Seorang pria bersandar di jendela dengan salah satu tangannya berada di dalam saku celana sedangkan tangan lainnya menggoyangkan pelan gelas wiski. Tatapannya yang dalam dan tenang menatap ke langit di luat jendela unit apartemen tersebut.
"Sir."Begitu sekretarisnya memanggilnya, dia pun menoleh dan menatap pria yang memegang tumpukan kertas. Dia berjalan menuju meja kopi sambil mendengarkan perkataan sekretarisnya, Albar.“Ini daftar wanita yang lajang. Dan ini yang memiliki kekasih. Lalu ini yang sudah bertunangan.”Mengambil satu tumpukan pertama, dia menghembuskan napas singkat. Karena perintah kakeknya, dia harus menambah jam kerjanya demi hal yang tidak berguna seperti ini.Dan setelah memakan waktu 1 jam, dia akhirnya memilih 4 nama. Gabriella Maharani, Judith Sudono, Fransisca Jung, Eliza Varsellona. Empat nama yang berpotensial melahirkan seorang penerus untuknya.“Buat janji temu dengan mereka satu per satu.” Setidaknya dia harus melihat langsung mereka untuk diseleksi sekali lagi.“Baik. Saya akan mengambil sekitar 2 jam kosong Anda tiap pertemuannya.”Ketika Albar menyusun kertas kandidat yang tidak dipilihnya untuk dihancurkan, dia tidak sengaja melihat sebuah foto pada lembar paling atas.“Tunggu.”Albar berhenti dan menoleh menunggu perintah selanjutnya.“Itu juga.”Albar melihat nama Rhea Pramidita di sana, salah satu kandidat yang sebenarnya sudah memiliki kekasih. Walaupun begitu, Albar tidak banyak bertanya dan segera mengangguk. "Baik, Pak."***Keluar dari taksi, seorang wanita berparas cantik namun dingin itu segera berlari kecil ke bangunan apartemen di depannya dan memasuki lift yang kosong. Wanita itu bernama Rhea Pramidita. Dia berusaha berdiri dengan tenang walau wajah cantiknya memiliki kerutan tipis di ruang antara alisnya yang rapi. Rhea membawa tangannya ke dadanya karena khawatir. Dia berharap kekasihnya tidak ikutan sakit seperti ayahnya yang berada di rumah sakit.Selama di dalam taksi, dia berusaha menghubungi kekasihnya namun pria itu tidak mengangkatnya. Karena tidak ada jawaban tersebut, tentu saja dia menjadi gelisah padahal dia sangat membutuhkan Enzo sekarang.Lift terbuka dan Rhea segera keluar, berjalan cepat di lorong yang sepi tersebut menuju pintu unit yang sudah tidak asing lagi. Dengan menggunakan key card yang diberikan Enzo kepadanya selama ini, dia membuka pintu tersebut dan melihat sepasang stiletto merah muda tergeletak di sana. Dia terdiam untuk beberapa waktu lamanya.Bingung dan sedikit takut. Itu yang ia rasakan. Tangannya yang memegang gagang pintu dengan perlahan mulai kehilangan tenaganya membuat ia mencengkram pintu erat. Menghirup lalu menghembuskan napas dalam-dalam, Rhea berusaha untuk tenang dan mencoba berpikir positif.Tidak ada yang terjadi.Rhea melangkahkan kakinya ke dalam. Dan begitu dia menginjak lantai unit tersebut, dia merasa langkahnya terasa berat. Langkah demi langkah yang ia ambil menjadi semakin berat dan lebih berat karena dia tidak melihat tamu kekasihnya di manapun, begitupun kekasihnya.Tanpa sadar kakinya menuntunnya menuju lorong kamar Enzo. Dari jauh dia mendengar suara jeritan nakal wanita yang samar keluar dari kamar Enzo yang tidak tertutup, membuatnya tertegun dan berhenti kembali. Suara itu terdengar familiar baginya. TIdak mungkin itu ….Kedua tangan Rhea gemetar dan dia mengepalkan tangannya erat berusaha menghentikan rasa kalutnya.Tidak ada yang terjadi. Tidak akan ada yang terjadi ….Entah sudah berapa kali Rhea ucapkan di dalam hatinya hanya supaya pikirannya tetap dingin dan tenang. Dan semakin mendekati kamar, Rhea mengulangi kalimat itu terus-menerus secara berlebihan hingga dia mendengar jeritan menjijikkan“Ah! Lebih cepat, Sayang!”Dengan wajah mengeras, Rhea melangkahkan kembali kakinya, kali ini berjalan cepat mengikuti suara yang tidak asing itu.Masuk ke dalam kamar, Rhea harus tertegun dan membeku. Di kamar yang