"Kamu yakin anakku yang memalsukan hasil tes kesuburan Ajeng?" tanya Dahlia dengan mata menyipit."Jadi maksud kamu, anakku yang berbohong?" balas Puspa tak terima."Bisa jadi. Karena yang selingkuh sejak awal pernikahan itu kan anakmu. Anakku yang harus menjadi pelindung biar anakmu bisa bebas dengan selingkuhannya selama 2 tahun!" kata Dahlia dengan menggebu-gebu."Tapi kalau bukan karena anakmu yang terobsesi dengan Ajeng, semua ini nggak akan terjadi," balas Puspa tak mau kalah."Tapi apa yang kutemukan tadi mengatakan sebaliknya. Bukan Evan yang memalsukan hasil tes kesuburan Ajeng, melainkan Ella. Mau bukti? Ayo kita ke dokter Rani.""Ap-apa?" Jantung Puspa berdegup kencang tak karuan.Dahlia mengangguk. Setelah mendengar obrolan tidak mengenakkan dari menantunya dan sopir pribadinya, dia datang ke Rumah Sakit Permata keesokan harinya. Informasi dari Ajeng mengenai di mana Widya melakukan tes kesuburan untuk Ajeng membuatnya tersadar bahwa ada yang tidak beres dari semua ini."K
"Tidak, kamu jangan pergi dulu. Kamu harus mendengarkan penjelasan Evan," tolak Mami Dahlia tak terima."Iya, Jeng. Lebih baik kita mendengarkan penjelasan dari Evan dulu. Tante menyesal asal mengambil kesimpulan dan akhirnya malah membuat kamu dipermalukan di kantor. Tante minta maaf." Tante Puspa kembali menangis.Ada rasa marah karena dia telah dipermainkan. Dijadikan boneka. Bahkan orang-orang menuduhnya sebagai pelakor. Hancur sudah ketenangan hidupnya di kota ini. Dia ingin segera kembali ke Malang dan hidup tenang di sana bersama keluarganya.Tapi sebelum itu, dia harus memastikan satu hal pada Ella. Dia ingin tahu apa sebenarnya tujuan wanita itu menjebaknya. Dia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Ella."Tolong panggilkan Raka," pintanya. Dia menurunkan kedua kakinya ke lantai dan bersiap untuk pergi dari ruangan ini."Kamu harus sarapan dulu," cegah Tante Puspa.Seharusnya dia membenci wanita itu. Tapi Tante Puspa hanyalah korban seperti dirinya."Kenapa Tante malah ke sin
"Jeng, kemarilah."Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya."Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak."Sini, Jeng," panggil Ella lagi.Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur."Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri."Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mu
Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat. "Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tunt
Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama. "Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah denganny
"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja."Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran.Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi."Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia.Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitn
Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella. "Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri. Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam. "Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho." Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni. "Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambi
Sepanjang perjalanan, Ajeng dan Evan saling diam. Bukan berarti sebelumnya mereka terbiasa berbincang dengan akrab. Tidak. Hanya saja, aura di dalam mobil terasa dingin karena perkataan Evan tadi.Ajeng berusaha untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Lagi-lagi dia merasa seperti wanita murahan. Menurut saja ketika Evan menyentuhnya, sedangkan pria itu justru mengaku hanya sedang khilaf."Aku minta maaf," ucap Evan memecah keheningan.Ajeng tidak menjawab. Dia buru-buru membuka pintu mobil agar bisa segera menemui Ella dan menanyakan apa maksud wanita itu memintanya untuk datang ke rumah."Ajeng, tunggu." Evan mencekal lengannya, tapi Ajeng tidak menoleh. "Aku...maaf, aku pria normal. Sudah lama Ella tidak...""Tidak usah dibahas lagi. Aku sadar diri kok, menikah dengan kamu karena apa," potongnya.Tanpa menunggu balasan dari Evan, Ajeng pergi meninggalkan pria itu dan bergegas memasuki rumah Evan yang jauh lebih besar dari rumah yang dia tempati.