Dasar aneh."

"Aku punya ide yang sangat bagus sekali. Bagaimana kalau kita berolahraga malam saja?" ucap Azka dengan tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai menurutku. 

"Apa? Are you crazy? Enggak! Di mana-mana, olahraga itu pagi bukan malam."

"Kamu nggak tahu ada olahraga malam? Memang olahraga ini hanya dikhususkan untuk pasangan suami istri saja," jelas Azka lagi.

"Olahraga apa?"

"Kamu siap tidak?" 

"Siap olahraga? Kalau memang bisa bikin tidur, siap saja," jawabku. 

"Haha ...."

"Kenapa ketawa?"

Bukannya menjawab, Azka malah mencondongkan wajahnya semakin dekat padaku. 

"Heh ... apa-apaan?" Kudorong tubuhnya sedikit. 

"Katanya siap olahraga?"

"Apa? Hah? Aarrgghh! Azkaaa ...!" teriakku dan memukulkan bantal padanya. 

"Aaww ... di mana salahku?"

"Jangan tanya-tanya lagi! Dasar otak mesum."

"Haha, baiklah. Aku tidak memaksa lagi. Sekarang, tidurlah. Aku akan mengusap-usap kepalamu agar lebih cepat tidur."

"Eeits ... jangan sentuh, bukan mahr--"

"Mahram? Aku ini suamimu, mahrammu, Qila," ucap Azka dengan sedikit penekanan.

"Oh, iya. M-maaf ... Azka, malam ini--"

"It's okay. Aku mengerti. Sekarang berbaring dan tidurlah."

Aku berbaring memunggui Azka. Ia mengusap-usap pucuk kepalaku dengan lembut, sesekali ia mendesis kecil seperti sedang menidurkan seorang bayi. Aku tersenyum kecil karena sikapnya. 

Beberapa menit, wajah Azka sedikit mendekat. Dapat kurasakan dari embusan napasnya di telinga. Aku terdiam, jantung berdegup cepat. Apa yang akan dilakukan Azka? 

"Selamat tidur, Sayang. Suatu saat kita akan melakukannya dan kamu menerimanya karena cinta," lirih Azka. Mungkin ia berpikir aku sudah tidur. 

Entahlah. Ada sesuatu yang hangat tiba-tiba menyusup ke dalam hatiku. Cinta? Ah ... itu terlalu cepat dan jelas tidak mungkin. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status