Share

7. Mantan yang Tak Diinginkan

Dari sekian banyaknya manusia yang hidup di kota ini, kenapa Ajeng harus bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini?

Ia menatap laki-laki yang dengan santainya duduk di sebelahnya itu dengan wajah tak suka. Mood-nya semakin memburuk. Setelah berburuk sangka pada Ella yang sengaja memasukkan udang ke dalam nasi goreng itu, kini ia harus bertemu dengan mantan suaminya.

"Kamu nungguin siapa? Bukannya kamu sendirian di kota ini?"

Ajeng sengaja mengabaikan pria itu. Hatinya masih terasa sakit. Bertahun-tahun mencintai Dimas secara ugal-ugalan, bahkan Ella mengatainya bodoh karena terlalu bucin, kini Ajeng sangat menyesal.

Seharusnya dulu dia tidak terlalu mencintai lelaki itu, apalagi sampai percaya sepenuhnya. Pria mana lagi yang bisa dipercaya sekarang? Bahkan Evan pun dengan mudahnya menuruti permintaan Ella untuk menikah lagi. Bukan tidak mungkin suatu saat Evan akan menikah lagi jika dia dan Ella pergi.

"Ajeng, aku tahu kamu masih sakit hati dengan keputusanku. Tapi aku masih mencintai kamu. Kalau saja kamu mau dimadu..."

"Kamu sadar nggak sih bicara begitu? Kamu pikir perempuan bisa dengan mudah menerima suaminya menikah lagi?" potong Ajeng dengan dada bergemuruh.

Dimas menatapnya intens. Hal yang dulu sangat disukai oleh Ajeng, tapi sekarang justru membuatnya muak. Dengan cepat ia melengos.

"Aku butuh keturunan, Jeng. Kamu divonis mandul. Apa salah kalau aku menikah lagi?"

Tangan Ajeng terkepal dengan erat. Mudah sekali laki-laki bicara mengenai poligami.

"Tapi kamu udah bawa perempuan lain sebelum kita bercerai, Dim. Itu artinya kamu selingkuh." Ajeng menggertakkan gerahamnya. Rasa sakit itu muncul lagi.

"Ajeng, aku bisa jelasin ke kamu. Aku baru kenal sama Ayu, dan ibuku bilang..."

"Ibumu menyuruh kamu untuk lebih mengenal dia dengan membawanya pergi berdua di belakangku, begitu? Sama saja itu dengan selingkuh, Dim." Air mata Ajeng menetes meskipun mati-matian ia menahannya. "Aku nggak menyangka bahwa kamu dengan mudahnya pergi dengan perempuan lain di saat status kita masih suami istri."

"Ajeng, aku benar-benar menyesal. Tolong maafkan aku." Dimas menggenggam tangan Ajeng, namun dengan cepat dia tarik.

Ternyata memang benar. Wanita yang diselingkuhi, akan sangat susah sembuhnya. Ajeng hanya merasakan amarah dan sakit hati ketika melihat Dimas setelah 6 bulan mereka bercerai.

"Lebih baik kamu pergi. Urusi saja istri kamu yang baru. Apa dia sudah hamil?" Ajeng menahan sakit ketika mengatakan hal itu. Dadanya terasa sesak.

Dimas hanya membuka luka yang masih basah.

"Maafkan aku, Jeng. Aku hanya ingin kamu tahu, aku masih sangat mencintai kamu. Seandainya kamu mau, aku mau kita rujuk."

Ajeng mendengkus sinis. Air matanya mengalir deras meskipun bibirnya tersenyum. Dimas benar-benar gila.

"Tolong pergilah, Dim. Jangan temui aku lagi. Tolong, mengertilah. Kehadiran kamu justru membuka luka lama yang bahkan masih basah. Posisikan diri kamu sebagai aku. Kamu pasti juga merasakan hal yang sama kalau aku selingkuh ketika kita masih menikah dulu."

"Apa? Maksud kamu apa? Kamu mau bilang..."

"Keluarga Tuan Evan Braun?"

Ajeng menghela nafas lega. Cepat-cepat ia menyeka wajahnya yang basah.

"Saya, Dok. Bagaimana kondisinya?" tanya Ajeng sambil mendekati dokter itu.

"Suami ibu sudah kami berikan obat. Sekarang sedang istirahat. Nanti bisa menebus obatnya di bagian farmasi. Setelah ini lebih berhati-hati lagi, ya. Ibu harus benar-benar mengawasi makanan suami ibu."

Ajeng menggigit bibir bawahnya ketika dokter itu menyebut Evan sebagai suaminya. Bodoh! Kenapa juga tadi bilang pada tim medis bahwa Evan adalah suaminya?

"Baik, dok. Terima kasih banyak," balas Ajeng dengan tubuh tegang. Punggungnya terasa panas, seperti ada sinar laser yang berusaha melubanginya.

"Setelah ini bisa dipindahkan ke ruang rawat. Begitu alerginya sembuh, sudah bisa dibawa pulang. Nanti perawat akan memberikan resep obatnya."

"Iya, dok."

Ajeng menelan ludah ketika dokter itu pergi. Ia tahu Dimas masih belum beranjak dari tempatnya.

"Jadi ini maksud kamu?" Dimas mendengkus sinis. "Kamu menikah dengan suami sahabatmu sendiri? Wow!"

Tidak menghiraukan ocehan yang tak penting itu, Ajeng buru-buru membuka pintu IGD dan hendak masuk ke dalam, tapi urung karena ternyata petugas medis sedang memindahkan brankar yang ditempati oleh Evan.

"Atau jangan-jangan, kamu selama ini selingkuh dengan Evan di belakangku?"

"Bisa diam nggak? Kamu nggak tahu apa-apa, jadi nggak usah ngelantur!" balas Ajeng tajam.

Beberapa saat kemudian, Evan dibawa keluar dari IGD menuju ke ruang rawat biasa. Ajeng refleks mengikuti mereka.

"Kalau kamu menjadi istri simpanan Evan, memangnya untuk apa? Kamu kan mandul. Atau jangan-jangan, kamu cuma menjadi pemuas nafsunya aja? Orang bule biasanya nafsunya gede."

PLAK!

Dada Ajeng naik turun saking emosinya. Banyak orang yang menoleh ke arah mereka, tapi dia tidak peduli.

"Ternyata begini ya, sifat asli kamu." Ajeng menunjuk wajah Dimas dengan geram. Ingin sekali ia mencekik pria itu sampai kehabisan nafas.

Luka akibat diselingkuhi dan dicerai belumlah sembuh, mantan suaminya itu ternyata begitu brengsek dengan berbuat ulah. Pantas saja ibu Ajeng tidak pernah suka dengan Dimas. Sander bahkan selalu melengos ketika melihat Dimas dulu.

"Kenapa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ternyata Ayu jauh lebih baik dari kamu," kata Dimas dengan wajah menyebalkan sambil menyentuh bekas tamparan Ajeng di pipi kirinya.

"Jangan terlalu percaya diri. Bisa jadi kamu termakan omonganmu sendiri suatu saat nanti. Dan ketika saat itu tiba, aku akan menjadi orang yang tertawa paling keras melihatmu menikmati karmamu itu."

Tidak mau terkena darah tinggi dan menjadi pusat perhatian, Ajeng bergegas meninggalkan pria itu. Ia benar-benar menyesal pernah membuang-buang waktu hidupnya hanya untuk lelaki bajingan seperti Dimas.

Langkahnya sedikit bimbang ketika sadar bahwa ia tidak tahu dimana letak ruang rawat Evan. Bodoh sekali. Seharusnya tidak perlu meladeni Dimas. Ternyata pria itu memang sama saja dengan ibunya. Julid dan nyinyir.

Mendadak ia merasa malu pernah menjadi istri laki-laki itu.

"Eh, mbak. Ruangan suami saya di mana ya? Yang tadi dirawat di IGD karena alergi," tanya Ajeng ketika seorang perawat keluar dari salah satu ruangan.

"Lah, ini baru saja saya dari ruangan itu karena terlalu lama menunggu mbak. Kok nggak dateng-dateng? Ini resep obat yang harus ditebus di bagian farmasi. Sekalian mengurus administrasinya ya."

Ajeng mengangguk sambil menerima selembar kertas dengan tulisan tangan yang susah untuk dimengerti. "Makasih, mbak."

Ia masuk ke dalam ruangan dan mendapati Evan tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak dingin, tidak juga hangat.

"Kamu tadi berantem sama mantan suami kamu? Bicara apa sampai kamu nampar dia?"

Tubuh Ajeng mematung dengan mata membelalak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status