Share

Bab 3 - Ditolak

03

Selesai acara makan malam, Papa dan Om Deni melanjutkan memberikan trik khusus buat pemula. Aku jadi makin rikuh. Seperti pemuda tanggung yang terpaksa menikah. Mereka tidak menyadari bahwa aku sudah dewasa.

Setelahnya, aku berpindah ke meja paling belakang, di mana semua sepupu dari pihak Papa dan Mama berkumpul. Bersama belasan orang tersebut, aku menghabiskan waktu hampir setengah jam.

Acara kumpul keluarga ini tak kusia-siakan untuk melepas kangen. Duduk bersama mereka untuk mengobrol, saling meledek dan menghina, yang sudah menjadi kebiasaan kami setiap ada acara semacam ini.

"Kamu kapan mau nikah, El?" tanyaku pada Ella, sepupu yang jaraknya hanya satu tahun lebih muda dariku. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan sedikit montok membuatnya tidak percaya diri. Padahal, menurutku wajahnya manis.

"Belum tahu, Bang. Calonnya juga masih belum ada," jawab Ella pelan. Tangannya mencuil sejumput kue di piring, lalu memasukkannya ke mulut.

"Jangan sampai dilewatin sama Neyla. Sepertinya dia dan Amran sudah serius."

Mata bulat Ella menatapku dengan pandangan sendu. Kemudian dia mengangguk seraya tersenyum. "Doain aja, semoga aku segera menemukan jodoh."

"Istri Abang, ke mana?" tanya Farid yang duduk di sebelah kiriku. Pria yang berusia dua puluh lima tahun ini sekilas mirip dengan Papa. Wajar, sih, karena bundanya itu Adik yang paling mirip wajahnya dengan Papa.

"Nggak tahu. Mungkin sudah balik ke kamar," sahutku asal.

"Ehm ... mungkin sekarang dia lagi siap-siap dengan lingerie seksi," candanya sambil tersenyum jahil.

Aku melotot ke arahnya hingga senyuman itu menghilang. "Jaga bicaramu! Dia Kakak iparmu!" desisku di dekat telinganya.

"Iya, Bang. Maaf," tukasnya sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Aku balas mengangguk. Kemudian mengambil gelas dari meja dan menghabiskan minuman. Selanjutnya aku berdiri dan berpamitan pada semua orang.

Aku memutar badan dan mengayunkan tungkai keluar restoran. Masih banyak orang lalu-lalang di sekitar lobi, menandakan jika hotel ini masih ramai pengunjung. Terutama karena ini adalah penghujung minggu.

Sesampainya di depan kamar, aku mengetuk pintu beberapa kali. Raisa membukakan pintu, lalu dia memutar badan untuk kembali ke sofa.

Aku memasuki ruangan, lalu menutup dan mengunci pintu. Aku mematikan beberapa lampu, hingga hanya tersisa dua lampu besar dan lampu sudut kamar yang masih menyala.

Aku menyambangi Raisa yang tengah duduk di sofa. "Sudah salat Isya?" tanyaku.

"Sudah," sahut Raisa. "Abang?" tanyanya.

"Ini baru mau."

"Ambil wudu dulu. Nanti kusiapkan sajadahnya."

"Sekalian sama sarung. Ada di lemari."

"Enggak pakai celana itu?" Raisa menunjuk jin-ku.

"Ini sudah kotor. Aku mau pakai celana pendek."

Belasan menit berikutnya, aku telah tuntas salat Isya. Aku mulai salah tingkah, terutama karena sejak tadi Raisa terlihat begitu santainya mempertontonkan kami yang mulus.

Aku bertahan duduk sambil menyandar ke tumpukan bantal. Aku pura-pura sibuk dengan ponsel. Padahal sejak tadi aku mengamati Raisa.

Perempuan muda bersetelan kaus motif kartun, terlihat menguap beberapa kali. Raisa mengambil remote untuk memadamkan televisi. Lalu dia meletakkan remote ke meja, dan berdiri.

Tidak berselang lama, dua lampu besar telah padam. Raisa menghampiri kasur dan duduk di sisi kiri. Dia berbaring memunggungiku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Sudah mau tidur?" tanyaku.

"Hu um," balas Raisa.

Aku beringsut mendekat. Mencolek tangannya hingga Raisa menoleh ke belakang. "Ehm, Sa. Ehm ...."

"Apaan?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Sudah baca doa tidur?"

Aih, kok, jadi nanya itu, sih?

Aku menggaruk-garuk kepala belakang sambil menahan rasa grogi yang makin tinggi.

"Baru mau," tukas Raisa.

"Habis itu baca doa yang itu, ya!"

"Doa apa?"

"Doa khusus."

"Kayak gimana?"

