Setelah berada di udara selama satu setengah jam, kami mendarat di Bandar Udara Abdulrachman Saleh dengan selamat. Aku berjalan dengan santai, sedangkan Galang menarik koper kami sambil menggandeng tanganku. Kami keluar dari terminal kedatangan disambut kerumunan orang.Padahal bukan tanggal merah. Mungkin ada keluarga atau teman yang datang untuk melewati akhir tahun bersama mereka di kota ini. Seperti yang keluarga Galang lakukan. Mereka biasanya berlibur di tempat yang jauh, tetapi tahun ini tidak karena kami baru menikah.Perjalanan jauh membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama untuk ongkos pesawat. Namun ke mana pun kami pergi, aku tidak mengeluh. Asal bisa menjauh sejenak dari rutinitas pekerjaan, aku sudah senang. Apalagi selama satu tahun ini, aku jarang mengambil cuti.“Itu mereka!” seru Bunda yang menunjuk ke arah di mana Kak Gesang dan keluarganya berada.“Nenek!!” sambut kedua cucunya yang segera berlari ke dalam pelukannya. Mereka sudah remaja, tetapi tidak segan meme
~Galang~ Wanita ini perlu belajar mengendalikan dirinya dengan baik atau semua rencanaku bisa gagal total. Mengapa dia tidak bisa bersikap santai di depan neneknya sendiri? Kelemahannya selalu berhasil membuat dia mengambil tindakan tanpa berpikir panjang. Apa salahnya mengalah dan membiarkan neneknya memuji adik laki-lakinya? Aku sudah siap dengan tanggapanku mengenai desakan Nenek untuk menciumnya, dia malah lebih dahulu mencium aku. Bukan di tempat yang biasa seorang teman lakukan, tetapi di, ah, sudahlah. Membahasnya hanya akan membuat aku memikirkan hal itu terus. Padahal bukan begini yang aku pikirkan saat melakukan ciuman pertamaku dengannya. Dia benar-benar tidak berubah sejak SMU. “Lihat, aku berhasil, ‘kan?” bisiknya. Dia memperkecil jarak di antara kami dengan mendekatkan wajahnya kepadaku. Melihat bibirnya dari jarak sedekat itu menjadi godaan terbesarku saat ini. “Berhasil apa?” ejekku, menunggu para penumpang lain keluar dari kabin pesawat. “Kentut tanpa kamu ketahu
“Lo? Galang? Ada apa dengan keningmu?” tanya Bunda yang melihat ke arah dahiku dengan raut muka terkejut sekaligus khawatir. “Tadi tidak memerah begini. Apa karena terbakar matahari?”“Ada nyamuk nakal di kamar,” jawabku sekenanya, melirik ke arah Fay yang berpura-pura tidak menyadari aku sedang melihat ke arahnya.“Ayo, Nek. Kita berangkat sekarang. Kata Papa, semakin sore, jalan akan semakin macet,” desak Astro yang menarik tangan Bunda.“Ah, iya. Ayo, ayo,” kata Bunda setuju.Kami menuju Alun-alun Kota Malang untuk melewatkan malam Tahun Baru bersama ratusan jika tidak ribuan orang lainnya. Menjelang matahari terbenam, jalan mulai macet dan lokasi tujuan kami sudah ramai dengan pengunjung.Kami berkeliling sambil berdiskusi memilih makan malam masing-masing. Aku dan Gesang yang memesan makanan, sedangkan para wanita mencari tempat duduk untuk kami. Tia dan Astro ditemani Ayah untuk menaiki mobil kayuh.Semakin malam, semakin banyak orang yang datang. Hal yang sudah biasa kami alami
Rekan satu timku serentak tertawa melihat aku masuk ke ruang rapat. Aku mengabaikan mereka dan duduk di satu kursi yang kosong. Aku meletakkan laptop di depanku dan menyalakannya. Sambil menunggu semua aplikasi dibuka, aku mendekati bufet dan menuang kopi di mug bersih. Mereka masih terkikik geli walau aku sudah menatap mereka dengan tajam. Kalau saja aku bisa memakai mekap, aku pasti sudah menutupinya dengan bedak atau apalah namanya yang dipakai perempuan untuk mendandani wajah mereka. “Baru hari keempat tahun yang baru sudah bertengkar. Apa masa bulan madu kalian sudah habis?” goda salah satu rekanku. “Cepat sekali selesainya, Galang. Biasanya butuh waktu beberapa minggu untuk bertengkar. Kalian baru dua minggu menikah sudah terjadi kekerasan,” ejek yang lain. Aku melirik jam tangan, lalu ke arah supervisor kami. “Pak, sudah pukul delapan. Apa kita akan mulai rapatnya atau menunggu sampai semua teman-temanku puas mengejek aku?” Pria itu tertawa, lalu memulai rapat pagi kami. Ad
