Share

2. Menolak Pengobatan

Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat.

"Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng.

Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja.

"Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella.

Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya.

Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin.

"Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tuntut Evan.

Ajeng meringis mendengar nada suara Evan yang begitu dingin. Jika sudah begitu, itu artinya Evan sudah sangat murka.

"Aku baik-baik saja kok. Hanya terkena flu biasa," jawab Ella santai.

"Ella divonis terkena kanker darah," koreksi Ajeng.

Dua orang yang baru saja datang itu langsung menegang. Tante Dahlia menutup mulutnya, sedangkan Evan mengusap wajahnya kasar.

"Jadi bukan karena hamil, setiap hari kamu muntah parah dan selalu mengeluh pusing? Kamu selalu menolak ketika aku menyuruh kamu untuk periksa ke rumah sakit."

"Jangan melebih-lebihkan. Sini, aku mau ngomong." Bukannya menanggapi, Ella malah menggapai-gapai tangan Evan.

Meskipun terlihat marah, Evan tetap mendekati istrinya dengan tatapan lembut. Hal yang membuat Ajeng heran, karena Ella tidak memberikan tatapan yang sama. Wanita itu terlihat cuek.

"Aku minta kamu untuk menikahi Ajeng. Biar dia bisa mengurus kamu dan anak kita kelak."

Evan langsung marah.

"Kamu sudah gila! Aku sangat mencintai kamu. Bisa-bisanya kamu menyuruh aku untuk menikah lagi? Wanita lain memohon-mohon untuk tidak dimadu, tapi kamu malah sebaliknya."

"Dengerin aku dulu. Aku cuma mau Ajeng yang mengurusi kamu..."

"Aku bukan anak kecil! Aku bisa mengurusi diriku sendiri!" hardik Evan.

"Tapi aku sudah nggak bisa lagi melayani kamu di tempat tidur. Jadi Ajeng bisa..."

"Ella, sudah berhenti. Kamu mulai nggak waras. Evan, cepat pergi ke ruang administrasi. Kamu harus segera mengurus berkas-berkas Ella agar dia segera menjalani kemoterapi," potong Ajeng.

Ella langsung menggeleng dengan keras kepala. "Aku nggak mau dikemo sebelum kamu menikahi Ajeng."

"Ella Paramita! Kamu nggak boleh membantah suami. Kamu harus mau dikemoterapi secepatnya," titah Evan.

"Nggak sebelum kamu menikahi Ajeng. Apa kamu mau anak kita dalam bahaya?"

Evan hendak membantah lagi ketika pintu ruangan terbuka. Seorang dokter masuk diikuti oleh perawat.

"Maaf, pasien harus segera melakukan pengobatan sebelum penyakitnya semakin parah dan bisa berakibat pada janin yang dikandungnya," kata dokter itu.

Ella kembali menggeleng. "Aku nggak mau melakukan pengobatan apapun sebelum kamu menikahi Ajeng."

Evan mengerang frustrasi sambil mengacak-acak rambutnya. "Kamu kenapa sih keras kepala sekali? Kenapa aku harus menikahi Ajeng dulu baru kamu mau menjalani kemoterapi?"

"Anggap saja Ajeng sedang membayar hutangnya dengan melayani kamu dan merawat anak kita. Dia sudah nggak bisa lagi memiliki anak. Jadi, biarkan dia menjadi ibu bagi anak kita."

Perkataan Ella benar-benar menyakitinya. Sebenarnya apa motif Ella yang sebenarnya? Kenapa sahabatnya itu tetap ngotot agar suaminya menikah lagi? Tidak tahan lagi, dia melepaskan tangan Tante Dahlia dari tangannya dan keluar dari ruangan itu sambil menyeka air mata yang mengalir deras.

Sempat dilihatnya pandangan simpati dari perawat dan dokter itu, namun ia mengabaikannya. Rasanya ia benar-benar tersinggung sekaligus malu.

