Ajeng terus cemberut karena harus mandi di pagi buta. Bahkan langit saja masih gelap di luar sana."Mentang-mentang aku punya hutang milyaran, seenaknya saja nyuruh-nyuruh harus ini itu," gerutunya sambil menyisir rambutnya yang basah. "Ck, kepalaku pusing. Pagi-pagi masih dingin banget begini malah disuruh mandi."Bibirnya masih cemberut ketika Evan baru saja keluar dari kamar mandi. Beruntung pria itu tidak menyerangnya lagi seperti kemarin malam. Tubuhnya benar-benar kelelahan, dan sekarang perutnya kelaparan."Situ sih enak. Pas kepingin, langsung nyosor. Seenaknya saja. Nggak mau ngertiin, aku lagi capek atau nggak..."Gerutunya terhenti ketika tiba-tiba sebuah kalung dengan liontin berlian yang dikelilingi oleh ukiran seperti kelopak bunga mawar disodorkan di depan wajahnya. Matanya langsung fokus dan kegiatan menyisirnya langsung berhenti. Mulutnya menganga. Itu adalah perhiasan yang kemarin diinginkannya.Ia mendongak dan melihat Evan di cermin yang tersenyum miring, seolah-ol
Dahlia masuk ke dalam rumah putranya dan telinganya langsung mendengar tuduhan Nadia, sepupu Ella. Sejak Evan menikah dengan Ella, gadis itu selalu mencari perhatian putranya dan begitu genit. Dahlia tidak suka perempuan seperti itu.Berbeda sekali dengan Ajeng. Ada sesuatu yang membuat Dahlia setuju Evan menikahi wanita itu. Ajeng bukanlah wanita penggoda seperti Nadia. Bahkan ketika wanita itu berkunjung ke rumah Evan untuk menemui Ella, tidak pernah sama sekali dia melihat Ajeng berusaha mencari perhatian anaknya."Siapa yang ada main di belakang Ella?" tanyanya begitu mendekati meja makan yang sudah ada menu makanan favoritnya.Dahlia bisa melihat wajah antusias Nadia. Dia bahkan yakin gadis itu akan segera mengeluarkan racunnya untuk menjelekkan menantu keduanya."Perempuan itu, Tante. Dia kemarin malam masuk ke kamar Mas Evan. Benar-benar nggak tahu malu. Udah jadi janda aja masih gatel," kata Nadia dengan senyum sinis sambil melirik Ajeng.Betul, kan? Sudah dia duga gadis itu a
Ajeng mungkin hanya terlalu sensitif. Raka pasti tidak bermaksud untuk menyebutnya sebagai pemilik kantin yang menjadi satu dengan perusahaan, kan? Itu artinya, sama saja dengan Raka menyebutnya sebagai pemilik perusahaan juga."Eh, aku hanya bercanda. Kenapa dianggap serius?" kata Raka tak enak.Ajeng tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk sambil meminum es teh untuk meredakan batuk akibat tersedak. Pasti Raka tidak tahu mengenai statusnya sebagai istri kedua CEO Deca Group. Ya, Ajeng yakin itu. Hanya Siska yang tahu mengenai statusnya."Ajeng! Kok nggak nungguin aku, sih? Eh? Siapa nih?" Siska langsung menatap Raka dengan kening mengernyit, lalu menatap Ajeng dengan mata melotot."Dia supervisor baru di divisi aku. Namanya Raka," jawab Ajeng.Siska berkenalan dengan Raka, lalu duduk di sebelah Ajeng."Kamu karyawan baru?" tanya Siska.Raka mengangguk. Pria itu fokus melahap soto ayam di hadapannya. Siska langsung menyenggol lengan Ajeng dan memberi kode lewat mata."Kalau ketah
Semua terjadi begitu cepat. Seluruh karyawan divisi marketing mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Ada yang merekam kejadian itu dengan ponsel."Kenapa ibu melakukan itu?" Raka menatap Bu Martha dingin. Ajeng bahkan heran kenapa pria itu berani melakukannya pada atasannya."Kamu nggak usah ikut campur. Apa karena kamu udah tidur sama janda gatel ini makanya membela dia?""Cukup! Jangan mengira karena saya karyawan baru di tempat ini, ibu bisa dengan mudah menuduh saya. Kenapa anda bisa menjadi manajer jika kelakuan anda sangat buruk?"Raka menarik lengan Ajeng dan mengajaknya keluar dari ruangan."Salah satu dari kalian, laporkan kejadian ini pada HRD. Kamu yang merekam, tunjukkan videonya sebagai bukti." Setelah itu Raka menarik Ajeng keluar dari ruangan menuju ke klinik perusahaan.Ajeng hanya menurut saja, karena leher belakangnya benar-benar terasa perih. Untungnya darah sudah berhenti."Eh, Raka maaf. Aku udah punya suami," kata Ajeng ketika Raka masih memegang tangann