“Aww, Lang. Apa yang kamu lakukan?” Dia tiba-tiba saja memekik genit, membuat aku terkejut. “Hmm. Kita tidak bisa melakukan ini di sini. Orang tuaku bisa mendengar. Aw!”Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, tidak jauh dariku, sambil bicara sendiri. Untuk menyempurnakan aktingnya, dia bahkan berekspresi sebaik mungkin. Padahal yang mencuri dengar itu tidak bisa melihat wajahnya.“Ooh, iya, sayang. Aku suka setiap kali kamu menyentuh aku di sana. Iya. Terus turun, sayang. Turun.” Aku menyilangkan kedua tangan di depan dadaku mendengarnya. Dia terus saja menggumam, mendesah, dan mengeluarkan suara yang tepat ketika seorang wanita sedang bercinta.“Kamu sudah gila,” kataku ketika dia berhenti dan menutup mulut untuk menyembunyikan suara tawanya. Orang yang tadi ada di depan pintu sudah pergi, tidak menyadari kami bisa mendengar langkah kakinya.“Kita lihat saja besok. Mereka tidak akan curiga lagi dengan hubungan kita.” Dia mengangkat selimut
~Fayola~ Dasar Galang bodoh! Dia kerasukan apa, sih? Apa ada roh halus di kamar penginapan kami sampai dia mencoba untuk mencium aku? Roh apa yang tertarik kepadaku yang jelek dan pendek ini? Aku memang salah sudah mencium dia dan melanggar perjanjian kami, tetapi aku sudah meminta maaf. Dia juga sudah melupakannya. Eh, mendadak ingin mencium aku sesukanya. Enak saja. Perjanjian adalah perjanjian. Kami bisa melewati cobaan ini. Godaan bayangan saat kami berciuman di rumah Nenek akan segera berlalu. Kami sepakat untuk tetap bersahabat, maka aku tidak mau mengubah kesepakatan tersebut. “Kepala kamu terbuat dari apa, sih?” Dia mengusap-usap keningnya yang memerah karena antukan kepalaku. “Mengapa sekarang kamu lebih suka menggunakan kekerasan?” “Karena hanya itu yang bisa membuat kamu sadar,” ucapku sengit. “Jangan lupakan kesepakatan kita. Tidak ada teman yang ciuman. Kamu sendiri yang bilang begitu. Yang aku lakukan di rumah Nenek itu keterpaksaan. Apa kamu mengerti?” Perasaan kesa
“Gila? Aku?” Sonya tertawa mengejek. “Kalian yang sudah gila berpikir bisa mengikuti gaya hidup kami! Aku justru menyelamatkan butik langgananku ini dari penipu seperti kalian. Pura-pura mau menjahit baju, pasti nanti kalian tidak mau bayar dan mengerjai para karyawan malang ini.” “Aku tidak peduli dengan gaya hidup hedonismu itu. Kamu hampir melukai istriku! Minta maaf atau aku akan meminta CCTV mereka dan menyebarkan perbuatanmu tadi!” seru Galang, mengancam. Aku terkejut mendengar kalimatnya itu. Dia marah bukan karena benda yang Sonya lempar, tetapi karena aku yang bisa saja terluka. Sesuatu yang asing menghangatkan dadaku. Aku melingkarkan tanganku di badannya dan menempelkan pipiku ke dadanya. “Minta maaf? Enak saja. Aku tidak akan—” protes Sonya dengan sengit. “Sayang, kamu yang bersalah. Minta maaflah. Terlalu banyak saksi untuk lari dari kesalahanmu ini,” kata Doddy dengan suara penuh otoritas. “Te-tetapi, sayang,” kata Sonya dengan berat hati. Aku tidak bisa melihat apa
Kami menikmati kudapan sore di kafe hotel. Fasilitas gratis yang tidak akan kami lewatkan. Kami sepakat untuk tidak pergi ke mana pun pada hari pertama dan ketiga. Hanya pada hari Sabtu, kami pergi sejenak ke pasar untuk membeli oleh-oleh. Aku tidak melupakan janjiku kepada dua rekanku. Setelah mengisi cangkir dengan kopi dan meletakkan beberapa kue di atas piring, kami mencari meja yang dekat dengan jendela. Pemandangan laut yang indah bisa kami nikmati dengan leluasa. Pantai tidak ramai dengan pengunjung, karena masih sore. Aku yakin suasananya akan berbeda pada malam hari nanti. Walaupun aku dan Doddy berpacaran selama lima tahun, dia tidak pernah sempat mengajak aku ke hotel milik keluarganya ini. Jika bukan aku yang sedang ada pekerjaan, maka dia yang harus ikut ayahnya melakukan perjalanan bisnis. “Aku akan menambah kopi dan mengambil kue lagi. Kamu mau sesuatu?” tanya Galang. “Kopi dan kue juga. Terima kasih,” kataku sambil memotong kue dengan garpu dan memasukkannya ke mulu