Suara panggilan Ella tidak diacuhkannya. Dia buru-buru menjauhi kamar rawat Ella dan berjalan cepat menuju ke gerbang rumah sakit.

"Mbak, mbak kenapa? Butuh bantuan?"

Ajeng bahkan tidak tahu siapa yang menanyainya. Dia menangis tersedu-sedu sambil berjongkok.

"Eh, gimana nih? Aduh, ada yang bisa menenangkan mbaknya nggak ini?" Suara panik seorang laki-laki terdengar di telinga Ajeng.

Bahunya ditepuk pelan.

"Mbak, mbak kenapa? Mau diantar pulang?" tawar seorang wanita seusia Ajeng.

Ajeng buru-buru mengusap kedua pipi dan matanya. Menatap kerumunan di depannya dengan malu.

"Maaf. Saya nggak apa-apa," ucapnya dengan wajah memerah.

"Itu ada mobil. Tolong antarkan mbak ini ke rumahnya. Kasihan kalau pulang sendiri," kata wanita itu.

Ajeng menurut saja ketika dituntun masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Pikirannya sedang linglung, jadi dia tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Kemana ini mbak?" tanya si sopir.

Ajeng menyebutkan alamat rumah kontrakannya. Sepanjang perjalanan, Ajeng hanya diam sambil menatap ke deretan bangunan di pinggir jalan. Teringat dengan perkataan menyakitkan Ella dan permintaan wanita itu.

Sekarang dia memiliki hutang sebesar 21 milyar pada Ella. Dia tidak bisa menolak karena situasinya benar-benar mendesak. Seandainya saja masih ada kesempatan, dia akan mengusahakan untuk mendapatkan uang itu tanpa harus terjebak dengan permintaan Ella yang terasa mencekik lehernya.

Kenapa masalahnya datang bertubi-tubi setelah bercerai dari Dimas? Apa memang nasibnya sesial itu?

"Mbak, rumahnya yang mana?"

Ajeng terkesiap dan langsung menoleh ke sekitarnya. Ternyata rumah kontrakannya sudah ada di depan sana.

"Turun di sini saja. Berapa mas?" tanyanya sambil membuka resleting slingbang miliknya.

"Gratis mbak."

Ajeng mendongak dan menaikkan alis. "Tapi mas..."

"Sudah, anggap saja saya sedang menolong."

"Terima kasih banyak ya, Mas," ucap Ajeng dengan bersungguh-sungguh.

Dia keluar dari mobil dan tersenyum pada pengemudi mobil itu sebelum berjalan melewati beberapa rumah agar bisa sampai ke rumah kontrakannya. Ia ingin menenangkan diri seharian ini tanpa gangguan dari siapapun.

***

"Ajeng, kamu dipanggil Mr. Evan." Bu Martha, manajer di divisi tempat Ajeng bekerja, menatapnya dengan sorot mata curiga. "Kamu kenapa bisa berurusan dengan Mr. Evan?"

Ajeng membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Dia melihat rekan-rekan kerjanya yang menatapnya penasaran. Tidak ada yang tahu mengenai hubungan Ajeng dan Evan serta istrinya di perusahaan ini.

"Eh, saya juga tidak tahu, Bu. Saya permisi dulu." Ajeng buru-buru kabur dari tatapan mata elang atasannya yang memang menyimpan perasaan pada Evan.

Ia menggigit bibir bawahnya dengan jantung berdebar kencang. Kenapa tiba-tiba Evan memanggil pegawai rendahan seperti dirinya? Padahal biasanya tidak pernah.

Ketika sudah sampai di depan ruangan Evan, sekretaris pria itu tersenyum dan mempersilahkan Ajeng untuk masuk.

Mendadak tangannya berkeringat dingin. Apa jangan-jangan tindakannya kabur kemarin menyakiti Ella dan Evan marah padanya? Ajeng memasuki ruangan Evan dengan ragu. Wajahnya terasa dingin ketika melihat Evan langsung menatapnya dengan wajah datar.

"Mari kita menikah secepatnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status