Share

5. Khilaf

Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella.

"Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri.

Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam.

"Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho."

Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni.

"Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambil berbagai macam menu yang terlihat menggugah selera.

"Nyonya kan nyonya rumah di sini. Ya saya harus manggil nyonya. Setelah ini saya pulang. Kalau ada apa-apa, panggil saya ya. Nomor telepon saya ada di dekat kulkas," kata Bi Marni.

Ajeng mengangguk. Dia memberikan dua jempol pada wanita itu. "Masakannya enak banget, Bi. Nanti ajarin Ajeng ya."

"Siap, Nyonya. Saya permisi dulu."

Ajeng tersenyum melihat wanita itu. Sepertinya asyik diajak ngobrol.

Setelah selesai menyantap makan sore, Ajeng memasukkan sisa lauknya ke dalam kulkas untuk dihangatkan besok. Lumayan untuk sarapan.

Sisa harinya dihabiskan dengan menelpon ibunya, Ella, dan menerima telepon dari Sander, kakaknya. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tidak ada tanda-tanda dari Evan. Senyum Ajeng langsung mengembang.

"Kalau menikah modelnya begini sih, enak," gumamnya.

Ajeng memutuskan untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum tidur. Hari ini dia benar-benar menikmati waktunya sendirian. Tanpa bekerja, tanpa mendengar omelan Bu Martha, tanpa cibiran sinis dari karyawan lain karena statusnya sebagai janda tanpa anak.

"Kalau tahu begitu, aku lebih memilih untuk tidak pernah menikah," gumamnya sebelum terlelap.

Entah sudah berapa lama Ajeng mengarungi alam mimpi, tiba-tiba ada yang menyibak selimutnya. Keningnya mengernyit. Dia masih berada di alam mimpi, kan?

Sentuhan di pahanya membuatnya terlonjak kaget. Ia langsung membuka mata dan bertatapan dengan mata hazel milik Evan. Ajeng menelan ludah. Ia tahu arti dari tatapan itu. Dulu, Dimas selalu memberinya tatapan seperti itu setiap kali meminta jatah.

"Kenapa kamu memakai gaun pendek ketika tidur?" tanya Evan dengan suara serak.

Ajeng hampir saja menendang laki-laki itu dan menjerit minta tolong ketika bibirnya dibungkam dengan rakus, sampai ia baru sadar bahwa mereka baru saja menikah tadi siang. Dan tujuannya dipaksa menikah dengan Evan adalah untuk melayani pria itu.

"Evan..."

"Panggil aku Mas seperti kamu memanggil Dimas dulu," perintah Evan dengan sedikit marah.

Meskipun tidak mengerti kenapa Evan mendadak marah, Ajeng menurut saja. Apalagi ketika sentuhan Evan membuat otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Mas Evan!"

Ajeng tersentak ketika merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya bersama Dimas. Mereka saling pandang dengan nafas terengah-engah. Sepertinya laki-laki di atasnya itu juga merasakan hal yang sama. Wajahnya terlihat terkejut.

"Kamu..." Evan menggertakkan rahangnya dan alisnya mengernyit. Seperti menahan sesuatu.

Tapi lama-lama pria itu lepas kendali. Membawa Ajeng ke dunia lain yang baru kali ini dirasakannya. Ternyata dia berubah menjadi Ajeng yang lain. Entah apa yang dilakukan Evan padanya, yang jelas Ajeng menjadi sedikit liar dan ikut lepas kendali.

Entah sudah berapa lama mereka saling melepas rindu yang entah datangnya dari mana, yang jelas Ajeng kelelahan sekarang. Mungkin karena dia sudah lama tidak disentuh. Mungkin sisi lain dirinya yang sebenarnya begitu, Ajeng tidak tahu.

Euforia menyenangkan itu lama-lama menghilang, digantikan dengan rasa bersalah pada Ella. Bagaimana jika wanita itu tahu bahwa suaminya menyentuh Ajeng malam ini? Melampiaskan hasrat yang terpendam selama berbulan-bulan lamanya.

Tidak. Ella tidak perlu tahu mengenai hal ini. Evan memang pintar karena memberikannya rumah lain dan tidak mengajaknya tinggal serumah dengan Ella. Wanita mana yang tidak sakit hati melihat suaminya menyentuh wanita lain?

Meskipun Ella terlihat bahagia, hati wanita itu pasti berdarah-darah. Tidak ada perempuan yang mau dimadu.

"Terima kasih," bisik Evan sebelum mencium pundaknya.

Ajeng hanya diam saja. Pria itu memeluknya dari belakang, seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri yang saling mencintai.

Setetes air mata mengalir menuruni wajahnya hingga membasahi bantal. Beginikah rasanya menjadi wanita simpanan? Menjadi wanita pemuas nafsu? Pria hanya akan bersikap baik jika ada maunya saja. Jika nafsunya sudah dipuaskan, mereka akan kembali seperti semula.

Tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Ajeng menutup mata. Menahan rasa aneh ketika dipeluk oleh Evan. Pria yang tidak berani ia ajak bicara jika tidak ada Ella.

***

"Hari ini Ella meminta kamu untuk ke rumah."

Gerakan Ajeng menyisir rambutnya terhenti. Evan bahkan tidak bertanya kenapa dia berpakaian rapi pagi ini dengan pakaian kerja. Padahal seharusnya hari ini mereka masih dalam masa bulan madu.

Hah? Lagi-lagi Ajeng tidak sadar diri. Dia hanyalah istri kedua yang menikah karena paksaan dari sahabatnya yang gila.

"Buat apa? Aku mau langsung ke kantor," tolak Ajeng.

"Kamu berani menolak orang yang sudah menolong ayah kamu?" kata Evan dengan tatapan tajam.

Ajeng langsung melengos. Sudah dia duga sikap pria itu akan kembali seperti semula setelah hasratnya terpuaskan. Rasanya ia seperti perempuan bayaran. Ini bahkan lebih buruk daripada dihina mandul oleh mantan ibu mertuanya dulu.

"Jangan sampai Ella menolak untuk melakukan pengobatan lagi gara-gara kamu," kata Evan dingin.

"Seharusnya kamu nggak perlu kembali lagi ke rumah ini tadi malam. Fokus merawat Ella. Bukan malah bermalam di rumah wanita lain," sahutnya tak kalah dingin.

"Ingat, kamu aku nikahi karena apa. Atau kamu mau melunasi hutang kamu ke Ella?"

Ajeng menggertakkan rahangnya. Ada rasa benci yang sedikit demi sedikit muncul karena ulah Ella. Seandainya sahabatnya itu tidak egois dengan memaksanya menikah dengan Evan, ia tidak akan berada di posisi ini.

"Tidak perlu kamu ulangi pun aku tahu kamu menikahi aku karena apa. Toh kemarin malam kamu menggunakan waktu tidurku untuk kesenangan kamu," tukas Ajeng dengan tangan terkepal.

Evan langsung mengerjap, seperti baru sadar akan sesuatu. Bibir pria itu menipis sebelum berucap, "Aku tadi malam hanya sedang khilaf."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status