Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska
Ajeng menangis tersedu-sedu untuk melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya. Siska yang melihatnya sampai kelabakan dan akhirnya memeluknya."Kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa pegang kata-kataku ini," kata Siska sambil membelai rambutnya."Aku memang lebih pantas disebut pelacur, Sis.""Hush! Jangan bilang begitu! Kamu pasti punya alasan kenapa sampai melakukan itu," hardik Siska.Ajeng melepaskan pelukan wanita itu dan menatap Siska heran. "Kamu nggak benci sama aku?"Sekarang gantian Siska yang menatapnya heran. "Kenapa harus benci? Aku malah kasihan sama kamu.""Biasanya kan, sekretaris itu punya perasaan sama bosnya. Mungkin saja kamu diam-diam mencintai Mas Evan seperti Bu Martha," jawab Ajeng polos."Ck! Ngawur!" Siska menoyor kepala Ajeng dengan gemas. "Kebanyakan baca novel ini jelas. Aku di sini tuh murni kerja ya. Lagian aku udah punya tunangan. Gila aja aku malah selingkuh sama suami orang."Dalam hati, Ajeng bersyukur karena Siska
"Kamu kok bisa tahu kalau aku lagi di apartemen Siska?"Ajeng sangat malu sekali ketika Evan berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah berganti dan rapi. Ia ingat pakaian itu adalah salah satu pakaian yang disimpan di rumah yang diberikan pada Ajeng.Dengan santainya pria itu menyuruhnya untuk mandi dan memakai gaun yang masih berada di dalam paper bag dengan logo butik ternama. Siska bahkan tidak berhenti memekik ketika merias wajahnya atas perintah Evan."Gila, suami kamu kenapa vibes-nya kayak di novel-novel gitu sih, Jeng? Aku baru tahu sisi romantis dia. Setahuku dia nggak pernah seperhatian itu sama Bu Ella loh," pekik Siska heboh.Ajeng menghela nafas panjang. Heran kenapa Evan bahkan tidak perlu repot-repot menutupi status mereka di depan Siska."Ponsel kamu.""Apa?" Ajeng langsung memeriksa ponselnya dan tidak menemukan apapun. Maksudnya bagaimana?"Aku bisa melacak posisimu dari GPS di ponsel kamu."Mulut Ajeng menganga. Dia menatap Evan tak percaya. Kenapa harus sampa
Ajeng langsung berbalik dan menatap Nadia dengan sebelah alis terangkat. Menatap tak percaya pada gadis yang tahun kemarin baru lulus kuliah."Hubungannya aku menginap di sini sama janda apa ya? Kamu kok bisa lulus kuliah kalau nggak punya etika?" Mendadak Ajeng merasa dongkol dengan gadis centil yang kini bergelayut manja di lengan Evan.Entah kenapa dia merasa tidak rela. Matanya tanpa sadar memelototi tangan itu."Apaan sih? Lagian nggak malu ya nginep di rumah orang yang udah bersuami? Emang dasar janda gatel." Nadia menatapnya dengan wajah julid.Kedua tangan Ajeng terkepal. Pantas saja Ella selalu mengeluh tidak suka ketika Nadia menginap di rumah Evan. "Seharusnya kamu yang malu. Apa pantas seorang gadis memeluk suami sepupunya sendiri? Kamu itu haus belaian atau memang dasarnya udah gatel?" Ajeng semakin memelototi tangan kurang ajar itu, dan setelah itu memelototi Evan.Refleks laki-laki itu melepaskan belitan tangan Nadia dan bergegas masuk ke dalam rumah."Sayang, aku puny
