Share

Menjadi Istri Kedua Suami Sahabatku
Menjadi Istri Kedua Suami Sahabatku
Penulis: Alya Feliz

1. Penawaran Gila

"Jeng, kemarilah."

Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya.

"Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak.

"Sini, Jeng," panggil Ella lagi.

Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.

Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri.

"Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."

Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mungkin mereka bisa sampai di rumah sakit ini dalam waktu yang singkat.

"Rumah orangtua kamu juga lumayan jauh. Mau menghubungi Nadia juga....Eh? Kamu tadi ngomong apa?" Ajeng berhenti bicara sambil mengingat-ingat perkataan Ella sebelumnya.

"Menikahlah dengan Mas Evan. Aku akan membayar biaya operasi ayahmu," pinta Ella.

Ajeng membuka dan menutup mulutnya kembali. Otaknya mendadak berhenti bekerja dan tidak mengerti dengan perkataan Ella.

"Aku merasa lebih aman menitipkan Mas Evan sama kamu. Aku nggak percaya dengan perempuan lainnya. Apalagi sebentar lagi anak kami lahir."

"Kamu ngomong apa sih?" tanya Ajeng bingung.

"Rawat bayiku setelah dia lahir," pinta Ella.

"Jangan bicara yang aneh-aneh, El. Aku yakin kamu pasti sembuh, kok. Evan pasti mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk kamu," balas Ajeng dengan sabar.

Penyakit yang diderita oleh Ella memang menakutkan. Wajar jika sahabatnya bicara yang aneh-aneh.

"Ajeng, aku tahu kamu menginginkan anak. Setelah diceraikan oleh Dimas karena kamu divonis mandul, memangnya siapa yang mau menikah dengan kamu?"

Ajeng menatap Ella tak percaya. Setelah sekian lama saling mengenal, baru kali ini Ella berkata yang menyakitkan seperti itu. Seolah-olah Ella mengejeknya karena tidak bisa hamil.

"Ambil kesempatan ini, Jeng. Kamu bisa melayani Mas Evan juga. Udah 8 bulan aku nggak bisa melayani dia di atas ranjang dan..."

"Sudahlah, El. Lebih baik kamu fokus pada kesembuhan kamu dan kehamilan kamu. Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku nggak mungkin menyakiti kamu dengan menjadi madumu," potong Ajeng.

Tapi Ella justru menggeleng-gelengkan kepalanya, terlihat keras kepala. Tiba-tiba ekspresi wanita itu berubah menjadi sedikit dingin, membuat Ajeng tercengang.

"Aku akan menolong kamu. Membantu semua kesulitan kamu. Asalkan kamu mau menikah dengan Mas Evan. Dimas saja membuangmu. Memangnya siapa lagi yang bisa menolongmu dengan kondisi ekonomi keluargamu yang hampir hancur itu?"

Ajeng terpaku, tidak menyangka Ella bisa berkata seperti itu. Ajeng tahu, dirinya memang berasal dari keluarga menengah yang mungkin sebentar lagi akan bangkrut, tidak seperti Ella yang bergelimang harta. Tapi haruskah Ella menyudutkannya seperti ini?

"Kenapa kamu berbicara seperti itu, El?" kata Ajeng dengan suara bergetar, masih terlalu terkejut dengan sisi Ella yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Sudahlah. Aku yakin setelah ini kamu akan menerima tawaranku menjadi istri kedua Evan," kata Ella yakin. Tidak ada lagi raut lemah di wajah wanita itu.

Ajeng terdiam, tidak mengerti dengan perubahan sikap Ella. Apakah karena penyakit itu? Ella merasa harus melindungi diri agar tidak terluka?

Sesaat kemudian, ponselnya berdering. Dari ibunya.

"Ya, Bu?"

[Jeng, ayah kamu...kondisi jantungnya memburuk. Dokter bilang harus segera menjalani operasi transplantasi jantung.]

"Apa? Terus duitnya dari mana, Bu? Tabungan Ajeng cuma sedikit. Pinjam duit swalayan dulu gimana?" tanya Ajeng dengan suara bergetar.

