Share

4. Akad Nikah

"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.

Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja.

"Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran.

Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi.

"Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia.

Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitnya? Tapi wanita itu terkena kanker darah, bukan kanker otak yang bisa menyebabkan penderitanya melantur dan pikun.

Kemarin malam juga, maksud Ella apa dengan berkata bahwa akhirnya perempuan itu menang? Menang dari siapa? Atau jangan-jangan Ella sedang taruhan?

"Jeng, paman kamu sudah datang." Tante Dahlia masuk ke kamar milik Ella. Mulut wanita itu menganga ketika melihat penampilan Ajeng. "Kamu itu sebenarnya dari mana sih? Paman kamu kelihatan full bule begitu. Kamu juga, mirip sama istrinya pengusaha lumpur itu, lho."

Ajeng membulatkan matanya melihat calon mertuanya yang tidak terlihat judes atau marah ketika mendekatinya. Berbeda sekali dengan mantan mertuanya dulu.

"Kok pengusaha lumpur sih, Mi? Lumpur kan bencana alam. Lagian lebih cantik Ajeng kok." Ella mengeratkan genggaman tangannya dengan senyum lebar.

"Iya ya, Ajeng ini cantik lho. Kamu mau jadi artis setelah ini? Atau model? Sayang banget kalau wajahnya dianggurin begitu. Mami bisa kok masukin kamu ke agensi model."

Ajeng hanya bisa meringis. Tidak habis pikir dengan sepasang mertua dan menantu di hadapannya. Kenapa mereka malah terlihat gembira dengan kedatangan orang baru? Seharusnya dua orang itu memusuhinya. Dia adalah calon madu Ella, sebentar lagi akan menjadi istri simpanan Evan.

"Ya sudah, ayo buruan turun. Ella, kamu dibantu sama Pak Asep ya. Kursi roda kamu biar dibawa sama Rudi. Atau kamu mau pindah kamar di lantai bawah aja?"

"Pindah aja, Mi. Lagian perut Ella juga sudah besar. Ijab kabulnya nungguin Ella dulu ya."

Ajeng hanya menurut ketika Tante Dahlia menuntunnya keluar dari kamar Ella dan menuruni tangga. Jantungnya berdegup kencang. Orangtua Evan mungkin menerima keputusan ini, tapi bagaimana dengan orangtua Ella?

Mereka pasti akan murka melihat Ajeng menusuk Ella dari belakang dan merebut suaminya. Padahal dia sendiri tidak mau berada di posisi ini.

Kaki Ajeng rasanya semakin lemas ketika melihat tempat yang sudah disusun untuk acara akad nikah sederhana. Ada fotografer yang sudah siap mengabadikan momen ini. Pasti ulah Ella.

Ia sempat melirik Paman Dennis dan Ansel, sepupunya. Mereka tersenyum, seperti ingin menguatkan. Tante Dahlia menuntun Ajeng sampai duduk di sebelah Evan yang mengenakan jas putih.

"Kita mulai sekarang?" tanya penghulu.

Mereka semua mengangguk. Ajeng sebenarnya merasa heran kenapa justru penghulu yang menikahkan mereka? Biasanya jika itu pernikahan siri, cukup dilakukan oleh ustadz saja. Setahunya begitu.

"Saya terima nikahnya Ajeng Maheswari van Otten binti Mark van Otten dengan mas kawin emas Antam seberat 100 gram dibayar tunai," ucap Evan dengan lancar.

Ucapan sah yang terdengar keras mengagetkan Ajeng. Kenapa pernikahan ini seperti serius? Bukankah seharusnya Evan tidak perlu memberinya mas kawin sebesar itu? Toh mereka sebentar lagi akan bercerai. Lihatlah Ella yang terlihat sehat setelah kemoterapi.

"Ayo kita foto, Jeng," ajak Ella antusias.

Ajeng seperti robot. Dia hanya menurut ketika fotografer terus mengarahkan gaya setiap kali orang yang ikut berfoto berganti. Dia bahkan hanya diam saja begitu tubuhnya dipaksa masuk ke dalam mobil dan dibawa entah kemana bersama Evan.