Ajeng buru-buru pergi dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Dia bersembunyi di balik sofa ruang keluarga dengan cara merunduk. Menunggu Nadia menaiki tangga dengan secangkir kopi di tangan kanan dan senyum merekah.Setelah melepaskan alas kaki, Ajeng buru-buru mengikuti Nadia. Gadis itu sudah sampai di depan kamar Evan dan mengetuk pintu."Mas! Mas Evan, buka pintunya dong," panggil Nadia dengan suara manja.Ingin sekali Ajeng muntah melihat kelakuan gadis itu. Untung saja dia tidak melihat gadis itu setiap hari, karena Nadia bekerja di luar kota mengikuti ayahnya.Ketika Nadia mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya karena tidak kunjung dibuka, Ajeng mendekati gadis itu dan merebut cangkir kopi yang masih terasa panas."Makasih ya, udah bikinin aku kopi. Tahu aja kalau aku lagi butuh kopi." Ajeng langsung menjauh ketika Nadia memekik."Balikin nggak? Jangan lancang ya! Itu kopi buat Mas Evan!" jerit Nadia sambil berusaha menggapai kopi itu.Karena Ajeng jauh lebih tingg
Ajeng terus cemberut karena harus mandi di pagi buta. Bahkan langit saja masih gelap di luar sana."Mentang-mentang aku punya hutang milyaran, seenaknya saja nyuruh-nyuruh harus ini itu," gerutunya sambil menyisir rambutnya yang basah. "Ck, kepalaku pusing. Pagi-pagi masih dingin banget begini malah disuruh mandi."Bibirnya masih cemberut ketika Evan baru saja keluar dari kamar mandi. Beruntung pria itu tidak menyerangnya lagi seperti kemarin malam. Tubuhnya benar-benar kelelahan, dan sekarang perutnya kelaparan."Situ sih enak. Pas kepingin, langsung nyosor. Seenaknya saja. Nggak mau ngertiin, aku lagi capek atau nggak..."Gerutunya terhenti ketika tiba-tiba sebuah kalung dengan liontin berlian yang dikelilingi oleh ukiran seperti kelopak bunga mawar disodorkan di depan wajahnya. Matanya langsung fokus dan kegiatan menyisirnya langsung berhenti. Mulutnya menganga. Itu adalah perhiasan yang kemarin diinginkannya.Ia mendongak dan melihat Evan di cermin yang tersenyum miring, seolah-ol
Dahlia masuk ke dalam rumah putranya dan telinganya langsung mendengar tuduhan Nadia, sepupu Ella. Sejak Evan menikah dengan Ella, gadis itu selalu mencari perhatian putranya dan begitu genit. Dahlia tidak suka perempuan seperti itu.Berbeda sekali dengan Ajeng. Ada sesuatu yang membuat Dahlia setuju Evan menikahi wanita itu. Ajeng bukanlah wanita penggoda seperti Nadia. Bahkan ketika wanita itu berkunjung ke rumah Evan untuk menemui Ella, tidak pernah sama sekali dia melihat Ajeng berusaha mencari perhatian anaknya."Siapa yang ada main di belakang Ella?" tanyanya begitu mendekati meja makan yang sudah ada menu makanan favoritnya.Dahlia bisa melihat wajah antusias Nadia. Dia bahkan yakin gadis itu akan segera mengeluarkan racunnya untuk menjelekkan menantu keduanya."Perempuan itu, Tante. Dia kemarin malam masuk ke kamar Mas Evan. Benar-benar nggak tahu malu. Udah jadi janda aja masih gatel," kata Nadia dengan senyum sinis sambil melirik Ajeng.Betul, kan? Sudah dia duga gadis itu a
Ajeng mungkin hanya terlalu sensitif. Raka pasti tidak bermaksud untuk menyebutnya sebagai pemilik kantin yang menjadi satu dengan perusahaan, kan? Itu artinya, sama saja dengan Raka menyebutnya sebagai pemilik perusahaan juga."Eh, aku hanya bercanda. Kenapa dianggap serius?" kata Raka tak enak.Ajeng tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk sambil meminum es teh untuk meredakan batuk akibat tersedak. Pasti Raka tidak tahu mengenai statusnya sebagai istri kedua CEO Deca Group. Ya, Ajeng yakin itu. Hanya Siska yang tahu mengenai statusnya."Ajeng! Kok nggak nungguin aku, sih? Eh? Siapa nih?" Siska langsung menatap Raka dengan kening mengernyit, lalu menatap Ajeng dengan mata melotot."Dia supervisor baru di divisi aku. Namanya Raka," jawab Ajeng.Siska berkenalan dengan Raka, lalu duduk di sebelah Ajeng."Kamu karyawan baru?" tanya Siska.Raka mengangguk. Pria itu fokus melahap soto ayam di hadapannya. Siska langsung menyenggol lengan Ajeng dan memberi kode lewat mata."Kalau ketah