Share

Menjadi Pengantin Miliarder Posesif
Menjadi Pengantin Miliarder Posesif
Penulis: Riri Lidya

MPMP 1 Pengkhianatan

Seorang pria bersandar di jendela dengan salah satu tangannya berada di dalam saku celana sedangkan tangan lainnya menggoyangkan pelan gelas wiski. Tatapannya yang dalam dan tenang menatap ke langit di luat jendela unit apartemen tersebut.

"Sir."

Begitu sekretarisnya memanggilnya, dia pun menoleh dan menatap pria yang memegang tumpukan kertas. Dia berjalan menuju meja kopi sambil mendengarkan perkataan sekretarisnya, Albar.

“Ini daftar wanita yang lajang. Dan ini yang memiliki kekasih. Lalu ini yang sudah bertunangan.”

Mengambil satu tumpukan pertama, dia menghembuskan napas singkat. Karena perintah kakeknya, dia harus menambah jam kerjanya demi hal yang tidak berguna seperti ini.

Dan setelah memakan waktu 1 jam, dia akhirnya memilih 4 nama. Gabriella Maharani, Judith Sudono, Fransisca Jung, Eliza Varsellona. Empat nama yang berpotensial melahirkan seorang penerus untuknya.

“Buat janji temu dengan mereka satu per satu.” Setidaknya dia harus melihat langsung mereka untuk diseleksi sekali lagi.

“Baik. Saya akan mengambil sekitar 2 jam kosong Anda tiap pertemuannya.”

Ketika Albar menyusun kertas kandidat yang tidak dipilihnya untuk dihancurkan, dia tidak sengaja melihat sebuah foto pada lembar paling atas.

“Tunggu.”

Albar berhenti dan menoleh menunggu perintah selanjutnya.

“Itu juga.”

Albar melihat nama Rhea Pramidita di sana, salah satu kandidat yang sebenarnya sudah memiliki kekasih. Walaupun begitu, Albar tidak banyak bertanya dan segera mengangguk. "Baik, Pak."

***

Keluar dari taksi, seorang wanita berparas cantik namun dingin itu segera berlari kecil ke bangunan apartemen di depannya dan memasuki lift yang kosong. Wanita itu bernama Rhea Pramidita. Dia berusaha berdiri dengan tenang walau wajah cantiknya memiliki kerutan tipis di ruang antara alisnya yang rapi. Rhea membawa tangannya ke dadanya karena khawatir. Dia berharap kekasihnya tidak ikutan sakit seperti ayahnya yang berada di rumah sakit.

Selama di dalam taksi, dia berusaha menghubungi kekasihnya namun pria itu tidak mengangkatnya. Karena tidak ada jawaban tersebut, tentu saja dia menjadi gelisah padahal dia sangat membutuhkan Enzo sekarang.

Lift terbuka dan Rhea segera keluar, berjalan cepat di lorong yang sepi tersebut menuju pintu unit yang sudah tidak asing lagi. Dengan menggunakan key card yang diberikan Enzo kepadanya selama ini, dia membuka pintu tersebut dan melihat sepasang stiletto merah muda tergeletak di sana. Dia terdiam untuk beberapa waktu lamanya.

Bingung dan sedikit takut. Itu yang ia rasakan. Tangannya yang memegang gagang pintu dengan perlahan mulai kehilangan tenaganya membuat ia mencengkram pintu erat. Menghirup lalu menghembuskan napas dalam-dalam, Rhea berusaha untuk tenang dan mencoba berpikir positif.

Tidak ada yang terjadi.

Rhea melangkahkan kakinya ke dalam. Dan begitu dia menginjak lantai unit tersebut, dia merasa langkahnya terasa berat. Langkah demi langkah yang ia ambil menjadi semakin berat dan lebih berat karena dia tidak melihat tamu kekasihnya di manapun, begitupun kekasihnya.

Tanpa sadar kakinya menuntunnya menuju lorong kamar Enzo. Dari jauh dia mendengar suara jeritan nakal wanita yang samar keluar dari kamar Enzo yang tidak tertutup, membuatnya tertegun dan berhenti kembali. Suara itu terdengar familiar baginya. TIdak mungkin itu ….

Kedua tangan Rhea gemetar dan dia mengepalkan tangannya erat berusaha menghentikan rasa kalutnya.

Tidak ada yang terjadi. Tidak akan ada yang terjadi ….

Entah sudah berapa kali Rhea ucapkan di dalam hatinya hanya supaya pikirannya tetap dingin dan tenang. Dan semakin mendekati kamar, Rhea mengulangi kalimat itu terus-menerus secara berlebihan hingga dia mendengar jeritan menjijikkan

“Ah! Lebih cepat, Sayang!”

Dengan wajah mengeras, Rhea melangkahkan kembali kakinya, kali ini berjalan cepat mengikuti suara yang tidak asing itu.