beraroma menjijikkan itu, dia hanya bisa melihat kekasihnya bersenggama dengan seorang wanita tanpa bisa melakukan apapun. Rhea tidak bisa melihat wajah wanita itu selain rambut panjangnya. Siapa wanita berambut pirang yang dipeluk kekasihnya itu? Dari suaranya hingga rambutnya mengingatkan Rhea pada seseorang yang dia kenal. Saat wajah wanita itu akhirnya mendongak dan melihat wajah itu, sontak saja Rhea terkejut. Itu ... sahabatnya.Dua orang yang ia kenal tidak mengenakan busana apapun dan saling memberi kepuasan tanpa menyadari jika seseorang telah masuk. Enzo, kekasih yang ia cintai dan ia pikir adalah seorang pria setia sedang menggagahi satu-satunya sahabat Rhea, Andini.Terguncang dan tidak bisa melakukan apapun. Itu yang terjadi pada Rhea sekarang. Tubuhnya membeku seolah kakinya tertancap dengan paku di lantai, namun tidak sakit. Dadanya yang terasa sangat menyakitkan hingga menyesakkan. Dia bahkan tidak ingat jika tangannya masih mengepal sampai sekarang.Tiba-tiba tatapannya dan Andini bertemu namun anehnya Andini tidak terkejut seperti yang dialami Rhea. Wanita itu malah tersenyum dan mencium Enzo dengan lapar. Apakah dia tidak melihat Rhea tadi? Apakah itu hanya perasaan Rhea saja?Tapi kenapa Rhea merasa kesal?Rhea mulai mendapatkan kendali penuh atas dirinya. Melirik ke samping, dia mengambil laptop milik Enzo di atas meja dan menjatuhkannya di lantai untuk menarik perhatian dua orang yang sedang bersenang-senang itu. Dan seperti yang dia duga, Enzo dan Andini terkejut. Mereka secara naluriah menoleh ke pintu. Begitu melihat Rhea, Andini langsung menjerit takut lalu berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.“Rhea? Apa yang kamu lakukan di sini? Tunggu, apa itu MacBook-ku? Kenapa kamu menghancurkannya? Apa kamu tahu berapa banyak file penting di sana?”Rhea menatap Enzo. Pria itu memunguti celananya di lantai dan memakainya dengan santai.“Apa maksudnya ini?”Enzo mengusap rambutnya dan menghela napas ringan. “Kamu sudah melihatnya. Dan membuat alasan akan sia-sia di sini.”“Apa maksud semua ini?” Napas Rhea mulai berat ketika menekankan tiap kata.“Apa aku perlu menjelaskannya lagi?” Enzo berdecak. “Kamu gadis pintar, Rhe. Kamu pasti paham apa yang kami la—”“Aku bertanya kenapa harus dia?”“Aku tahu mengenai kondisi papamu. Dia ada di rumah sakit, kan? Dan aku tebak kedatanganmu kemari untuk meminta pertolongan untuk papamu.”Rhea mengernyit kaget. Dia tahu tapi tidak mengunjungi ayah Rhea? Betapa jahatnya dia!“Perusahaannya akan diambil alih oleh pamanmu, iya kan? Jadi kenapa aku harus tetap bersamamu? Kamu pikir aku akan menikahi wanita dari keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi? Aku akan mengaku, aku dan Andini … ”Penjelasan panjang lebar yang mengerikan dari Enzo hilang begitu saja dari indra pendengarannya. Dia terkejut untuk kesekian kalinya. Bisa-bisanya pria ini berbicara dengan begitu ringan seolah ucapannya tidak akan membuat Rhea sesak. Dia pikir hati Rhea terbuat dari besi? Mengetahui jati diri Enzo yang berbanding terbalik dari apa yang pria ini perlihatkan biasanya, rasanya sungguh menyakitkan.Rhea beralih pada Andini. Dia menatap wanita yang sedang menatapnya dengan air mata berlinang.Tunggu, kenapa kau menangis? Aku adalah korban yang sebenarnya. Dan kau yang melakukan kejahatan di sini. Jadi hentikan tangisan menjijikkanmu itu, Jalang Sialan.Hola, it's me Riri! WARNING!!! • Cerita ini adalah romansa dewasa. • Mengandung konten dewasa dan bahasa kasar. • JANGAN COPY CERITA INI DAN JANGAN POSTING INI DI WEBSITE APAPUN. • Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, lokasi, dan kejadian adalah produk dari imajinasi penulis. Kemiripan apa pun dengan orang yang sebenarnya hidup atau mati, tempat, atau peristiwa sepenuhnya kebetulan. Follow ig-ku untuk info cerita-ceritaku lainnya: @ririlidya7 Semoga kalian suka, selamat membaca cintaku!
