Puspa sangat marah sekali ketika pulang dari kantor polisi, suaminya justru memarahinya habis-habisan karena dia menghabiskan 350 juta untuk membantu Nadia terbebas dari hukuman penjara."Semua ini gara-gara Ajeng. Kalau saja dia nggak menjadi pelakor, semua ini nggak akan terjadi," ucapnya geram.Dia ingat sekali suaminya memotong jatah bulanannya sebagai hukuman agar tidak lagi berbuat ulah. Padahal, Puspa baru sekali ini saja melakukan kesalahan. Itupun demi rumah tangga anak mereka."Kamu sudah membuat adikmu dan suaminya harus membayar 800 juta untuk membebaskan anak mereka gara-gara ulah kamu. Kenapa tiba-tiba kamu ingin mencelakai Ajeng?" Begitulah ucapan Susno dengan wajah memerah setelah suami adiknya menelpon lelaki itu."Punya keponakan juga nggak berguna. Sukanya menghabiskan uang terus," gerutunya."Sudah sampai, Bu," kata sopir pribadinya begitu mobil berhenti di depan rumah Ajeng. "Saya antar atau ibu keluar sendiri?""Saya keluar sendiri. Cuma sebentar saja. Tunggu say
"Huwek!""Istirahat aja, Nyonya. Jangan dipaksakan," ucap Bi Marni sambil memijat tengkuk Ajeng. "Kita ke rumah sakit aja ya, Nya."Ajeng menggeleng. "Cuma masuk angin biasa kok, Bi. Mungkin juga karena cuacanya dingin.""Saya telponkan Tuan Evan ya," tawar Bi Marni dengan wajah khawatir."Nggak usah. Dia lagi sibuk di luar kota. Aku cuma masuk angin kok, bukan penyakit yang parah. Biar dia pulang ke Ella."Sesaat kemudian, terdengar suara tangisan. Puspa yang mengintip di depan pintu kamar mandi yang sedikit terbuka langsung tertegun."Ada masalah apa, Nyonya? Ada masalah dengan jantung bapak di Singapura?"Ajeng kembali menggeleng. "Sebentar lagi aku pergi dari sini, Bi. Kondisi Ella udah semakin membaik. Itu artinya pernikahan kami sebentar lagi berakhir.""Aduh, Nyonya, jangan bilang begitu. Tuan Evan kelihatannya sayang banget sama Nyonya kok. Dulu pas Nyonya habis dilukai sama karyawan Deca, orangnya sendiri yang merawat Nyonya.""Mungkin karena paksaan Ella, Bi. Evan dari dulu
"Mama! Ini semua bukan salah Rudi! Kami saling mencintai, bahkan sebelum aku menikah dengan Evan! Kalau saja mama nggak egois dengan menjodohkan aku, aku dan Rudi sudah menikah. Mama udah menghancurkan pernikahan impian aku!" teriak Ella sebelum mencengkeram kepalanya."Ap-apa?" Tante Puspa tercengang, begitu juga dengan Ajeng yang hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri."Selama ini aku udah bilang sama mama kalau aku udah punya kekasih. Aku udah punya calon. Aku udah bilang ke mama kalau aku mau menikah sama Johan. Jadi jangan salahkan aku kalau aku tetap berhubungan sama dia setelah menikah. Aku tertekan, Ma. Mama pernah nggak sih peduli sama aku? Mama cuma perhatian sama Ajeng yang bahkan bukan anak kandung mama!"Ajeng menatap kosong pintu yang sedikit terbuka di hadapannya. Tidak pernah menyangka bahwa Ella tertekan dengan pernikahannya. Selama ini, Ella terlihat sangat bahagia."Jadi Rudi itu Johan? Jadi selama ini...kamu selingkuh dengan sopir kamu sendiri?""Hanya dengan cara
"Kamu yakin anakku yang memalsukan hasil tes kesuburan Ajeng?" tanya Dahlia dengan mata menyipit."Jadi maksud kamu, anakku yang berbohong?" balas Puspa tak terima."Bisa jadi. Karena yang selingkuh sejak awal pernikahan itu kan anakmu. Anakku yang harus menjadi pelindung biar anakmu bisa bebas dengan selingkuhannya selama 2 tahun!" kata Dahlia dengan menggebu-gebu."Tapi kalau bukan karena anakmu yang terobsesi dengan Ajeng, semua ini nggak akan terjadi," balas Puspa tak mau kalah."Tapi apa yang kutemukan tadi mengatakan sebaliknya. Bukan Evan yang memalsukan hasil tes kesuburan Ajeng, melainkan Ella. Mau bukti? Ayo kita ke dokter Rani.""Ap-apa?" Jantung Puspa berdegup kencang tak karuan.Dahlia mengangguk. Setelah mendengar obrolan tidak mengenakkan dari menantunya dan sopir pribadinya, dia datang ke Rumah Sakit Permata keesokan harinya. Informasi dari Ajeng mengenai di mana Widya melakukan tes kesuburan untuk Ajeng membuatnya tersadar bahwa ada yang tidak beres dari semua ini."K
"Tidak, kamu jangan pergi dulu. Kamu harus mendengarkan penjelasan Evan," tolak Mami Dahlia tak terima."Iya, Jeng. Lebih baik kita mendengarkan penjelasan dari Evan dulu. Tante menyesal asal mengambil kesimpulan dan akhirnya malah membuat kamu dipermalukan di kantor. Tante minta maaf." Tante Puspa kembali menangis.Ada rasa marah karena dia telah dipermainkan. Dijadikan boneka. Bahkan orang-orang menuduhnya sebagai pelakor. Hancur sudah ketenangan hidupnya di kota ini. Dia ingin segera kembali ke Malang dan hidup tenang di sana bersama keluarganya.Tapi sebelum itu, dia harus memastikan satu hal pada Ella. Dia ingin tahu apa sebenarnya tujuan wanita itu menjebaknya. Dia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Ella."Tolong panggilkan Raka," pintanya. Dia menurunkan kedua kakinya ke lantai dan bersiap untuk pergi dari ruangan ini."Kamu harus sarapan dulu," cegah Tante Puspa.Seharusnya dia membenci wanita itu. Tapi Tante Puspa hanyalah korban seperti dirinya."Kenapa Tante malah ke sin
"Jeng, kemarilah."Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya."Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak."Sini, Jeng," panggil Ella lagi.Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur."Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri."Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mu
Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat. "Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tunt
Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama. "Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah denganny