"Benar. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan menyesal menikahinya." Mengerjapkan matanya, Rhea kembali sadar jika dia baru saja berkata hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. “Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?”
Begitu pria itu membalas tatapannya, Rhea seketika tertegun. Tatapan dalam pria itu tampak tajam seolah menusuk ke dalam kepalanya. Kenapa dia tidak pernah melihat pria tampan dan panas seperti ini di negaranya?“Tidak juga.”Tatapan itu bertahan lama seperti ada magnet di antara mereka. Tidak ada antara Rhea dan pria asing itu yang ingin berpaling karena masing-masing dari mereka sedang mempelajari wajah di depannya.Namun, sangat disayangkan. Sebelum Rhea bisa selesai mempelajarinya, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Melihat nama ibunya di sana, dia yang seketika mengingat maksud kedatangannya kemari segera mengangkat panggilan ibunya dengan khawatir. “Halo, Ma. Apa Papa sudah siuman?”Keheningan merajalela membuat Rhea menjadi waspada.“M-Ma?” Bahkan suaranya terdengar gemetar. Ketenangan yang ia kumpulkan sedari tadi mulai goyah. Rhea mengeratkan pegangannya pada ponselnya. “Papa baik-baik saja, kan, Ma?”“Rhe … papamu ….” Terdengar isakan tangis di seberang telepon. “Dia sudah pergi.”Tepat saat itu hujan pun mulai turun membuat pria itu memandangi langit cepat lalu kembali pada Rhea.“Tidak, tidak mungkin.” Mata Rhea bergerak tidak fokus. Bohong. Tidak mungkin ayahnya telah tiada. Dia menjauhkan ponselnya dan bergerak ke jalan raya. Tidak peduli jika rambutnya dan bahunya mulai basah.“T-taksi.” Dia harus mendapatkan taksi sekarang untuk melihat ayahnya langsung.Sebelum dia bisa melangkah lebih dekat ke taksi, seseorang tiba-tiba memegang tangannya, menghentikan langkahnya.Pria itu menatap wajah Rhea. Padahal sebelumnya wanita ini masih mencoba untuk tegar. Sekarang, wanita ini bahkan tidak sadar jika sedang menangis. “Aku akan mengantarmu pulang.”Rhea menggeleng. “R-rumah sakit. Aku harus ke rumah sakit.”Tanpa bicara lagi, pria itu membawa Rhea menuju mobilnya.Sambil mengendarai mobil, dia sesekali akan melihat ke sampingnya di mana Rhea tidak bergerak sama sekali dan melamun semenjak dia duduk.Setibanya di ruang tempat ayahnya dirawat, Rhea segera masuk ke dalam. Dia melihat perawat sedang sibuk ke sana kemari kemudian menatap Ivanka yang menangis histeris yang ditenangkan dokter.Rhea bergerak mendekati Ivanka sambil menatap wajah pucat ayahnya. “Ma ....”Ivanka mendongak lalu memeluk anaknya. Tangisannya semakin menjadi. “Papamu … Rhe, papamu …. Ya Tuhan, kenapa ini menimpa kita?!”Ini pertama kalinya Rhea merasakan tempatnya berpijak menjadi hancur. Dan dia bersama Ivanka yang memeluknya jatuh terduduk lemas di lantai.***“Ini.”Di dalam ruang tempat ayahnya dirawat sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain dia. Ayahnya sudah dibawa dengan ditemani Ivanka.Rhea yang masih duduk di lantai tanpa bergerak tidak melakukan apa pun selain menatap tempat tidur ayahnya dengan tatapan kosong, mulai melirik handuk putih yang diulurkan pria itu.“Aku membelinya di bawah. Keringkan rambut dan pakaianmu dengan ini.”Rhea tidak sadar jika tubuhnya basah dan kedinginan. Rhea mengerjapkan matanya cepat berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi.Dia menurunkan kepalanya sedikit dengan lemah lalu berkata, “Terima kasih dan maaf sebelumnya sudah merepotkan Anda. Saya baik-baik saja sekarang. Mohon untuk meninggalkan nomor Anda agar saya bisa menghubungi Anda dan membalas kebaikan Anda malam ini.”“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk membalas kebaikanku?”