Nasibnya sudah resmi berubah total sekarang. Dia menjadi istri kedua dari sahabatnya sendiri. Hidup apa yang sedang dijalaninya sekarang? Bagaimana kabar sang ayah? Apakah operasinya berhasil? Dia ingin lari dari semua ini dan pulang ke kampung halamannya. Biarlah dia mencari kerja di sana, asalkan tidak lagi berurusan dengan para konglomerat yang mengerikan.

"Mau sampai kapan melamun di dalam mobil?"

Ucapan dingin Evan mengagetkan Ajeng. Dia melihat sebuah rumah yang terlihat mewah dan besar. Dulu, Ajeng pernah memiliki rumah seperti itu. Hanya saja sejak ayahnya terkena serangan jantung, harta mereka kian lama kian habis untuk biaya pengobatan.

Ajeng keluar dari mobil mengikuti Evan. Sopir yang mengantar mereka membawakan satu koper besar dan satu koper kecil. Kakinya mengikuti kemanapun sang suami melangkah. Termasuk ke dalam kamar.

Matanya mengerjap. Kenapa dia terlihat seolah-olah ingin berduaan dengan suaminya? Suami. Ajeng meringis. Baru 6 bulan bercerai dari Dimas, sekarang dia malah menikah dengan suami sahabatnya. Apakah itu artinya dia adalah seorang pelakor?

"Ini rumah kamu. Terserah kamu mau mengaturnya bagaimana. Nggak usah nunggu aku. Aku akan lebih sering pulang ke rumah istriku," kata Evan dengan wajah dingin.

Ajeng memutar mata. Siapa juga yang menunggu? Justru Ajeng berharap Evan tidak pernah ke sini dan lebih fokus pada kesembuhan Ella.

Pria itu berlalu setelah menunjukkan kamar Ajeng. Mengangkat bahu, dia masuk ke kamar itu dan langsung melepas aksesoris yang melekat di rambutnya.

"Ck! Cuma nikah siri aja riasannya sudah mirip pengantin asli," gerutunya ketika melepaskan rangkaian melati yang menjuntai sampai ke pinggang.

Setelah selesai berjuang melepaskan semuanya, Ajeng buru-buru masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa panas dan tidak nyaman memakai kebaya pas badan itu.

"Semoga setelah ini nggak usah nikah-nikah lagi. Menjanda aja biar nggak ribet. Siapa bilang menjadi pengantin itu enak? Bajunya nggak nyaman di badan."

Guyuran air dingin dari shower membuat Ajeng mendesah nikmat. Rasanya benar-benar luar biasa. Untuk sejenak, dia ingin melepaskan semuanya. Tidak ingin berpikir macam-macam. Toh dia menikah dengan Evan hanya sebatas status demi membungkam mulut Ella agar tidak rewel.

Setelah selesai mandi, dia menggosok rambutnya dengan handuk sebelum membungkus tubuhnya dengan handuk yang sama. Sebenarnya dia melihat bathrobe, tapi dia lebih suka memakai handuk. Setelah ini dia ingin tidur.

Dengan santainya Ajeng membuka pintu kamar mandi, namun tubuhnya mematung seketika. Evan berdiri di ambang pintu masih mengenakan pakaian pengantin, ikut mematung.

Mereka saling pandang dengan mulut sedikit terbuka. Ajeng berani bersumpah kedua mata Evan sempat melirik dada dan pahanya.

"Kenapa masih ada di sini!" teriak Ajeng sambil membanting pintu kamar mandi.

Dia bersandar di pintu dengan jantung berdegup tak karuan. Ya Tuhan, dia hanya pernah telanjang di depan Dimas dulu. Sekarang, dia merasa seperti perempuan murahan karena hanya mengenakan handuk di depan suami sahabatnya sendiri.

Tunggu, dia kan sudah resmi menjadi istri Evan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status