Ajeng tersentak ketika sebuah tangan besar menyentuh keningnya."Kamu demam.""Hmm?" Keningnya mengernyit. Wajahnya memang terasa hangat. Mungkin pengaruh dari luka di leher bagian belakangnya."Makan dulu, lalu minum obat." Suara tegas Evan tidak membuatnya membuka mata. Setelah pulang kerja, Ajeng langsung merebahkan diri di atas ranjang. Tadi dokter di klinik milik Deca Group hanya memberinya antibiotik agar lukanya cepat mengering. Ternyata cukup dalam. Pantas saja tubuhnya sedikit demam.Rambutnya disibak dan diperiksa, setelah itu terdengar Evan mengumpat kasar. Beberapa saat kemudian, Ajeng mendengar Evan memarahi seseorang."Saya tidak mau tahu. Laporkan dia ke polisi atas kasus penganiayaan. Minta bukti rekaman CCTV ke operator dan bukti visum ke dokter Indra. Ada lagi satu video dari salah satu karyawan. Tambahkan lagi tuntutannya dengan pencurian kalung berlian dan pencemaran nama baik. Besok, kamu harus sudah memecat dia dan memasukkannya ke dalam daftar hitam. Jangan sam
Pemecatan Bu Martha, seorang manajer marketing yang sudah bekerja selama 15 tahun untuk PT Deca Indonesia, perusahaan inti Deca Group, mengagetkan semua karyawan. Bahkan berita ini menyebar begitu cepat layaknya api yang membakar daun kering di semua anak perusahaan milik Deca Group.Banyak spekulasi bermunculan. Dan yang paling heboh adalah gosip mengenai Ajeng, staf admin bawahan Bu Martha, yang menjadi simpanan CEO Deca.Karyawan begitu heboh setelah video mengenai perundungan Bu Martha pada Ajeng tersebar, dan setelah itu ada polisi yang mendatangi perusahaan guna menangkap sang manajer atas tuduhan penganiayaan dan pencurian kalung berlian senilai 30 juta rupiah."Gila, ini sih beneran si Ajeng jadi simpanan Mr. Evan. Karyawan rendahan macam dia mana bisa beli kalung berlian dengan harga wow begitu?" kata salah satu karyawan ketika jam makan siang."Kalian lihat videonya nggak? Dia juga pake 2 cincin berlian sama anting berlian juga. Gila sih emang, fix dia memang beneran jadi si
Puspa terus memikirkan perkataan keponakannya mengenai keberadaan Ajeng yang mencurigakan di rumah menantunya.Sebenarnya dia kurang suka dengan Nadia, karena berkali-kali gadis itu ingin menggoda Evan. Sudah beberapa kali ia menegur Nadia dan ibu gadis itu yang merupakan adiknya, tapi dianggap hanya angin lalu oleh mereka."Jangan terburu-buru percaya pada perkataan anak itu. Mama ingat kan, dulu Nadia pernah nekat hampir menjebak Evan di kamar Ella? Kalau saja nggak ada saksi si ART di rumah Evan, udah hancur rumah tangga anak kita," kata Susno, suami Puspa, sambil membaca berita di tablet.Puspa menggigit bibir bawahnya. Dalam hati tidak yakin jika Ajeng bisa berbuat senekat itu. Dia sangat tahu wanita itu. Tidak pernah sekalipun berusaha untuk menggoda Evan, bahkan selalu menunggu Evan tidak ada di rumah jika mau menemui Ella."Tapi Nadia bilang, Ajeng masuk ke kamar Evan dan Ella. Terus....terus dia denger suara kayak desahan gitu, Pa," kata Puspa dengan gelisah.Susno menurunkan
"Kenapa sih, Ma? Bukannya tadi mau ketemu Ella?" Susno menurut saja ketika Puspa menarik tangannya menuju ke mobil."Udah, papa diem aja. Nanti aja ke rumah Ella. Dia sedang sibuk. Itu mobilnya masih bisa dipakai, kan? Ayo buruan pergi.""Tapi orang bengkel mau ke sini, Ma," tolak Susno."Kita ke bengkel sekalian. Kalau papa nggak mau pergi, mama mau naik taksi aja."Mau tidak mau, Susno menurut saja membawa mobilnya meskipun mesinnya terdengar kasar dan tarikannya berat. Wajah Puspa terlihat pucat, dan kini wanita itu terlihat melamun sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi.Apa yang sebenarnya dilihat oleh sang istri di rumah menantu mereka? Kenapa Puspa terlihat lebih pendiam?Sementara Puspa, pikirannya kacau. Seharusnya bukan seperti itu yang dia lihat. Seharusnya perkataan Nadia benar. Tapi kenapa tidak sesuai dengan harapannya? Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangga anaknya? Siapa kira-kira yang bisa dia percaya sekarang? Lantas di mana Evan? Tadi dia mendengar n