Share

MPMP 3 Sebuah Kesepakatan Dari Iblis

"Benar. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan menyesal menikahinya." Mengerjapkan matanya, Rhea kembali sadar jika dia baru saja berkata hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. “Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?”

Begitu pria itu membalas tatapannya, Rhea seketika tertegun. Tatapan dalam pria itu tampak tajam seolah menusuk ke dalam kepalanya. Kenapa dia tidak pernah melihat pria tampan dan panas seperti ini di negaranya?

“Tidak juga.”

Tatapan itu bertahan lama seperti ada magnet di antara mereka. Tidak ada antara Rhea dan pria asing itu yang ingin berpaling karena masing-masing dari mereka sedang mempelajari wajah di depannya.

Namun, sangat disayangkan. Sebelum Rhea bisa selesai mempelajarinya, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Melihat nama ibunya di sana, dia yang seketika mengingat maksud kedatangannya kemari segera mengangkat panggilan ibunya dengan khawatir. “Halo, Ma. Apa Papa sudah siuman?”

Keheningan merajalela membuat Rhea menjadi waspada.

“M-Ma?” Bahkan suaranya terdengar gemetar. Ketenangan yang ia kumpulkan sedari tadi mulai goyah. Rhea mengeratkan pegangannya pada ponselnya. “Papa baik-baik saja, kan, Ma?”

“Rhe … papamu ….” Terdengar isakan tangis di seberang telepon. “Dia sudah pergi.”

Tepat saat itu hujan pun mulai turun membuat pria itu memandangi langit cepat lalu kembali pada Rhea.

“Tidak, tidak mungkin.” Mata Rhea bergerak tidak fokus. Bohong. Tidak mungkin ayahnya telah tiada. Dia menjauhkan ponselnya dan bergerak ke jalan raya. Tidak peduli jika rambutnya dan bahunya mulai basah.

“T-taksi.” Dia harus mendapatkan taksi sekarang untuk melihat ayahnya langsung.

Sebelum dia bisa melangkah lebih dekat ke taksi, seseorang tiba-tiba memegang tangannya, menghentikan langkahnya.

Pria itu menatap wajah Rhea. Padahal sebelumnya wanita ini masih mencoba untuk tegar. Sekarang, wanita ini bahkan tidak sadar jika sedang menangis. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Rhea menggeleng. “R-rumah sakit. Aku harus ke rumah sakit.”

Tanpa bicara lagi, pria itu membawa Rhea menuju mobilnya.

Sambil mengendarai mobil, dia sesekali akan melihat ke sampingnya di mana Rhea tidak bergerak sama sekali dan melamun semenjak dia duduk.

Setibanya di ruang tempat ayahnya dirawat, Rhea segera masuk ke dalam. Dia melihat perawat sedang sibuk ke sana kemari kemudian menatap Ivanka yang menangis histeris yang ditenangkan dokter.

Rhea bergerak mendekati Ivanka sambil menatap wajah pucat ayahnya. “Ma ....”

Ivanka mendongak lalu memeluk anaknya. Tangisannya semakin menjadi. “Papamu … Rhe, papamu …. Ya Tuhan, kenapa ini menimpa kita?!”

Ini pertama kalinya Rhea merasakan tempatnya berpijak menjadi hancur. Dan dia bersama Ivanka yang memeluknya jatuh terduduk lemas di lantai.

***

“Ini.”

Di dalam ruang tempat ayahnya dirawat sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain dia. Ayahnya sudah dibawa dengan ditemani Ivanka.

Rhea yang masih duduk di lantai tanpa bergerak tidak melakukan apa pun selain menatap tempat tidur ayahnya dengan tatapan kosong, mulai melirik handuk putih yang diulurkan pria itu.

“Aku membelinya di bawah. Keringkan rambut dan pakaianmu dengan ini.”

Rhea tidak sadar jika tubuhnya basah dan kedinginan. Rhea mengerjapkan matanya cepat berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi.

Dia menurunkan kepalanya sedikit dengan lemah lalu berkata, “Terima kasih dan maaf sebelumnya sudah merepotkan Anda. Saya baik-baik saja sekarang. Mohon untuk meninggalkan nomor Anda agar saya bisa menghubungi Anda dan membalas kebaikan Anda malam ini.”

“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk membalas kebaikanku?”

“Saya dan ibu saya akan mentraktir—”

“Aku bisa membayar makananku sendiri.”

“… Lalu apa yang Anda inginkan sebagai balasannya?”

“Anak.”

Rhea berpikir jika dia salah dengar.