“Saya dan ibu saya akan mentraktir—”“Aku bisa membayar makananku sendiri.”“… Lalu apa yang Anda inginkan sebagai balasannya?”“Anak.”Rhea berpikir jika dia salah dengar.Lalu detik selanjutnya pria itu mengulangi ucapannya dengan sangat jelas, “Beri aku anak.”Rhea seketika mendongak untuk melihat apakah pria ini sedang bergurau atau apa. “… Maaf, tapi candaan seperti itu tidak cocok di situasi seperti ini.”“Aku tidak bercanda."Kali ini Rhea terdiam. Pria ini … serius?! Mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu kurang dari 2 jam. Mereka tidak mengenal satu sama lain. Rhea bahkan tidak tahu namanya. Dan di hari dukanya, pria ini meminta anak?!“Bukankah sebelumnya kamu bilang ingin balas dendam kepada mereka?”Rhea mengalihkan wajahnya. “Saya hanya bicara asal karena marah.”“Tidak. Kamu tidak emosi saat di sana.”“Maaf. Tapi bagi saya topik anak benar-benar terdengar seperti lelucon. Apa Anda bisa meninggalkan saya sendiri? Dan tolong, anggap kita tidak bertemu dan tidak ada yang terjadi malam ini. Saya tidak bisa berpikir dengan baik sekarang karena pikiran saya kosong … begitu juga hati saya.”Dalam satu malam yang singkat, hatinya yang selalu penuh dengan kehangatan tiba-tiba kosong. Dan tempat yang kosong itu kini diisi dengan kegelapan. Rhea tidak tahu apakah besok dia bisa menjalani kehidupan seperti biasanya atau tidak.Pria itu tidak pergi. Tidak marah. Tidak juga menunjukkan ketidaksabaran. Dia masih berdiri di depan Rhea dengan tenang. “Kekasih dan sahabatmu mengkhianatimu. Ayahmu telah tiada. Kamu tidak punya apa pun sekarang selain ibumu. Semuanya terlihat jelas di matamu bahwa kamu putus asa. Kamu berada di titik terburukmu.”Rhea tidak mengelak karena itu benar adanya.“Bagaimana jika aku memberi sebuah tawaran yang saling menguntungkan?”Penawaran … menguntungkan? batin Rhea.“Aku akan mengakuisisi perusahaan ayahmu. Aku akan meminjamkan kekuasaanku kepadamu untuk membalas mantan kekasih dan sahabatmu. Aku akan memberikan uang sebanyak yang kamu mau dan perlindungan selama kamu menyetujui tawaran ini. Dan balasan yang harus kamu berikan hanya satu itu.”Rhea menatap pria yang berdiri di depannya. Sinar rembulan masuk dari jendela kamar rawat VIP tersebut. Dan pria itu berdiri di belakang bulan membuatnya tampak mengeluarkan aura gelap yang mengelilingi dirinya sendiri. Di saat dia mengatakan tawarannya, entah kenapa Rhea tergelitik menginginkannya.“Tapi aku tidak mengenalmu.”“Percayalah, aku orang yang bisa menjatuhkan orang yang mengkhianatimu.” Pria itu berbicara dengan penuh percaya diri dan dominan.“… Apa kau seorang Iblis?”Pria itu tidak tersenyum atau apa pun. Menyebabkan wajahnya tampak misterius. “Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa pun, you poor thing.”“Apa kau bisa berjanji untuk keuntungan egoisku?” Rhea bertanya sekali lagi agar segalanya lebih jelas. Agar dia tidak akan menyesal dengan pilihannya ke depannya.Tatapan pria asing itu semakin dalam dan lebih samar, sulit untuk mengetahui apa yang dipikirkannya. “Ya. Kau bisa menggunakanku dengan syarat, beri aku anak.”Pria itu mengulurkan tangannya dan Rhea menatap tangan besar itu untuk waktu yang cukup lama.Bukankah tangan itu seperti sebuah ajakan yang tidak bisa ditolak? Seperti ada bisikan iblis di telinga membuat dia akhirnya menerima uluran tangan itu dan berdiri.Dan pria itu pun berkata dengan suara dalam, “I guess we have a deal. Namaku Maven, omong-omong. Maven Williams.”Rhea mengerjap menatap mata gelap Maven. Dia merasa tidak asing dengan nama itu. