"Tidak, kamu jangan pergi dulu. Kamu harus mendengarkan penjelasan Evan," tolak Mami Dahlia tak terima."Iya, Jeng. Lebih baik kita mendengarkan penjelasan dari Evan dulu. Tante menyesal asal mengambil kesimpulan dan akhirnya malah membuat kamu dipermalukan di kantor. Tante minta maaf." Tante Puspa kembali menangis.Ada rasa marah karena dia telah dipermainkan. Dijadikan boneka. Bahkan orang-orang menuduhnya sebagai pelakor. Hancur sudah ketenangan hidupnya di kota ini. Dia ingin segera kembali ke Malang dan hidup tenang di sana bersama keluarganya.Tapi sebelum itu, dia harus memastikan satu hal pada Ella. Dia ingin tahu apa sebenarnya tujuan wanita itu menjebaknya. Dia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Ella."Tolong panggilkan Raka," pintanya. Dia menurunkan kedua kakinya ke lantai dan bersiap untuk pergi dari ruangan ini."Kamu harus sarapan dulu," cegah Tante Puspa.Seharusnya dia membenci wanita itu. Tapi Tante Puspa hanyalah korban seperti dirinya."Kenapa Tante malah ke sin
Ajeng baru sadar bahwa dia pernah melihat wajah Rudi sebelumnya. Ketika melihat pria itu dari jarak dekat, dia baru ingat bahwa pria itu adalah Johan Rudiyana, kakak tingkatnya sekaligus pacar Ella ketika kuliah dulu.Penampilan laki-laki itu berubah total. Dari seorang pemuda yang modis dan memakai pakaian serba bermerk, menjadi seorang sopir pribadi dengan pakaian seadanya. Apakah benar bahwa orangtua pria itu bangkrut? Dia tidak pernah tahu soal lelaki ini kecuali bahwa dulu Johan adalah seorang pangeran kampus."Aku nggak menyangka, ternyata selama ini kamu bermain gila di belakang Evan," tukasnya dengan wajah jijik. "Kamu pasti yang memaksa Ella, kan? Kamu sengaja menyamar sebagai sopir biar bisa melancarkan aksi kamu. Kenapa? Tujuan kamu apa?"Pria yang benar-benar terlihat mirip dengan Nicholas Saputra itu menatapnya datar selama beberapa detik, sampai akhirnya tersenyum miring."Kamu terlalu menilai tinggi Ella."Mulut Ajeng menganga ketika Rudi dengan santai meninggalkannya.
"Mas, ini Ansel. Adik sepupuku. Dulu dia datang pas kita menikah," kata Ajeng ketika melihat Ansel yang tengah rebahan di atas sofa.Pria itu langsung bangkit dan buru-buru menyalami Evan sambil memperkenalkan diri."Udah lama di sini?" tanya Evan."Baru kemarin, Kak. Rencananya mau sehari lagi di sini. Kangen sama Kak Ajeng," jawab Ansel sebelum tersenyum salah tingkah sambil menggaruk kepalanya."Ya sudah. Kalau ada apa-apa, bilang sama saja Bi Marni. Atau kamu bisa mengajak Raka jalan-jalan. Saya mau istirahat dulu," ucap Evan sambil menepuk bahu Ansel."Sana, minta temenin Raka keliling kota. Jangan tidur mulu," suruh Ajeng sambil mengibaskan tangan.Dia menyusul Evan yang sudah terlebih dulu menaiki tangga menuju ke kamar mereka di lantai dua."Mas, tuntutan buat Tante Puspa tolong dicabut ya. Aku udah maafin dia kok. Tante Puspa juga udah minta maaf ke aku," pinta Ajeng, mencoba peruntungan.Sebenarnya dia takut meminta pada lelaki itu, karena bagaimanapun juga, mereka hanya men
Jantung Ajeng berdegup dengan sangat kencang, sampai-sampai tangannya gemetaran dan terasa dingin. Bi Marni bahkan harus menggenggam kedua tangannya dengan erat."Kenapa dengan Sekar Anjani?" Ajeng berharap bukan alasan yang buruk.Rahasia yang mulai terkuak satu persatu saja sudah membuatnya panas dingin, apalagi ini malah melibatkan nama itu."Nyonya kenal dengan Sekar Anjani?" tanya Bi Marni dengan mata membelalak.Ajeng tidak menjawab. Dia benar-benar sibuk memikirkan berbagai kemungkinan. Apa hubungannya Sekar Anjani dengan Ella? "Siapa yang berhubungan dengan Sekar Anjani? Ella atau Mas Evan?" tuntutnya."Saya de...""Kalian ngapain di belakang rumah? Nggak makan siang?"Ajeng dan Bi Marni terlonjak dengan tatapan ngeri ketika melihat Evan berdiri di pintu belakang rumah. Keduanya memegang dada masing-masing karena rasanya jantung seperti mau copot."Eh, i-ini...tadi Nyonya...""Aku lagi lihatin taman bunga di belakang rumah, Mas. Baru tahu ternyata ada banyak bunga di sini, ma
"Jeng, kemarilah."Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya."Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak."Sini, Jeng," panggil Ella lagi.Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur."Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri."Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mu
Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat. "Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tunt
Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama. "Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah denganny
"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja."Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran.Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi."Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia.Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitn