Ajeng langsung berbalik dan menatap Nadia dengan sebelah alis terangkat. Menatap tak percaya pada gadis yang tahun kemarin baru lulus kuliah."Hubungannya aku menginap di sini sama janda apa ya? Kamu kok bisa lulus kuliah kalau nggak punya etika?" Mendadak Ajeng merasa dongkol dengan gadis centil yang kini bergelayut manja di lengan Evan.Entah kenapa dia merasa tidak rela. Matanya tanpa sadar memelototi tangan itu."Apaan sih? Lagian nggak malu ya nginep di rumah orang yang udah bersuami? Emang dasar janda gatel." Nadia menatapnya dengan wajah julid.Kedua tangan Ajeng terkepal. Pantas saja Ella selalu mengeluh tidak suka ketika Nadia menginap di rumah Evan. "Seharusnya kamu yang malu. Apa pantas seorang gadis memeluk suami sepupunya sendiri? Kamu itu haus belaian atau memang dasarnya udah gatel?" Ajeng semakin memelototi tangan kurang ajar itu, dan setelah itu memelototi Evan.Refleks laki-laki itu melepaskan belitan tangan Nadia dan bergegas masuk ke dalam rumah."Sayang, aku puny
Ajeng buru-buru pergi dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Dia bersembunyi di balik sofa ruang keluarga dengan cara merunduk. Menunggu Nadia menaiki tangga dengan secangkir kopi di tangan kanan dan senyum merekah.Setelah melepaskan alas kaki, Ajeng buru-buru mengikuti Nadia. Gadis itu sudah sampai di depan kamar Evan dan mengetuk pintu."Mas! Mas Evan, buka pintunya dong," panggil Nadia dengan suara manja.Ingin sekali Ajeng muntah melihat kelakuan gadis itu. Untung saja dia tidak melihat gadis itu setiap hari, karena Nadia bekerja di luar kota mengikuti ayahnya.Ketika Nadia mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya karena tidak kunjung dibuka, Ajeng mendekati gadis itu dan merebut cangkir kopi yang masih terasa panas."Makasih ya, udah bikinin aku kopi. Tahu aja kalau aku lagi butuh kopi." Ajeng langsung menjauh ketika Nadia memekik."Balikin nggak? Jangan lancang ya! Itu kopi buat Mas Evan!" jerit Nadia sambil berusaha menggapai kopi itu.Karena Ajeng jauh lebih tingg
Ajeng terus cemberut karena harus mandi di pagi buta. Bahkan langit saja masih gelap di luar sana."Mentang-mentang aku punya hutang milyaran, seenaknya saja nyuruh-nyuruh harus ini itu," gerutunya sambil menyisir rambutnya yang basah. "Ck, kepalaku pusing. Pagi-pagi masih dingin banget begini malah disuruh mandi."Bibirnya masih cemberut ketika Evan baru saja keluar dari kamar mandi. Beruntung pria itu tidak menyerangnya lagi seperti kemarin malam. Tubuhnya benar-benar kelelahan, dan sekarang perutnya kelaparan."Situ sih enak. Pas kepingin, langsung nyosor. Seenaknya saja. Nggak mau ngertiin, aku lagi capek atau nggak..."Gerutunya terhenti ketika tiba-tiba sebuah kalung dengan liontin berlian yang dikelilingi oleh ukiran seperti kelopak bunga mawar disodorkan di depan wajahnya. Matanya langsung fokus dan kegiatan menyisirnya langsung berhenti. Mulutnya menganga. Itu adalah perhiasan yang kemarin diinginkannya.Ia mendongak dan melihat Evan di cermin yang tersenyum miring, seolah-ol
Dahlia masuk ke dalam rumah putranya dan telinganya langsung mendengar tuduhan Nadia, sepupu Ella. Sejak Evan menikah dengan Ella, gadis itu selalu mencari perhatian putranya dan begitu genit. Dahlia tidak suka perempuan seperti itu.Berbeda sekali dengan Ajeng. Ada sesuatu yang membuat Dahlia setuju Evan menikahi wanita itu. Ajeng bukanlah wanita penggoda seperti Nadia. Bahkan ketika wanita itu berkunjung ke rumah Evan untuk menemui Ella, tidak pernah sama sekali dia melihat Ajeng berusaha mencari perhatian anaknya."Siapa yang ada main di belakang Ella?" tanyanya begitu mendekati meja makan yang sudah ada menu makanan favoritnya.Dahlia bisa melihat wajah antusias Nadia. Dia bahkan yakin gadis itu akan segera mengeluarkan racunnya untuk menjelekkan menantu keduanya."Perempuan itu, Tante. Dia kemarin malam masuk ke kamar Mas Evan. Benar-benar nggak tahu malu. Udah jadi janda aja masih gatel," kata Nadia dengan senyum sinis sambil melirik Ajeng.Betul, kan? Sudah dia duga gadis itu a