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.Karena Rhea tidak mengambil handuknya, Maven sendiri yang mengeringkan rambut Rhea. “Sebagai awal kesepakatan kita, aku ingin kamu mengobati tanganmu.”Ah tangan ….Rhea melihat kedua telapak tangannya yang luka. Baru sekarang dia menyadari kedua telapak tangannya terasa perih.Prosesi pemakaman pagi itu berjalan khidmat dan lancar dengan diiringi rintik-rintik hujan. Kolega ayahnya, teman ibunya, bahkan beberapa rekan kerja dan teman kuliah Rhea menghadiri pemakaman tersebut. Semua orang yang menghadiri pemakaman mulai pergi secara bertahap menyisakan Ivanka, Rhea, dan 1 tamu mereka. Bahkan paman Rhea, adik kandung ayahnya sudah pergi bersama istri dan anak-anaknya. Ivanka menoleh ke belakang di mana seorang pria asing sedang sibuk berbicara dengan sopirnya di samping sebuah mobil. Tadi malam dia dibuat kaget dengan Rhea karena bukannya membawa Enzo, anaknya malah membawa pria yang tidak dia kenal ke rumah sakit. Dan sekarang pria itu juga datang ke pemakaman hari ini. Dia kemudian menatap anaknya yang duduk di depan makam ayahnya. “Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi Mama ingin kamu menjawab 2 pertanyaan Mama. Di mana Enzo? Andini juga tidak—” “Ma,” potong Rhea pelan membuat Ivanka berhenti bicara. “siapa itu Enzo dan Andini?” “…Rhe.” “Apa mereka k
“Jadi kau punya pacar? Dan dia hamil? Kenapa aku tidak tahu? Segeralah menikah.” “Aku bilang anak, bukan pacar.” Tony menatapnya dalam diam dan seperti biasa Maven tidak terusik sama sekali. Dia dengan santai mengelap mulutnya lalu berdiri. Dia menunduk pada kakeknya lalu berkata, “Hati-hati di jalan nanti, Kek. Aku akan menghubungimu setelah kamu tiba di rumah.” Maven berbalik dan mendekati pintu ruang privasi tersebut. Ketika dia memegang gagang pintu, suara kakeknya terdengar. “Jauhi skandal jika ingin mempertahankan posisimu di perusahaan.” Maven melirik ke samping. “Hanya itu yang bisa aku katakan sebagai kakekmu, bukan sebagai Komisaris.” Dan Maven pun keluar. Berjalan keluar dari restoran, Albar sudah berada di belakangnya dalam diam. Dia kemudian memberi perintah, “Cari beberapa wanita yang unggul yang belum menikah. Mau itu yang masih lajang atau bertunangan.” “Baik,” Albar menjawab seperti robot. Lalu tepatnya di malam itu, 5 hari kemudian Maven pergi ke unit Albar u
Sebelumnya, Rhea berkata dia akan memiliki suatu urusan dengan pria yang baru beberapa kali Ivanka lihat dalam kurang dari dua hari ini. Dan sekarang, begitu Rhea kembali bersama pria itu yang memperkenalkan dirinya Maven, Maven berujar, “Kami akan menikah.” “…?!” Syok dan terkejut, Ivanka tidak bisa mengatakan apapun. Maven mendeklarasikan sebuah pernikahan dengan santai dan tenang di hadapan ibu Rhea. Apa perlu Ivanka ingatkan dia baru saja bertemu dengannya? Belum lagi Enzo masihlah pacar Rhea. Bicara tentang Enzo, semenjak tadi malam Ivanka menghubungi Enzo namun pria itu tidak mengangkat satupun panggilannya. Ivanka ingin tertawa yah mungkin saja Maven sedang bergurau, tapi kedua orang di depannya sama sekali tidak tertawa. Dia bingung, masih kaget, dan kepalanya mulai terasa sakit. Alhasil, Ivanka menatap anak perempuannya menuntut penjelasan. Ketika Maven berujar sebelumnya, Rhea memejamkan matanya dengan mengerang dalam hati. Padahal di mobil sebelumnya Rhea sudah berkata u
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan akan menikah membuat Tony menatapnya dingin.Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan Rhea tahu Tony tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Pria tua ini memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena dia sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jan
