Share

6. Alergi

Sepanjang perjalanan, Ajeng dan Evan saling diam. Bukan berarti sebelumnya mereka terbiasa berbincang dengan akrab. Tidak. Hanya saja, aura di dalam mobil terasa dingin karena perkataan Evan tadi.

Ajeng berusaha untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Lagi-lagi dia merasa seperti wanita murahan. Menurut saja ketika Evan menyentuhnya, sedangkan pria itu justru mengaku hanya sedang khilaf.

"Aku minta maaf," ucap Evan memecah keheningan.

Ajeng tidak menjawab. Dia buru-buru membuka pintu mobil agar bisa segera menemui Ella dan menanyakan apa maksud wanita itu memintanya untuk datang ke rumah.

"Ajeng, tunggu." Evan mencekal lengannya, tapi Ajeng tidak menoleh. "Aku...maaf, aku pria normal. Sudah lama Ella tidak..."

"Tidak usah dibahas lagi. Aku sadar diri kok, menikah dengan kamu karena apa," potongnya.

Tanpa menunggu balasan dari Evan, Ajeng pergi meninggalkan pria itu dan bergegas memasuki rumah Evan yang jauh lebih besar dari rumah yang dia tempati.

Setelah ini, Ajeng akan mencari tahu kenapa Ella memaksanya untuk menjadi istri kedua Evan. Tidak mungkin hanya karena penyakitnya. Ella terlihat sudah mempersiapkan semuanya secara matang. Pasti ada sesuatu yang membuat sahabatnya itu mengambil keputusan yang tidak masuk akal.

"Ajeng! Akhirnya kamu datang juga!" seru Ella dari kursi rodanya.

"Ella!" Ajeng setengah berlari ke arah Ella dan memeluk wanita itu dengan erat. Ia menjauhkan tubuhnya untuk melihat wajah Ella yang terlihat pucat meskipun bibirnya diolesi dengan lipstik.

"Kalian belum sarapan, kan? Yuk, sarapan dulu. Eh, kamu kok memakai baju kerja?" tanya Ella sambil menaikkan alis.

"Dia harus masuk kerja, atau orang-orang akan curiga," balas Evan yang sudah berdiri di belakang Ajeng.

"Curiga kenapa?"

Tubuh Ajeng langsung menegang. Tante Puspa, ibunya Ella yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri, tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ajeng mendadak seperti maling yang kepergok.

"Kamu kenapa tegang begitu, Jeng?" tanya Tante Puspa.

Lidahnya langsung kelu. Diam-diam melirik Ella untuk meminta pertolongan. Entah kenapa Ajeng merasa sewaktu-waktu Tante Puspa bisa saja melabraknya karena diam-diam menikah dengan Evan.

"Kemarin Ajeng bolos kerja gara-gara nganter Ella ke rumah sakit waktu makan siang, Ma. Kalau sekarang dia nggak masuk lagi, tentu saja atasannya curiga." Untungnya Ella mau bekerja sama.

"Oh, kirain kamu diam-diam mengambil sesuatu dari kantor kamu atau gimana," kata Tante Puspa.

Rasanya Ajeng seperti tertampar dengan perkataan wanita seumuran ibunya itu. Padahal wanita itu pasti tidak sengaja, tapi Ajeng merasa tersindir. Lagi-lagi ia merasa seperti pencuri.

"Ayo sarapan. Kamu kenapa malah nungguin kami?" Evan membalikkan kursi roda Ella dan mulai mendorongnya.

"Eh, kok kalian bisa ke sini barengan? Kamu kenapa bisa semobil sama Ajeng? Habis dari mana memangnya?"

Kali ini Evan yang menegang. Sementara Ajeng menelan ludah. Kenapa mereka seperti pasangan selingkuh alih-alih pasangan suami istri? Bawaannya was-was terus.

"Ma, tadi Ella yang nyuruh Mas Evan untuk menjemput Ajeng. Kan Ella yang minta Ajeng ke sini. Ya dia harus dijemput dong," jawab Ella.

