Amel masih kecil untuk berpergian jauh tanpa orang tua di sisinya, bahkan sampai ke Madiun dengan transportasi bis."Madiun keras, Din. Aku takut dia kenapa-kenapa," ujarku tak sepenuhnya salah. Andin tidak membantah dia menyetujuiku._Tring!_Dering ponsel yang sama menginstrupsi aku dan Andin. Frans meneleponku. Dengan gesit aku menjawab telepon."Amel gimana, Frans?" tanyaku drngan khawatir."Maaf, Mbak. Aku sudah berkeliling di terminal, Amel sama sekali nggak ada di sini," tuturnya mengagetkanku.Tubuhku yang semula berdiri sangking khawatir, sontak jatuh ke kursi dengan lemas. Andin turut menghela napas sembari beristigfar, dia mendengarnya karena aku membuka suara dari seberang."Terus gimana?" tanyaku frustasi. Tak bisa lagi aku berpikir jernih, yang ada di pikiranku sekarang adalah kemungkinan-kemungkinan buruk."Mbak tenang dulu, aku akan berusaha mencari lagi. Mbak jangan stress!" tekan Frans memberiku nasehat.Aku tak menghiraukan, mataku seketika kosong. Tak kuangap suara
Aku semakin hancur. Perasaan gelisah dan khawatir yang semula reda kembali menikam tubuhku. Aku tidak bisa lagi berpikir otakku kosong dan pandanganku tak menemukan cahaya.Andin menatapku lekat, dia tidak berhenti memperhatikan selepas telepon terakhir dari Frans. Entah apa yang dia pikirkan, aku tidak tahu persis.Sampai sore hari tiba, waktunya toko menutup gerai aku tak berniat beranjak sekalipun beberapa karyawan berpamitan padaku seraya mengajakku pulang bersama. Namun, aku enggan. Seakan akan suatu waktu Amelia akan berlari memanggilku lalu memeluk tubuh ini.Semua karyawanku masih saling berbisik, lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang mereka katakan, yang kurasakan hanya suara mereka masuk ke telinga kiri kemudian keluar dari telinga kanan. Begitu terus. Sampai akhirnya tubuhku terhuyung ke depan hingga terantuk pinggiran meja.Seketika aku terhenyak dari pikiran panjang yang menyesatkan. Masih untung ada Andin yang mampu gerak cepat dalam menangkap limbungnya tubuhku. Aku h
Aku merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar dengan mata setengah terbuka. Antara lelah dan ngantuk. Ketika mataku hampir tertutup, mendadak aku teringat satu hal dimana hatiku langsung berbunga-bunga.Bergegas aku bangkit dari tidur, langsung saja kucari ponsel kebangganku di dalam tas yang seharian kubawa ke toko. Aku ingat temanku yang gerak cepat dan banyak chenel buat mencari orang hilang. Iya, Jupri. Aku harus hubungi laki-laki itu.Setelah menemukan ponsel, seketika aku mencari kontak bernama Jupri di aplikasi chat.Masuk ke dial panggilan suara, aku kembali ke posisi awal yaitu berbaring di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Tak lama kemudian sebuah jawaban kuterima, sontak senyum simpul merekah di wajahku."Hallo, Ann. Ada apa nih?" tanya Jupri seperti biasa menyapaku."Tumbenan hubungi aku," lanjutnya. Mengingatkanku betapa aku melupakan sosok Jupri setelah kehidupanku yang sekarang.Aku terkekeh. "Maaf, Jup. Lagi sibuk di toko kueku sekarang, baru bi
Karena merasa sudah cukup aku berbincang dengan Jupri, maka sambungan itu aku putuskan kemudian sekitar malam aku akan keluar untuk berbicara secara langsung dengan pria itu. Sepertinya aku juga harus berhadapan langsung dengan Jupri untuk menghargai dia dan aku janji bertemu di sebuah cafe sederhana.Tiba-tiba kudengar pintu kamarku diketuk dan terdengar suara Andin. Aku pun dengan malas beranjak dari ranjang guna membuka pintu itu. Tampak wajah lesu dari gadis itu. Andin begitu kusut."Mbak, maafkan Dahlia ya!" lirihnya yang hampir tidak bisa aku dengar."Maaf untuk apa, Ndin? Aku tidak mengerti.Aku melangkah untuk duduk di ruang keluarga agar bisa berbicara dengan leluasa. Dan Andin pun mengikuti langkahku. Kuajak dia duduk santai dan mulai berbicara."Amel juga butuh kiriman energi dari Bundanya, biar dia bisa bertahan sampai Frans menemukannya!" lanjut Andin seketika menyugestiku."Mbak juga harus kuat dan istirahat cukup agar Amel yang di sana menjadi anak yang berani. Mengenai
