Share

8. Telepon dari Sekretaris

"Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi.

"Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan.

"Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal.

Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata.

Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi.

Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu.

Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak akan bisa merasakan kehadiran bayi di dalam perutnya.

Selama mengurus administrasi dan menunggu obat di bagian farmasi, Ajeng hanya melamun. Perkataan Dimas mau tidak mau mengganggu pikirannya. Ditambah dengan perkataan Ella.

Dia mandul. Siapa yang mau menikah dengannya kecuali Evan? Itupun karena dipaksa oleh Ella. Kalau dipikir-pikir lagi, perkataan Dimas ada benarnya juga. Ia menjadi istri simpanan Evan tentu hanya menjadi pemuas nafsunya saja. Memangnya untuk apalagi?

Sekarang dia bisa apa? Mau kabur seperti di novel-novel pun tidak bisa. Hutangnya pada Ella entah sampai kapan bisa dia tebus dengan pernikahan rahasia ini.

"Tuan Evan Braun!"

Ajeng mengerjap dan sedikit tersentak karena kaget. Cepat-cepat ia mengambil obat itu dan mengangguk-angguk ketika petugas menjelaskan tentang aturan pakai obat itu.

Setelah selesai, ia kembali ke ruangan Evan. Pria itu masih terlelap. Mungkin karena pengaruh obat. Seorang perawat masuk dengan membawa baskom dan lap kecil.

"Buat apa itu, Mbak?" tanya Ajeng penasaran.

"Untuk mengompres wajah pasien agar cepat kempes bengkaknya."

"Biar saya saja, mbak." Ajeng mengambil alih baskom itu dan memasukkan lapnya ke dalam air hangat.

"Setelah pasien bangun, nanti makan siang dan minum obat lagi. Jika sudah sembuh, bisa langsung pulang," kata perawat itu sebelum pergi.

Ajeng mengangguk. Ia menempelkan lap yang sudah diperas sebelumnya di dahi dan kedua pipi Evan secara bergantian. Kasihan sekali pria itu. Alerginya terhadap udang tidak main-main. Bisa langsung sesak nafas dan wajahnya bengkak. Bukan lagi gatal-gatal.

Ia merawat Evan dengan telaten. Hitung-hitung sebagai upaya untuk membayar hutangnya pada Ella. Berbicara mengenai Ella, kenapa sahabatnya bisa begitu ceroboh? Sudah tahu Evan alergi udang, tapi pembantu di rumah mereka malah memasak nasi goreng udang.

Tunggu, udang adalah kesukaan Tante Puspa. Pantas saja pembantu Evan memasak nasi goreng udang. Tapi meskipun begitu, mereka seharusnya memisahkan nasi goreng tanpa campuran udang khusus untuk Evan.

Tiba-tiba ia teringat dengan seporsi nasi goreng yang sudah siap di depan Ella. Bukankah Ella bilang bahwa wanita itu tidak lagi bisa berdiri untuk mengambilkan Evan nasi goreng?

Kesadaran menghantamnya. Apa jangan-jangan, nasi goreng yang dimakan Ella seharusnya adalah untuk Evan? Tapi kenapa Ella malah memakannya? Kenapa Ella melakukan itu?

Pikiran-pikiran buruk mulai merasuki pikiran Ajeng. Dia benci berburuk sangka pada sahabat yang sudah menolongnya, tapi semakin lama Ella semakin aneh.

Apakah Ella sengaja? Termasuk Evan yang tiba-tiba datang ke rumahnya, apakah itu atas perintah Ella? Kenapa?

Tengah asyik melamun sambil terus mengompres wajah Evan, dering ponsel mengagetkan Ajeng. Kepalanya menoleh kesana-kemari mencari sumber suara. Sampai ia sadar bahwa suara itu berasal dari saku celana Evan bagian depan.

Duh, kenapa di bagian itu? Matanya bahkan begitu lancang melirik gundukan yang ada di tengah-tengah...

"Apaan sih, Jeng?" bisiknya kesal, namun wajahnya memerah.

Terpaksa ia harus merogoh saku celana Evan karena dari tadi deringnya tidak kunjung berhenti. Lagi pula mereka sudah suami istri. Pasti Evan juga tidak akan marah.

Dering telepon berhenti. Ia melirik Evan yang masih terlihat tenang. Sama sekali tidak merasa terusik dengan suara deringnya yang keras dan juga... tangannya yang masuk ke dalam saku celana itu.

Mendadak wajahnya terasa panas. Kenapa ia menjadi terus mengingat malam sialan itu? Dadanya mendadak berdebar. Sialan! Itu bukan pertama kalinya dia berhubungan suami istri.

Ponsel Evan kembali berdering. Menampilkan nama Siska, sekretaris pria itu. Refleks ia menggeser simbol hijau karena kebiasaan, sampai ia baru sadar bahwa itu bukanlah ponsel miliknya.

Matanya membelalak panik. Bodoh sekali kamu, Jeng!

[Halo? Halo, Mr?]

"Ya?"

Hening cukup lama. Bahkan terlalu lama. Ajeng memejamkan mata. Bagaimana kalau wanita itu mengenali suaranya? Mampus lah dia.

[Ini, Ibu Ella?]

"Eh, bukan. Itu...aku...aku sepupunya Mas Evan," jawab Ajeng dengan jantung berdegup kencang.

[Oh. Mr Evan di mana ya? Ada hal penting yang harus aku sampaikan.]

"Eh, itu...Mas Evan lagi di rumah sakit. Alerginya kambuh. Ada pesan? Nanti pasti aku sampaikan kok."

Hening lagi. Entah kenapa Ajeng takut jika Siska mengenali suaranya. Masalahnya, mereka pernah beberapa kali mengobrol ketika berada dalam satu lift.

[Ehm...bilang pada Mr. Evan kalau jam 2 siang nanti ada meeting dengan klien dari luar negeri. Aku tunggu kabarnya secepatnya ya.]

"Oke, Sis. Nanti aku sampaikan ke Mas Evan."

Hening lagi.

[Kok suara kamu kayak nggak asing ya? Kamu...kerja di PT Deca Indonesia?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status