Share

MPMP 2 Pria Asing

"Rhe, bisa kamu suruh Enzo kemari? Ada yang ingin Papa bicarakan dengannya tentang kalian."

Itu keinginan ayahnya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Lalu setelah melihat adegan sampah di depannya, apakah Rhea masih harus membawa Enzo ke hadapan ayahnya?

Kepalan Rhea semakin kuat karena mendengar suara isakan pelan yang menyakiti telinganya. Ingin sekali dia mencakar Andini atau melakukan kekerasan apa pun padanya untuk meluapkan emosinya.

Namun anehnya dia masih bisa mengontrol emosinya dan tidak ingin melakukannya karena ia tahu begitu dia bergerak selangkah saja, Enzo akan melindungi wanita sampah ini dan Rhea akan menjadi hiburan untuknya.

“Sebenarnya sudah lama aku ingin memutuskan hubungan kita hanya saja aku belum memiliki waktu yang baik untuk membicarakan hal itu denganmu. Aku kasihan pada Andini karena harus menyembunyikan hubungan kami beberapa bulan ini. Aku harap kamu tidak memarahinya biar bagaimanapun kalian itu bersahabat.”

Ah begitu ternyata …, batin Rhea. Enzo menyukainya hanya karena dia dari keluarga terpandang. Dan dia terpikat dengan Andini ketika mereka masih berpacaran.

Dengan wajah kesal, salah satu sudut bibir Rhea terangkat dan mendengus. Pasti selama ini mereka menertawakannya di belakang.

Apakah Rhea pernah menghubungi salah satu di antara mereka berdua ketika mereka sedang melakukan kegiatan memalukan ini? Memikirkan salah satu di antaranya mengangkat panggilan Rhea ketika bersetubuh membuat perut Rhea bergejolak ingin muntah.

Andini melihat Rhea berjongkok mengambil laptop yang sudah terbelah lalu menatapnya dengan dingin, dia dengan wajah pucat dan takut menatap Enzo. “E-Enzo.”

Enzo yang juga khawatir akan kondisi kekasih gelapnya yang lemah lembut membuatnya secara naluriah berdiri di depan Rhea, menghalangi Rhea untuk melihat Andini. “Rhea, apa yang ingin kamu lakukan?”

"Kau penasaran apa yang ingin aku lakukan?" tanya Rhea pelan. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap Enzo tanpa emosi. "Aku ingin membunuhmu."

Enzo segera memegang tangan Rhea dan berbisik cepat, “Ikut aku.”

Sebelum diseret Enzo, Rhea menatap Andini untuk yang terakhir kalinya. Dan Andini di sisi lain setelah ditinggal sendiri, dia berdecih pelan dengan kerutan tipis di dahinya.

Andini bergumam, “Jangankan menjadi gila, dia bahkan tidak emosi sama sekali.” Kenapa bisa ada wanita seperti itu?

Di lorong depan pintu unitnya barulah Enzo melepaskan tangan Rhea. Dia menghembuskan napas lelah. Dan dengan perasaan yang penuh percaya diri, dia berkata, “Aku tahu kamu masih mencintaiku dan tidak dapat hidup tanpaku. Kamu pun pasti terluka tapi aku bisa apa? Aku menyukai Andini begitu juga dia.”

Oh lihat. Betapa mengagumkannya Enzo! Pria ini bisa mengatakan itu dengan santai seolah sedang menayangkan berita hiburan. Setelah tertangkap basah dia sama sekali tidak menyesal. Dari awal ... dari saat dia memergokinya, saat dia menggunakan celananya, sampai dia berbicara seolah Rhea akan mengemis cinta padanya. Bagaimana bisa ada pria seperti ini di dunia?!

“Jadi aku mohon, jangan pernah mencariku lag—”

Bruk!

Tidak sabar, Rhea yang tanpa emosi memukul wajah Enzo yang tidak siap dengan layar laptop yang dia pegang.

“Ugh! Dammit!” Enzo mundur beberapa langkah sambil menyeimbangkan langkahnya. Dia menyentuh wajahnya yang sakit, terlebih lagi hidung dan bibirnya.

Dan Rhea berseru seraya menghembuskan napas puas, “Whoo!”

Well, tidak juga. Rhea masih belum puas sebenarnya walaupun suasana hatinya sedikit lebih baik. Banyak hal yang ingin ia lakukan pada Enzo sebelum dia beralih ke Andini. Rhea menatap Enzo. Melihat bahwa hidungnya hanya mengeluarkan sedikit darah, Rhea mendengus. Seharusnya dia memukulnya lebih keras. Setidaknya sampai hidungnya patah.

