Selamat malam minggu, teman-teman~
“Aku pikir ada apa sampai Nenek memaksa kita untuk bermalam di rumahnya.” Aku mengusap krim malam pada wajah dengan hati-hati. “Kamu seperti tidak tahu saja apa yang orang katakan setelah teman-temanmu menikah. Walaupun usia kita sudah empat puluhan, tidak akan menghalangi mereka untuk mendesak kita memiliki anak.” Galang membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Aku menutup wadah krim itu dan memasukkannya kembali ke tas mekapku. “Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan diperlakukan seperti ini.” “Sudah, tenang saja. Tebalkan telingamu, nanti juga kamu acuh tak acuh dengan pertanyaan itu. Seperti yang kamu alami mengenai desakan menikah.” Dia menguap lebar. “Rasa minumannya ampun. Entah apa yang Nenek masukkan sampai rasanya aneh begitu.” Aku menjulurkan lidah membayangkan rasanya lagi. Seolah cairan itu masih ada di mulutku. Dia tertawa kecil. “Ramuan berkhasiat yang bisa membantu kita punya anak laki-laki,” balasnya. Aku mengerang kesal sambil berbaring di sisinya. “Ba
Kesalahan yang sama di rumah Nenek. Apa yang dia maksudkan dengan itu? Apakah dia menyebut ciuman kami sebagai sebuah kesalahan?Aku rasanya mau menghilang lagi dari dunia ini mengingat kejadian itu. Aku seharusnya bersikeras untuk tidak terpancing dengan ucapan Nenek. Mengapa aku malah menyerah dan mencium dia di depan semua orang? Bukan hanya Nenek, tetapi juga pelayan setianya.Aku tidak sekadar mencium pipi atau kening, tetapi bibirnya. Semua yang Nidya dan Mala katakan di kantor tadi jadi buyar. Aku mendadak tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan kakeknya nanti. Bagaimana kalau dia juga meminta bukti kami serius dengan pernikahan ini?“Ah, kalian sudah datang! Ayo, masuk, masuk!” Kakek menggerakkan tangannya, mengajak kami masuk ke ruang tengah.Dia sedang menonton siaran televisi sambil menikmati segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Perutku berbunyi menghirup aroma khas kopi dari desa tersebut.“Siapkan makan malam secepat mungkin. Lalu panggil kami kalau sudah waktuny
Setelah berada di udara selama satu setengah jam, kami mendarat di Bandar Udara Abdulrachman Saleh dengan selamat. Aku berjalan dengan santai, sedangkan Galang menarik koper kami sambil menggandeng tanganku. Kami keluar dari terminal kedatangan disambut kerumunan orang.Padahal bukan tanggal merah. Mungkin ada keluarga atau teman yang datang untuk melewati akhir tahun bersama mereka di kota ini. Seperti yang keluarga Galang lakukan. Mereka biasanya berlibur di tempat yang jauh, tetapi tahun ini tidak karena kami baru menikah.Perjalanan jauh membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama untuk ongkos pesawat. Namun ke mana pun kami pergi, aku tidak mengeluh. Asal bisa menjauh sejenak dari rutinitas pekerjaan, aku sudah senang. Apalagi selama satu tahun ini, aku jarang mengambil cuti.“Itu mereka!” seru Bunda yang menunjuk ke arah di mana Kak Gesang dan keluarganya berada.“Nenek!!” sambut kedua cucunya yang segera berlari ke dalam pelukannya. Mereka sudah remaja, tetapi tidak segan meme
~Galang~ Wanita ini perlu belajar mengendalikan dirinya dengan baik atau semua rencanaku bisa gagal total. Mengapa dia tidak bisa bersikap santai di depan neneknya sendiri? Kelemahannya selalu berhasil membuat dia mengambil tindakan tanpa berpikir panjang. Apa salahnya mengalah dan membiarkan neneknya memuji adik laki-lakinya? Aku sudah siap dengan tanggapanku mengenai desakan Nenek untuk menciumnya, dia malah lebih dahulu mencium aku. Bukan di tempat yang biasa seorang teman lakukan, tetapi di, ah, sudahlah. Membahasnya hanya akan membuat aku memikirkan hal itu terus. Padahal bukan begini yang aku pikirkan saat melakukan ciuman pertamaku dengannya. Dia benar-benar tidak berubah sejak SMU. “Lihat, aku berhasil, ‘kan?” bisiknya. Dia memperkecil jarak di antara kami dengan mendekatkan wajahnya kepadaku. Melihat bibirnya dari jarak sedekat itu menjadi godaan terbesarku saat ini. “Berhasil apa?” ejekku, menunggu para penumpang lain keluar dari kabin pesawat. “Kentut tanpa kamu ketahu