"Rhe, bisa kamu suruh Enzo kemari? Ada yang ingin Papa bicarakan dengannya tentang kalian." Itu keinginan ayahnya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Lalu setelah melihat adegan sampah di depannya, apakah Rhea masih harus membawa Enzo ke hadapan ayahnya? Kepalan Rhea semakin kuat karena mendengar suara isakan pelan yang menyakiti telinganya. Ingin sekali dia mencakar Andini atau melakukan kekerasan apa pun padanya untuk meluapkan emosinya. Namun anehnya dia masih bisa mengontrol emosinya dan tidak ingin melakukannya karena ia tahu begitu dia bergerak selangkah saja, Enzo akan melindungi wanita sampah ini dan Rhea akan menjadi hiburan untuknya. “Sebenarnya sudah lama aku ingin memutuskan hubungan kita hanya saja aku belum memiliki waktu yang baik untuk membicarakan hal itu denganmu. Aku kasihan pada Andini karena harus menyembunyikan hubungan kami beberapa bulan ini. Aku harap kamu tidak memarahinya biar bagaimanapun kalian itu bersahabat.” Ah begitu ternyata …, batin Rhea.
"Benar. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan menyesal menikahinya." Mengerjapkan matanya, Rhea kembali sadar jika dia baru saja berkata hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. “Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?” Begitu pria itu membalas tatapannya, Rhea seketika tertegun. Tatapan dalam pria itu tampak tajam seolah menusuk ke dalam kepalanya. Kenapa dia tidak pernah melihat pria tampan dan panas seperti ini di negaranya? “Tidak juga.” Tatapan itu bertahan lama seperti ada magnet di antara mereka. Tidak ada antara Rhea dan pria asing itu yang ingin berpaling karena masing-masing dari mereka sedang mempelajari wajah di depannya. Namun, sangat disayangkan. Sebelum Rhea bisa selesai mempelajarinya, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Melihat nama ibunya di sana, dia yang seketika mengingat maksud kedatangannya kemari segera mengangkat panggilan ibunya dengan khawatir. “Halo, Ma
Prosesi pemakaman pagi itu berjalan khidmat dan lancar dengan diiringi rintik-rintik hujan. Kolega ayahnya, teman ibunya, bahkan beberapa rekan kerja dan teman kuliah Rhea menghadiri pemakaman tersebut. Semua orang yang menghadiri pemakaman mulai pergi secara bertahap menyisakan Ivanka, Rhea, dan 1 tamu mereka. Bahkan paman Rhea, adik kandung ayahnya sudah pergi bersama istri dan anak-anaknya. Ivanka menoleh ke belakang di mana seorang pria asing sedang sibuk berbicara dengan sopirnya di samping sebuah mobil. Tadi malam dia dibuat kaget dengan Rhea karena bukannya membawa Enzo, anaknya malah membawa pria yang tidak dia kenal ke rumah sakit. Dan sekarang pria itu juga datang ke pemakaman hari ini. Dia kemudian menatap anaknya yang duduk di depan makam ayahnya. “Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi Mama ingin kamu menjawab 2 pertanyaan Mama. Di mana Enzo? Andini juga tidak—” “Ma,” potong Rhea pelan membuat Ivanka berhenti bicara. “siapa itu Enzo dan Andini?” “…Rhe.” “Apa mereka k
“Jadi kau punya pacar? Dan dia hamil? Kenapa aku tidak tahu? Segeralah menikah.” “Aku bilang anak, bukan pacar.” Tony menatapnya dalam diam dan seperti biasa Maven tidak terusik sama sekali. Dia dengan santai mengelap mulutnya lalu berdiri. Dia menunduk pada kakeknya lalu berkata, “Hati-hati di jalan nanti, Kek. Aku akan menghubungimu setelah kamu tiba di rumah.” Maven berbalik dan mendekati pintu ruang privasi tersebut. Ketika dia memegang gagang pintu, suara kakeknya terdengar. “Jauhi skandal jika ingin mempertahankan posisimu di perusahaan.” Maven melirik ke samping. “Hanya itu yang bisa aku katakan sebagai kakekmu, bukan sebagai Komisaris.” Dan Maven pun keluar. Berjalan keluar dari restoran, Albar sudah berada di belakangnya dalam diam. Dia kemudian memberi perintah, “Cari beberapa wanita yang unggul yang belum menikah. Mau itu yang masih lajang atau bertunangan.” “Baik,” Albar menjawab seperti robot. Lalu tepatnya di malam itu, 5 hari kemudian Maven pergi ke unit Albar u