Ajeng hanya diam saja mengikuti mereka dari belakang. Ternyata menjadi istri simpanan itu tidak enak. Ajeng harus sewaktu-waktu menyiapkan mental jika ada yang menuduhnya pelakor. Dan ia benar-benar tidak siap jika tuduhan itu datang dari Tante Puspa.

Mereka menuju ke ruang makan sambil terus berceloteh, sedangkan Ajeng memilih untuk langsung duduk di kursi dalam diam begitu mereka sampai.

"Jeng, kenapa duduk di situ? Sini, sebelahnya Mas Evan." Perkataan Ella yang terdengar keras membuat seluruh mata menatap ke arahnya.

Tante Puspa mengernyitkan alis ketika Ajeng menurut dan duduk di sebelah kanan Evan, sementara Ella di sebelah kiri. Dalam hati ia mengutuk sahabatnya itu. Seharusnya jangan bersikap terlalu mencolok.

"Jeng, ambilkan Mas Evan nasi gorengnya, dong. Aku udah nggak bisa berdiri," kata Ella lagi.

Mau tak mau, Ajeng terpaksa menurut. Ingat, tujuannya menikah dengan Evan adalah untuk melayani pria itu sekaligus membayar hutang. Sabar, Ajeng.

Bukannya dia tidak sadar dengan tatapan elang milik Tante Puspa yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya melayani Evan. Hanya saja, Ajeng berusaha menebalkan muka agar tidak terlihat mencurigakan.

Mereka akhirnya makan dalam diam. Ajeng sendiri heran kenapa di depan Ella sudah ada sepiring nasi goreng, sedangkan lainnya harus mengambil sendiri dari wadah khusus.

"Kamu kok kelihatannya terbiasa melayani Evan, Jeng?"

Uhuk! Uhuk!

Ajeng buru-buru meminum segelas air untuk meradakan batuknya. Pertanyaan Tante Puspa benar-benar di luar dugaan. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu?!

Tangannya mulai gemetar sekarang. Dia benar-benar takut ketahuan. Ajeng tahu betul bagaimana sikap Tante Puspa jika sedang marah.

"Mama ini kepo banget sih? Aku sama Mas Evan tuh sering double date sama Ajeng dan Dimas dulu. Ajeng itu sahabat aku, jadi ya udah biasa," sahut Ella.

Orang bodoh pun tidak akan percaya dengan perkataan Ella. Mana ada seorang istri yang melayani suami wanita lain?

Ajeng pura-pura kembali fokus pada nasi goreng di piringnya, sampai ia tidak sengaja melihat sepotong udang di balik gundukan nasi itu. Matanya langsung membelalak.

Refleks ia menoleh ke arah Evan yang lehernya mulai memerah. Tangannya menahan tangan Evan yang hendak menyuapkan sesendok nasi goreng. Membuat Tante Puspa lagi-lagi menatap interaksi mereka dengan kening berkerut.

"Jangan dimakan! Nasi gorengnya ada udangnya!" pekik Ajeng panik.

Tanpa sadar, Ajeng menolehkan wajah Evan dan meraba pipi pria itu. "Mas, wajahmu mulai bengkak! Obat kamu mana?"

Evan tidak menjawab. Pria itu mulai terlihat sesak nafas.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Ayo!" Ajeng menarik tangan Evan dan menuntunnya menjauhi ruang makan.

Dia benar-benar panik sekarang. Evan memang alergi udang, dan sialnya Ajeng tidak tahu di mana Evan menyimpan obatnya. Dengan terburu-buru menuju ke mobil Evan, Ajeng memasukkan pria itu ke sisi penumpang sebelum berlari menuju ke sisi pengemudi.

"Tahan dulu ya. Aku akan mencari rumah sakit terdekat." Ajeng melajukan mobil dengan kencang, apalagi ketika Evan mulai terlihat lemas.

Untungnya ia cepat sampai di rumah sakit terdekat dan meminta tolong pada tim medis untuk segera membawa Evan ke IGD. Ajeng bahkan tidak sadar ketika ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan.

Seseorang itu mulai mendekat, hingga akhirnya berdiri di depan Ajeng yang sedang duduk di kursi tunggu.

"Ajeng? Gimana kabar kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status