“Anda sekarang dapat mencium pengantin wanita.” Rhea melirik ke atas tanpa mendongakkan kepalanya. Tanpa orang lain tahu, dia menggenggam tangannya dengan kuat. Ya, dia gugup. Rhea lupa tentang sesi ini. Dan mereka belum berlatih sebelumnya agar terlihat natural. Dia takut seseorang akan melihat kebohongan mereka. Di balik wajah tenang Rhea, Maven bisa melihat kegugupan yang terbaca di manik mata wanita itu. Dia menangkup wajah Rhea dan bertanya sangat pelan yang hanya bisa didengar mereka berdua saja, “Kamu juga belum pernah berciuman?” Dengan kerutan tidak senang di antara alisnya yang rapi, Rhea menjawab, “Tentu saja sudah.” Maven tersenyum tipis lalu berkata, “Kalau begitu izinkan aku.” Maven menundukkan kepalanya dan mendekati bibir Rhea. Dia mencoba yang terbaik yang dia bisa untuk tetap bergerak lembut agar Rhea bisa menikmati ciuman mereka. Dan nyatanya selang beberapa saat, dia bisa merasakan Rhea kembali santai. Itu ciuman yang menyenangkan. Lembut, tidak terburu-buru
Satu tangan berada di pinggang ramping Rhea, tangan lainnya menggenggam tangan kecil wanita itu. Dan Rhea membawa tangannya yang bebas ke bahu lebar Maven. Dengan lantunan musik yang lambat, mereka mulai bergerak perlahan. Maven menurunkan pandangannya ke bawah dan melihat Rhea yang tersenyum tipis dengan mata terpejam. Wanita ini menikmati dansa mereka. Dari yang Maven pelajari tentang Rhea, Rhea anak satu-satunya dari pasangan Roy dan Ivanka. Dia menjadi seorang kurator begitu menyelesaikan studinya di perguruan tinggi ternama. Dia anak yang populer di masa-masa sekolahnya dan berteman dengan siapapun tanpa pandang bulu. Masa depannya sangat cerah saat ayahnya masih menjalankan perusahaan finansial. Ayahnya Sosok yang patut dicontoh karena strateginya di tiap tahun selalu memberikan hal baru dan berkembang. Ketika Roy mulai sakit-sakitan, perusahaan itu dengan perlahan mulai kehilangan tumpuannya. Ya, kandidat paling kuat memang saudara Roy, Wisnu untuk mengganti posisinya. Tapi Ma
Tadi malam benar-benar hal yang luar biasa hebat. Maven tidak berbohong tentang staminanya. Setelah sesi pertama berakhir, tidak butuh waktu lama untuk Maven kembali bersemangat. Rhea bahkan belum selesai mengatur napasnya, atau paling tidak merapikan rambutnya yang berantakan di dahinya yang berkeringat. Pria itu sudah menariknya untuk duduk di pangkuannya dan kembali bergerak. Ketika Rhea kelelahan, dia hanya kembali membaringkan Rhea dan melanjutkan begitu saja. Yah, Rhea memang lelah, tapi dia sangat puas. Dia tidak tahu bercinta bisa terasa mengagumkan. Saking kagumnya, Rhea tidak menghitung berapa kali kegembiraannya datang. Dan sekarang Rhea merasakan sakit disekujur tubuh. Terima kasih untuk pria itu yang tidak mengerti kata ‘istirahat’. Biasanya, Rhea selalu bangun sangat awal. Namun pagi ini dia kesiangan. Tidak ada Maven, tidak ada Tony, tidak ada siapapun selain Gemma dan pelayan yang menyeduhkan teh untuk Gemma. Rhea hanya menyapa singkat Gemma sebelum pergi ke tempat k
“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.” “Bukankah dia tidak tahu malu?” “Tidak bisa dipercaya.” “Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya.” Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea. Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menghentakkan tangannya kasar hingga dia mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, Andini kemudian pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh. Apakah Rhea puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya. Setelah kepergian Andini, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kau baik-baik saja, Rhea?” “Kau pasti patah hati dan kecewa.” “Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang.” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan merek