Di luar sudah gelap. Aku berusaha mengistirahatkan tubuhku tapi tidak bisa. Aku terus berguling ke kanan dan ke kiri. Saat mencoba memejamkan mata, yang muncul justru segala skenario buruk soal Amel. Aku benar-benar tidak tenang. "Amel, di mana kamu, Nak?"Tiba-tiba saja aku kembali teringat tentang Jupri. Ia sudah mengiyakan permintaanku untuk membantu mencari Amel. Barangkali saja malam ini sudah ada kabar. Dan aku juga melupakan janji ketemu malam ink. Hadeh.Segera kuraih ponsel yang ada di atas nakas, lalu kucari nomor Jupri. Begitu ketemu, tanpa menunggu lebih lama, aku langsung meneleponnya. Setelah menunggu selama beberapa detik, akhirnya telepon itu tersambung. "Ya, halo, Ann?" jawab suara di seberang sana. Mendengar suara Jupri sejenak membuatku tenang. Mengetahui ada yang mau membantuku, membuat beban di pundak sedikit menghilang. Aku yakin dengan bantuan Jupri, Amel pasti lebih cepat ketemu. "Malam, Jup. Sorry mengganggu. Maaf aku tidak bisa ketemu dengan kamu malam in
Sebuang ungkapan hati yang sudah lama ingin aku dengarbsejak dulu kini bisa lolos juga dari pria kera ini. Entah mengapa ada gelenyar aneh yang menjalar pada relung hayi terfalam. Terbayang senyum lelkai itu saat kelulusan masa silam."Aaannn, aku lulus dengan nilai terbak!: teriaknya kala itu."Wah, selamat. Mau lanjut ke mana?" tanyaku.Wajah Jupri seketika menunduk sedih, sorot mata yang aku tangkap lelkai itu sedang banyak masalah. Dan aku tidak berani untik bertanya lebih jauh. Cukup kudengar cerita yang mengalir dari bibir tipisnya yang memerah. Lelaki itu sama sekali tidak merokok atau pun candu minuman keras selayaknya pemuda kelas tiga. Jupri adalah lelaki yang lurus-lurus saja.Citra yang positif selallu tersemat pada diri lelaki itu, maka tidak heran jika dia banyak yang naksir. Bahkan guru pun memujanya karena kepibtaran otaknya. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga dia menjadi preman. Aku tidak tahu pasti."Ann!" panggil Jupri."Iya, habis ini aku tidur kok." Aku menco
Kepalaku terasa berat. Hari ini, aku masih belum bisa membantu di dapur atau menata roti-roti yang sudah jadi di etalase. Badanku rasanya lemas. Semalam, aku susah tidur. Setiap memejamkan mata, pasti yang muncul langsung wajah Amel. Kata-kata Jupri semalam pun tidak ubahnya seperti bara yang cepat padamnya. "Mbak sudah sarapan?" tanya Andin sambil membawa nampan berisi roti dan segelas susu. Aku pun menggeleng. "Aku tidak bisa sarapan, Din. Makanannya tidak bisa tertelan. Bagaimana bisa aku makan sedangkan Amel di luar sana tidak tahu makan apa?"Andin terlihat menghela napas pelan, lalu menarik kursi di hadapanku. Ia meletakkan nampannya di atas meja lalu memindahkan roti dan susu tepat di depanku. "Mbak, Amel butuh Mbak. Jangan sampai Mbak tumbang sekarang. Ini dimakan, Mbak. Sedikit yang penting ada makanan masuk."Benar kata Andin. Aku harus paksakan makanan ini masuk. Siapa yang mau cari Amel kalau aku nanti masuk rumah sakit? Akhirnya aku raih roti dari Andin lalu memakanny
Di sinilah aku sekarang, warung soto. Pelanggan tampak ramai. Meja-meja terlihat penuh. Untung aku datang tepat waktu, jadi aku bisa mengamankan satu meja untuk aku dan Jupri. "Mau pesan apa, Mbak?" tanya seorang pelayan sambil membawa sebuah catatan kecil. "Oh, pesannya sebentar lagi boleh? Teman saya belum datang," balasku.Pelayan itu mengiyakan kemudian pamit. Aku langsung mengecek ponselku. Tidak ada notifikasi apa pun di sana. "Mana sih si Jupri?" Aku melirik jam yang melingkar di tangan. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Sebenarnya bukan masalah serius. Hanya saja, mengingat hilangnya Amel, membuatku jadi mudah khawatir dengan berbagai hal. "Kalau terlambat, seharusnya dia kasih tahu. Apa jangan-jangan ...."Aku menggeleng keras. Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku selalu berpikir yang buruk-buruk terus? Saat sedang kebingungan itulah, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. Aku langsung terlonjak. "Ann, ini aku, Jupri!" ucap Jupri dengan senyumnya