“Ah sial, hidungku. Hei, apa kau gila?!”

“Kau bertanya apa aku gila? Mau lihat kegilaanku yang sebenarnya? Lebarkan kakimu.”

“Apa?”

“Aku bilang lebarkan kakimu, Bedebah.” Rhea kembali mengangkat layar laptop dengan mata terfokus pada selangkangan Enzo namun Enzo yang memiliki firasat buruk dengan cepat merampasnya.

“Sial …,” Enzo kembali mengumpat setelah melempar layar laptop sejauh-jauhnya.

“Dengar, jangan pernah mencariku lagi. Aku sudah selesai denganmu,” ujar Rhea setelah melemparkan key card Enzo. Dia pun berbalik meninggalkan Enzo yang menggeram di belakangnya.

Keluar dari pintu utama apartemen, Rhea berhenti melangkah dan berdiri dalam diam.

“Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus? Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo sering membicarakan topik ini ketika mereka berpacaran. “Saat itu aku menyadari aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.”

Rhea mendenguskan tawa. “Keparat itu bicara omong kosong.”

Rhea menatap langit malam yang cerah. Bulan terlihat jelas dan bersinar terang. Bintang-bintang bertabur menghiasi langit. Tidak ada awan. Tidak ada tanda-tanda akan hujan.

Rhea tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Bahkan langit tidak ingin menangis untukku.”

“Kenapa harus?” suara seorang pria bertanya padanya di sampingnya.

Tanpa menoleh, Rhea menanggapi, “Aku baru saja ditipu keka— tidak, mantanku. Dia berselingkuh. Padahal hubungan kami sudah berjalan 6 tahun lamanya semenjak kami kuliah. Dan karena aku tidak akan menjadi sosialita lagi, dia mencampakkanku. Tapi … dari banyaknya perempuan di kota ini, kenapa harus dia? Kenapa harus sahabatku sendiri? Dia berkata aku gila, bukankah dia yang lebih gila? Dan sekarang aku menyesal karena tidak bisa menendang bolanya tadi.”

Pria itu menatapnya. “Apa kamu tidak sakit hati?”

“Yah, jujur saja iya. Aku sakit hati. Tapi, jika dibandingkan dengan kemarahanku yang sangat besar, sakit hati itu menjadi tidak berarti apa-apa.”

“Setelah dikhianati, kamu masih bisa mengendalikan dirimu. Itu bagus untukmu.”

“Aku harus tetap sadar. Jika amarah menguasaiku, aku akan menjadi badut di depan mereka.”

"Sampai melukai tanganmu sendiri?"

Ah benar. Tangannya mengepal lagi. Pasti banyak bekas luka berbentuk bulan sabit di telapak tangannya setelah ini. "Itu satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan kendali."

“Dan kamu akan membiarkan mereka begitu saja?”

Rhea menghirup napas dalam-dalam. “Aku pernah memiliki pemikiran bahwa mereka yang melakukan balas dendam itu sebenarnya orang yang lemah karena kalah di pertandingan awal. Dan hidup dengan bayangan di belakangnya hingga dendam teratasi. Bukankah itu menyedihkan? Seharusnya mereka merelakan saja apa yang sudah terjadi dan menatap ke depan. Tapi setelah aku merasakannya sendiri, aku tidak ingin melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Dikhianati itu rasanya menyakitkan, kau tahu? Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk balas dendam. Apa aku harus tidur dengan temannya seperti yang dia lakukan? Tapi itu sepertinya mustahil karena aku tidak akan bisa melakukan hal keji seperti itu ....”

Pria itu menatap Rhea yang menunduk sedih. “Tiap wanita akan menangis jika kekasihnya selingkuh. Tapi kamu tidak menangis.”

Rhea membasahi bibirnya. “Untuk apa menangisi dua kotoran itu? Lihatlah, langit bahkan memberiku dukungan. Dia tahu bahwa akan menghabiskan waktunya jika menurunkan hujan pada kondisi seperti ini. Dan karena itu aku juga tidak ingin menangis.”

Pria itu mengalihkan wajahnya dari Rhea dan ikut menatap langit malam. “Kamu benar. Langit sedang berada di sisimu. Dan untung saja kamu mengetahui sifat asli mereka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status