Tangannya mulai gemetaran dan jantungnya berdegup kencang. Bayangan kematian ayahnya sudah di depan mata.

[Itulah yang membuat ibu bingung, Jeng. Ibu menelpon kamu untuk minta bantuan. Kira-kira kamu bisa mencari pinjaman di sana, nggak? Pinjam uang dari tempatmu bekerja mungkin. Kakakmu sudah berusaha mencari pinjaman, tapi tidak cukup.]

"Memangnya butuh uang berapa, Bu?"

Ibunya terdiam. Mendadak Ajeng merasa was-was sampai perutnya terasa mulas.

[Dokter bilang kisaran 21 milyar. Belum ongkos perjalanan ke Singapura.]

"Apa? 21 milyar? Uang darimana sebanyak itu, Bu? Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu?" Tubuh Ella langsung lemas dan pikirannya linglung.

[Ibu juga bingung, El. Kalau semua aset kita dijual, tetap tidak akan mencukupi. Dan setelah itu kita akan menjadi gelandangan karena nggak punya tempat tinggal. Tapi kalau ayahmu nggak segera dioperasi, dia akan...]

"Sebentar, Bu. Biaya operasinya kenapa bisa semahal itu?"

[Dokter bilang, untuk biaya operasinya saja membutuhkan sekitar 4 milyar. Belum lagi harus rawat inap di rumah sakit selama 7 sampai 14 hari pasca operasi untuk memastikan jantung baru berfungsi dengan baik. Bahkan katanya pemulihannya bisa memakan waktu sekitar 6 bulan atau lebih.]

Terdengar suara isak tangis ibunya. Mata Ajeng sendiri sudah berkaca-kaca. Sekarang kepalanya terasa pusing. Pantas saja biayanya mahal sekali. Memasang jantung baru pada manusia tentulah harus terus dipantau setiap hari.

[Jeng, temenmu yang namanya Ella itu, apa nggak bisa membantu kita? Bukannya kamu bilang dia itu kaya raya?]

"Bu, nggak bisa gitu. Ella sekarang juga sedang..."

Tarikan di tangannya membuat perhatian Ajeng teralihkan pada Ella.

"Sudah aku bilang dari awal. Aku akan membayar biaya operasi ayahmu. Tapi sebagai gantinya, kamu harus menjadi istri kedua Evan," ucap Ella.

Ajeng lupa bahwa dulu dia pernah bercerita mengenai kondisi ayahnya pada Ella. Dan sekarang curahan hatinya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

[Jeng? Itu Ella? Dia mau membayar biaya operasi ayahmu?]

"Sudahlah, Jeng. Terima saja. Kamu nggak punya pilihan lain. Mau mencari uang itu di mana lagi? Waktunya juga mepet, kan? Urusannya nyawa ayahmu, lho," desak Ella.

Sekarang Ajeng benar-benar merasa tertekan. Dia hanya bisa menangis.

[Jeng, ayahmu drop lagi! Ibu harus gimana?]

"Oke!" Ajeng sedikit berteriak. Dia melihat Ella yang tersenyum penuh kemenangan. Tenggorokannya seperti tercekat. "Baiklah, aku setuju."

Ella meraih tas tangan dan mengambil ponselnya. Sementara Ajeng mengusap air matanya dengan tangan bergetar ketika Ella menelpon seseorang dan meminta orang itu untuk mentransfer uang ke rekening ibunya secepat mungkin.

Ajeng sendiri heran kenapa Ella bisa tahu nomor rekening ibunya. Seolah-olah wanita itu sudah mempersiapkan semua ini sejak lama. Ia menunduk untuk melihat ponselnya. Panggilan dari sang ibu sudah terputus entah sejak kapan.

"Sekarang kamu harus menjadi istri kedua Evan. Kamu sudah tidak bisa menolak lagi," kata Ella.

Ajeng tidak bisa berkata-kata lagi. Dia langsung berjalan menuju ke pintu ruang rawat dan membukanya, hanya untuk mendapati dua orang yang kini menatapnya dengan ekspresi yang berbeda.

"Kamu mau menjadi istri kedua Evan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status