“Lo? Galang? Ada apa dengan keningmu?” tanya Bunda yang melihat ke arah dahiku dengan raut muka terkejut sekaligus khawatir. “Tadi tidak memerah begini. Apa karena terbakar matahari?”“Ada nyamuk nakal di kamar,” jawabku sekenanya, melirik ke arah Fay yang berpura-pura tidak menyadari aku sedang melihat ke arahnya.“Ayo, Nek. Kita berangkat sekarang. Kata Papa, semakin sore, jalan akan semakin macet,” desak Astro yang menarik tangan Bunda.“Ah, iya. Ayo, ayo,” kata Bunda setuju.Kami menuju Alun-alun Kota Malang untuk melewatkan malam Tahun Baru bersama ratusan jika tidak ribuan orang lainnya. Menjelang matahari terbenam, jalan mulai macet dan lokasi tujuan kami sudah ramai dengan pengunjung.Kami berkeliling sambil berdiskusi memilih makan malam masing-masing. Aku dan Gesang yang memesan makanan, sedangkan para wanita mencari tempat duduk untuk kami. Tia dan Astro ditemani Ayah untuk menaiki mobil kayuh.Semakin malam, semakin banyak orang yang datang. Hal yang sudah biasa kami alami
Rekan satu timku serentak tertawa melihat aku masuk ke ruang rapat. Aku mengabaikan mereka dan duduk di satu kursi yang kosong. Aku meletakkan laptop di depanku dan menyalakannya. Sambil menunggu semua aplikasi dibuka, aku mendekati bufet dan menuang kopi di mug bersih. Mereka masih terkikik geli walau aku sudah menatap mereka dengan tajam. Kalau saja aku bisa memakai mekap, aku pasti sudah menutupinya dengan bedak atau apalah namanya yang dipakai perempuan untuk mendandani wajah mereka. “Baru hari keempat tahun yang baru sudah bertengkar. Apa masa bulan madu kalian sudah habis?” goda salah satu rekanku. “Cepat sekali selesainya, Galang. Biasanya butuh waktu beberapa minggu untuk bertengkar. Kalian baru dua minggu menikah sudah terjadi kekerasan,” ejek yang lain. Aku melirik jam tangan, lalu ke arah supervisor kami. “Pak, sudah pukul delapan. Apa kita akan mulai rapatnya atau menunggu sampai semua teman-temanku puas mengejek aku?” Pria itu tertawa, lalu memulai rapat pagi kami. Ad
“Aww, Lang. Apa yang kamu lakukan?” Dia tiba-tiba saja memekik genit, membuat aku terkejut. “Hmm. Kita tidak bisa melakukan ini di sini. Orang tuaku bisa mendengar. Aw!”Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, tidak jauh dariku, sambil bicara sendiri. Untuk menyempurnakan aktingnya, dia bahkan berekspresi sebaik mungkin. Padahal yang mencuri dengar itu tidak bisa melihat wajahnya.“Ooh, iya, sayang. Aku suka setiap kali kamu menyentuh aku di sana. Iya. Terus turun, sayang. Turun.” Aku menyilangkan kedua tangan di depan dadaku mendengarnya. Dia terus saja menggumam, mendesah, dan mengeluarkan suara yang tepat ketika seorang wanita sedang bercinta.“Kamu sudah gila,” kataku ketika dia berhenti dan menutup mulut untuk menyembunyikan suara tawanya. Orang yang tadi ada di depan pintu sudah pergi, tidak menyadari kami bisa mendengar langkah kakinya.“Kita lihat saja besok. Mereka tidak akan curiga lagi dengan hubungan kita.” Dia mengangkat selimut
~Fayola~ Dasar Galang bodoh! Dia kerasukan apa, sih? Apa ada roh halus di kamar penginapan kami sampai dia mencoba untuk mencium aku? Roh apa yang tertarik kepadaku yang jelek dan pendek ini? Aku memang salah sudah mencium dia dan melanggar perjanjian kami, tetapi aku sudah meminta maaf. Dia juga sudah melupakannya. Eh, mendadak ingin mencium aku sesukanya. Enak saja. Perjanjian adalah perjanjian. Kami bisa melewati cobaan ini. Godaan bayangan saat kami berciuman di rumah Nenek akan segera berlalu. Kami sepakat untuk tetap bersahabat, maka aku tidak mau mengubah kesepakatan tersebut. “Kepala kamu terbuat dari apa, sih?” Dia mengusap-usap keningnya yang memerah karena antukan kepalaku. “Mengapa sekarang kamu lebih suka menggunakan kekerasan?” “Karena hanya itu yang bisa membuat kamu sadar,” ucapku sengit. “Jangan lupakan kesepakatan kita. Tidak ada teman yang ciuman. Kamu sendiri yang bilang begitu. Yang aku lakukan di rumah Nenek itu keterpaksaan. Apa kamu mengerti?” Perasaan kesa