Sebelumnya, Rhea berkata dia akan memiliki suatu urusan dengan pria yang baru beberapa kali Ivanka lihat dalam kurang dari dua hari ini. Dan sekarang, begitu Rhea kembali bersama pria itu yang memperkenalkan dirinya Maven, Maven berujar, “Kami akan menikah.” “…?!” Syok dan terkejut, Ivanka tidak bisa mengatakan apapun. Maven mendeklarasikan sebuah pernikahan dengan santai dan tenang di hadapan ibu Rhea. Apa perlu Ivanka ingatkan dia baru saja bertemu dengannya? Belum lagi Enzo masihlah pacar Rhea. Bicara tentang Enzo, semenjak tadi malam Ivanka menghubungi Enzo namun pria itu tidak mengangkat satupun panggilannya. Ivanka ingin tertawa yah mungkin saja Maven sedang bergurau, tapi kedua orang di depannya sama sekali tidak tertawa. Dia bingung, masih kaget, dan kepalanya mulai terasa sakit. Alhasil, Ivanka menatap anak perempuannya menuntut penjelasan. Ketika Maven berujar sebelumnya, Rhea memejamkan matanya dengan mengerang dalam hati. Padahal di mobil sebelumnya Rhea sudah berkata u
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan akan menikah membuat Tony menatapnya dingin.Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan Rhea tahu Tony tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Pria tua ini memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena dia sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jan
“Anda sekarang dapat mencium pengantin wanita.” Rhea melirik ke atas tanpa mendongakkan kepalanya. Tanpa orang lain tahu, dia menggenggam tangannya dengan kuat. Ya, dia gugup. Rhea lupa tentang sesi ini. Dan mereka belum berlatih sebelumnya agar terlihat natural. Dia takut seseorang akan melihat kebohongan mereka. Di balik wajah tenang Rhea, Maven bisa melihat kegugupan yang terbaca di manik mata wanita itu. Dia menangkup wajah Rhea dan bertanya sangat pelan yang hanya bisa didengar mereka berdua saja, “Kamu juga belum pernah berciuman?” Dengan kerutan tidak senang di antara alisnya yang rapi, Rhea menjawab, “Tentu saja sudah.” Maven tersenyum tipis lalu berkata, “Kalau begitu izinkan aku.” Maven menundukkan kepalanya dan mendekati bibir Rhea. Dia mencoba yang terbaik yang dia bisa untuk tetap bergerak lembut agar Rhea bisa menikmati ciuman mereka. Dan nyatanya selang beberapa saat, dia bisa merasakan Rhea kembali santai. Itu ciuman yang menyenangkan. Lembut, tidak terburu-buru
Satu tangan berada di pinggang ramping Rhea, tangan lainnya menggenggam tangan kecil wanita itu. Dan Rhea membawa tangannya yang bebas ke bahu lebar Maven. Dengan lantunan musik yang lambat, mereka mulai bergerak perlahan. Maven menurunkan pandangannya ke bawah dan melihat Rhea yang tersenyum tipis dengan mata terpejam. Wanita ini menikmati dansa mereka. Dari yang Maven pelajari tentang Rhea, Rhea anak satu-satunya dari pasangan Roy dan Ivanka. Dia menjadi seorang kurator begitu menyelesaikan studinya di perguruan tinggi ternama. Dia anak yang populer di masa-masa sekolahnya dan berteman dengan siapapun tanpa pandang bulu. Masa depannya sangat cerah saat ayahnya masih menjalankan perusahaan finansial. Ayahnya Sosok yang patut dicontoh karena strateginya di tiap tahun selalu memberikan hal baru dan berkembang. Ketika Roy mulai sakit-sakitan, perusahaan itu dengan perlahan mulai kehilangan tumpuannya. Ya, kandidat paling kuat memang saudara Roy, Wisnu untuk mengganti posisinya. Tapi Ma