Ajeng mungkin hanya terlalu sensitif. Raka pasti tidak bermaksud untuk menyebutnya sebagai pemilik kantin yang menjadi satu dengan perusahaan, kan? Itu artinya, sama saja dengan Raka menyebutnya sebagai pemilik perusahaan juga."Eh, aku hanya bercanda. Kenapa dianggap serius?" kata Raka tak enak.Ajeng tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk sambil meminum es teh untuk meredakan batuk akibat tersedak. Pasti Raka tidak tahu mengenai statusnya sebagai istri kedua CEO Deca Group. Ya, Ajeng yakin itu. Hanya Siska yang tahu mengenai statusnya."Ajeng! Kok nggak nungguin aku, sih? Eh? Siapa nih?" Siska langsung menatap Raka dengan kening mengernyit, lalu menatap Ajeng dengan mata melotot."Dia supervisor baru di divisi aku. Namanya Raka," jawab Ajeng.Siska berkenalan dengan Raka, lalu duduk di sebelah Ajeng."Kamu karyawan baru?" tanya Siska.Raka mengangguk. Pria itu fokus melahap soto ayam di hadapannya. Siska langsung menyenggol lengan Ajeng dan memberi kode lewat mata."Kalau ketah
Semua terjadi begitu cepat. Seluruh karyawan divisi marketing mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Ada yang merekam kejadian itu dengan ponsel."Kenapa ibu melakukan itu?" Raka menatap Bu Martha dingin. Ajeng bahkan heran kenapa pria itu berani melakukannya pada atasannya."Kamu nggak usah ikut campur. Apa karena kamu udah tidur sama janda gatel ini makanya membela dia?""Cukup! Jangan mengira karena saya karyawan baru di tempat ini, ibu bisa dengan mudah menuduh saya. Kenapa anda bisa menjadi manajer jika kelakuan anda sangat buruk?"Raka menarik lengan Ajeng dan mengajaknya keluar dari ruangan."Salah satu dari kalian, laporkan kejadian ini pada HRD. Kamu yang merekam, tunjukkan videonya sebagai bukti." Setelah itu Raka menarik Ajeng keluar dari ruangan menuju ke klinik perusahaan.Ajeng hanya menurut saja, karena leher belakangnya benar-benar terasa perih. Untungnya darah sudah berhenti."Eh, Raka maaf. Aku udah punya suami," kata Ajeng ketika Raka masih memegang tangann
Ajeng tersentak ketika sebuah tangan besar menyentuh keningnya."Kamu demam.""Hmm?" Keningnya mengernyit. Wajahnya memang terasa hangat. Mungkin pengaruh dari luka di leher bagian belakangnya."Makan dulu, lalu minum obat." Suara tegas Evan tidak membuatnya membuka mata. Setelah pulang kerja, Ajeng langsung merebahkan diri di atas ranjang. Tadi dokter di klinik milik Deca Group hanya memberinya antibiotik agar lukanya cepat mengering. Ternyata cukup dalam. Pantas saja tubuhnya sedikit demam.Rambutnya disibak dan diperiksa, setelah itu terdengar Evan mengumpat kasar. Beberapa saat kemudian, Ajeng mendengar Evan memarahi seseorang."Saya tidak mau tahu. Laporkan dia ke polisi atas kasus penganiayaan. Minta bukti rekaman CCTV ke operator dan bukti visum ke dokter Indra. Ada lagi satu video dari salah satu karyawan. Tambahkan lagi tuntutannya dengan pencurian kalung berlian dan pencemaran nama baik. Besok, kamu harus sudah memecat dia dan memasukkannya ke dalam daftar hitam. Jangan sam
Pemecatan Bu Martha, seorang manajer marketing yang sudah bekerja selama 15 tahun untuk PT Deca Indonesia, perusahaan inti Deca Group, mengagetkan semua karyawan. Bahkan berita ini menyebar begitu cepat layaknya api yang membakar daun kering di semua anak perusahaan milik Deca Group.Banyak spekulasi bermunculan. Dan yang paling heboh adalah gosip mengenai Ajeng, staf admin bawahan Bu Martha, yang menjadi simpanan CEO Deca.Karyawan begitu heboh setelah video mengenai perundungan Bu Martha pada Ajeng tersebar, dan setelah itu ada polisi yang mendatangi perusahaan guna menangkap sang manajer atas tuduhan penganiayaan dan pencurian kalung berlian senilai 30 juta rupiah."Gila, ini sih beneran si Ajeng jadi simpanan Mr. Evan. Karyawan rendahan macam dia mana bisa beli kalung berlian dengan harga wow begitu?" kata salah satu karyawan ketika jam makan siang."Kalian lihat videonya nggak? Dia juga pake 2 cincin berlian sama anting berlian juga. Gila sih emang, fix dia memang beneran jadi si