"Mau Abang ajarin?" Dia mengangguk. "Ikutin, ya. Allahumma jannibnas syaitonna. Wajannibis syaitonna."

"Eeh! Itu, kan, doa buat ... anu?" tanyanya sambil membulatkan mata.

"Iya, mau, kan?"

"Kagak!" tegasnya sambil berbalik ke kiri dan kembali memunggungiku.

Aku terdiam sesaat. Enggak berani memaksakan kehendak. Hanya mampu mengalah, lalu mengusap dada dan wajah berkali-kali.

Aku berbalik ke kanan. Memejamkan mata dan mencoba untuk tidur sembari merutuki nasib, ditolak istri di malam pertama yang kelabu.

***

Keesokan harinya

Aku melangkah gontai menuju restoran hotel untuk menikmati sarapan pagi. Di dalam ruangan sudah ramai dengan anggota keluargaku dan juga keluarga Raisa, serta beberapa tamu yang lain.

Aku duduk di antara para orang tua yang masih heboh bercerita tentang acara pernikahan kemarin. Kebisingan itu benar-benar membuatku tidak nyaman. Ditambah rasa makanan yang sangat hambar, tetapi terpaksa tetap ditelan.

"Kenapa, Bang? Tumben nggak semangat makannya?" tanya Neyla sambil menatapku saksama.

"Lagi halangan!" jawabku asal.

Neyla tersenyum lebar, lalu dia terkekeh hingga terbatuk-batuk. Mama yang duduk di sebelahnya, segera menepuk-nepuk punggung Neyla.

"Makanya kalau makan itu jangan sambil ngobrol. Jadi nyangkut, kan!" omel Mama.

Papa mencolek tangan kananku, kemudian beliau memiringkan tubuh dan bertanya sambil berbisik. "Gimana tadi malam? Sukses?"

Aku hanya diam. Pura-pura sibuk mengunyah.

"Ditanya, kok, diam saja?"

"Lagi sariawan. Males ngomong," jawabku sedikit kesal.

Aku mempercepat acara makan, agar tidak perlu menjawab semua pertanyaan dari laki-laki paruh baya, yang menatapku sambil menautkan alisnya.

"Aku udahan, ya," pamitku seusai menghabiskan minuman.

Tanpa menunggu ada yang menjawab, aku

bangkit berdiri dan melangkah menjauh. Tak menghiraukan pandangan mata orang-orang di sekitar.

Berjalan mengitari area hotel ternyata cukup melelahkan. Kuputuskan untuk duduk sebentar di bangku taman, sembari menikmati hangatnya sinar matahari pagi yang menyembul malu-malu dari balik awan.

"Jadi, kalian belum ngapa-ngapain?"

Suara Om Deni dari belakang benar-benar membuatku terkejut.

Perlahan aku memutar badan. Terlihat Papa Raisa berdiri sembari menatapku tajam. Di sebelahnya ada Papa yang berdiri dengan gaya khas-nya, satu tangan dimasukkan ke saku celana. Wajah mereka terlihat ... sedikit menyeramkan.

"Jawab, Abang! Jangan bengong gitu!" tegas Papa dengan nada suara yang tinggi. Logat melayunya yang khas mulai terdengar.

Aku mengangguk. Kemudian menunduk, tidak berani memandang langsung ke mata mereka. Papa beringsut duduk di sebelah kananku. Om Deni duduk di sebelah kiri.

"Kamu ngerayu dia nggak?" tanya Papa.

"Belum sempat merayu, dia udah berbalik dan tidur," terangku pelan. Kepalaku semakin tertunduk. Merasa malu tingkat kecamatan.

"Nggak ditowel-towel gitu?" Om Deni turut bertanya.

"Anak Om galak," ungkapku.

Keduanya serentak terbahak. Tidak peduli tubuhku yang seksi kian terhimpit para pria montok, yang tidak pernah mengakui jika perut mereka membuncit.

"Panggil Papi, dong, Bang. Kan, udah jadi anaknya juga," ujar Papa setelah tawanya menghilang.

"Enggak apa-apa. Mungkin masih kagok manggil Papi. Om juga nggak masalah," tukas Om Deni sambil merangkul pundakku.

"Nanti dicoba lagi. Pakai rayuan maut. Kan, sudah diajarin sama papamu yang mantan playboy itu. Atau, apa perlu Om yang turun tangan nasehatin Raisa?" lanjut Om Deni seraya tersenyum.

"Nggak usah, Om ... ehh, Papi. Biar nanti Abang coba lagi."

"Good! Semangat!"

Kedua sahabat tersebut kompak menepuk-nepuk pundakku. Kemudian

mereka terus bercerita tentang berbagai trik rayuan maut ala bapak-bapak profesional. Enggak mikir aku makin deg-degan dan salah tingkah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status