Lalu detik selanjutnya pria itu mengulangi ucapannya dengan sangat jelas, “Beri aku anak.”

Rhea seketika mendongak untuk melihat apakah pria ini sedang bergurau atau apa. “… Maaf, tapi candaan seperti itu tidak cocok di situasi seperti ini.”

“Aku tidak bercanda."

Kali ini Rhea terdiam. Pria ini … serius?! Mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu kurang dari 2 jam. Mereka tidak mengenal satu sama lain. Rhea bahkan tidak tahu namanya. Dan di hari dukanya, pria ini meminta anak?!

“Bukankah sebelumnya kamu bilang ingin balas dendam kepada mereka?”

Rhea mengalihkan wajahnya. “Saya hanya bicara asal karena marah.”

“Tidak. Kamu tidak emosi saat di sana.”

“Maaf. Tapi bagi saya topik anak benar-benar terdengar seperti lelucon. Apa Anda bisa meninggalkan saya sendiri? Dan tolong, anggap kita tidak bertemu dan tidak ada yang terjadi malam ini. Saya tidak bisa berpikir dengan baik sekarang karena pikiran saya kosong … begitu juga hati saya.”

Dalam satu malam yang singkat, hatinya yang selalu penuh dengan kehangatan tiba-tiba kosong. Dan tempat yang kosong itu kini diisi dengan kegelapan. Rhea tidak tahu apakah besok dia bisa menjalani kehidupan seperti biasanya atau tidak.

Pria itu tidak pergi. Tidak marah. Tidak juga menunjukkan ketidaksabaran. Dia masih berdiri di depan Rhea dengan tenang. “Kekasih dan sahabatmu mengkhianatimu. Ayahmu telah tiada. Kamu tidak punya apa pun sekarang selain ibumu. Semuanya terlihat jelas di matamu bahwa kamu putus asa. Kamu berada di titik terburukmu.”

Rhea tidak mengelak karena itu benar adanya.

“Bagaimana jika aku memberi sebuah tawaran yang saling menguntungkan?”

Penawaran … menguntungkan? batin Rhea.

“Aku akan mengakuisisi perusahaan ayahmu. Aku akan meminjamkan kekuasaanku kepadamu untuk membalas mantan kekasih dan sahabatmu. Aku akan memberikan uang sebanyak yang kamu mau dan perlindungan selama kamu menyetujui tawaran ini. Dan balasan yang harus kamu berikan hanya satu itu.”

Rhea menatap pria yang berdiri di depannya. Sinar rembulan masuk dari jendela kamar rawat VIP tersebut. Dan pria itu berdiri di belakang bulan membuatnya tampak mengeluarkan aura gelap yang mengelilingi dirinya sendiri. Di saat dia mengatakan tawarannya, entah kenapa Rhea tergelitik menginginkannya.

“Tapi aku tidak mengenalmu.”

“Percayalah, aku orang yang bisa menjatuhkan orang yang mengkhianatimu.” Pria itu berbicara dengan penuh percaya diri dan dominan.

“… Apa kau seorang Iblis?”

Pria itu tidak tersenyum atau apa pun. Menyebabkan wajahnya tampak misterius. “Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa pun, you poor thing.”

“Apa kau bisa berjanji untuk keuntungan egoisku?” Rhea bertanya sekali lagi agar segalanya lebih jelas. Agar dia tidak akan menyesal dengan pilihannya ke depannya.

Tatapan pria asing itu semakin dalam dan lebih samar, sulit untuk mengetahui apa yang dipikirkannya. “Ya. Kau bisa menggunakanku dengan syarat, beri aku anak.”

Pria itu mengulurkan tangannya dan Rhea menatap tangan besar itu untuk waktu yang cukup lama.

Bukankah tangan itu seperti sebuah ajakan yang tidak bisa ditolak? Seperti ada bisikan iblis di telinga membuat dia akhirnya menerima uluran tangan itu dan berdiri.

Dan pria itu pun berkata dengan suara dalam, “I guess we have a deal. Namaku Maven, omong-omong. Maven Williams.”

Rhea mengerjap menatap mata gelap Maven. Dia merasa tidak asing dengan nama itu. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.

Karena Rhea tidak mengambil handuknya, Maven sendiri yang mengeringkan rambut Rhea. “Sebagai awal kesepakatan kita, aku ingin kamu mengobati tanganmu.”

Ah tangan ….

Rhea melihat kedua telapak tangannya yang luka. Baru sekarang dia menyadari kedua telapak tangannya terasa perih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status