Masuk ke dalam kamar, Rhea harus tertegun dan membeku. Di kamar yang beraroma menjijikkan itu, dia hanya bisa melihat kekasihnya bersenggama dengan seorang wanita tanpa bisa melakukan apapun. Rhea tidak bisa melihat wajah wanita itu selain rambut panjangnya. Siapa wanita berambut pirang yang dipeluk kekasihnya itu? Dari suaranya hingga rambutnya mengingatkan Rhea pada seseorang yang dia kenal. Saat wajah wanita itu akhirnya mendongak dan melihat wajah itu, sontak saja Rhea terkejut. Itu ... sahabatnya.

Dua orang yang ia kenal tidak mengenakan busana apapun dan saling memberi kepuasan tanpa menyadari jika seseorang telah masuk. Enzo, kekasih yang ia cintai dan ia pikir adalah seorang pria setia sedang menggagahi satu-satunya sahabat Rhea, Andini.

Terguncang dan tidak bisa melakukan apapun. Itu yang terjadi pada Rhea sekarang. Tubuhnya membeku seolah kakinya tertancap dengan paku di lantai, namun tidak sakit. Dadanya yang terasa sangat menyakitkan hingga menyesakkan. Dia bahkan tidak ingat jika tangannya masih mengepal sampai sekarang.

Tiba-tiba tatapannya dan Andini bertemu namun anehnya Andini tidak terkejut seperti yang dialami Rhea. Wanita itu malah tersenyum dan mencium Enzo dengan lapar. Apakah dia tidak melihat Rhea tadi? Apakah itu hanya perasaan Rhea saja?

Tapi kenapa Rhea merasa kesal?

Rhea mulai mendapatkan kendali penuh atas dirinya. Melirik ke samping, dia mengambil laptop milik Enzo di atas meja dan menjatuhkannya di lantai untuk menarik perhatian dua orang yang sedang bersenang-senang itu. Dan seperti yang dia duga, Enzo dan Andini terkejut. Mereka secara naluriah menoleh ke pintu. Begitu melihat Rhea, Andini langsung menjerit takut lalu berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.

“Rhea? Apa yang kamu lakukan di sini? Tunggu, apa itu MacBook-ku? Kenapa kamu menghancurkannya? Apa kamu tahu berapa banyak file penting di sana?”

Rhea menatap Enzo. Pria itu memunguti celananya di lantai dan memakainya dengan santai.

“Apa maksudnya ini?”

Enzo mengusap rambutnya dan menghela napas ringan. “Kamu sudah melihatnya. Dan membuat alasan akan sia-sia di sini.”

“Apa maksud semua ini?” Napas Rhea mulai berat ketika menekankan tiap kata.

“Apa aku perlu menjelaskannya lagi?” Enzo berdecak. “Kamu gadis pintar, Rhe. Kamu pasti paham apa yang kami la—”

“Aku bertanya kenapa harus dia?”

“Aku tahu mengenai kondisi papamu. Dia ada di rumah sakit, kan? Dan aku tebak kedatanganmu kemari untuk meminta pertolongan untuk papamu.”

Rhea mengernyit kaget. Dia tahu tapi tidak mengunjungi ayah Rhea? Betapa jahatnya dia!

“Perusahaannya akan diambil alih oleh pamanmu, iya kan? Jadi kenapa aku harus tetap bersamamu? Kamu pikir aku akan menikahi wanita dari keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi? Aku akan mengaku, aku dan Andini … ”

Penjelasan panjang lebar yang mengerikan dari Enzo hilang begitu saja dari indra pendengarannya. Dia terkejut untuk kesekian kalinya. Bisa-bisanya pria ini berbicara dengan begitu ringan seolah ucapannya tidak akan membuat Rhea sesak. Dia pikir hati Rhea terbuat dari besi? Mengetahui jati diri Enzo yang berbanding terbalik dari apa yang pria ini perlihatkan biasanya, rasanya sungguh menyakitkan.

Rhea beralih pada Andini. Dia menatap wanita yang sedang menatapnya dengan air mata berlinang.

Tunggu, kenapa kau menangis? Aku adalah korban yang sebenarnya. Dan kau yang melakukan kejahatan di sini. Jadi hentikan tangisan menjijikkanmu itu, Jalang Sialan.

Riri Lidya

Hola, it's me Riri! WARNING!!! • Cerita ini adalah romansa dewasa. • Mengandung konten dewasa dan bahasa kasar. • JANGAN COPY CERITA INI DAN JANGAN POSTING INI DI WEBSITE APAPUN. • Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, lokasi, dan kejadian adalah produk dari imajinasi penulis. Kemiripan apa pun dengan orang yang sebenarnya hidup atau mati, tempat, atau peristiwa sepenuhnya kebetulan. Follow ig-ku untuk info cerita-ceritaku lainnya: @ririlidya7 Semoga kalian suka, selamat membaca cintaku!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status