Share

Bab 6

Bab 6

"Rumah Mas Feri? Memangnya Mas Feri punya rumah, Bu?" jawabku geram karena mertuaku ini. Dia memang biasa hidup kaya dan berkecukupan, tapi jangan harap di saat ia susah aku yang harus menanggung hidupnya.

"Yang kamu tempati itu rumah anak saya!" suaranya makin melengking membuat telingaku sakit.

"Kurang jelas ya, ini rumahku bukan Mas Feri!"

"Feri juga punya hak, selama menikah suami istri itu harta bersama!"

"Tapi harta istri tetap milik istri! Ibu gak malu menumpang di rumahku. Pergi saja ke rumah Karin menantu kesayanganmu!" jawabku ketus dan mematikan sambungan telepon. Lama-lama telingaku sakit dan berdenging mendengar suara Ibu mertua.

šŸšŸ

Mas Feri pulang sendirian dan langsung menuju kamar tanpa berucap sepatah katapun. Keluarganya tak kembali ke rumah ini, aku pikir mereka akan kembali lagi bersama suamiku karena tidak suka dengan kontrakan itu. Rumah kontrakan itu cukup bagus dengan 2 kamar tidur, dapurnya juga tidak sempit. Aku harus mengeluarkan uang 750 ribu untuk satu bulan. Tapi mereka masih tak suka, mungkin kebiasaan hidup di rumah mewah membuat mereka tak suka dengan kontrakan yang menurutnya kecil dan sempit bagi mantan orang kaya.

Aku masih cukup sibuk, untuk mengecek orderan yang masuk. Alhamdulillah tokoku semakin ramai bahkan ketika ada event bisa tembus ribuan order.

"Selama ini aku sadar, telah menikahi wanita yang salah!" suara Mas Feri membuatku mendongak.

"Aku selalu menghargai kamu Dek, sebagai istri yang penurut, dan setia. Selalu sabar dengan keadaan rumah tangga kita, tapi hari ini aku melihat sifat aslimu, kamu itu wanita yang egois!"

"Egois?" ulangku.

"Ya egois dan serakah! Selama ini aku juga ikut membantumu, menyemangati ketika kamu mulai merintis usaha. Apakah kata-kata semangat dariku, bagimu itu tidak penting? Kamu tahu kan kondisiku bagaimana dek, tak bisa banyak membantu tenaga karena sakit dulu!" ucap Mas Feri menatapku seakan membenci diri ini.

"Aku menghargai semua yang kamu lakukan untukku, Mas. Kenapa kamu bisa bilang aku serakah? Apakah kamu juga lupa bagaimana aku pontang-panting sendirian mencari biaya untuk kamu berobat dan bisa melakukan operasi kala itu, membuat hidup kita berubah dari miskin hingga berkecukupan seperti sekarang? Apakah aku pernah menghinamu Mas dan tidak menghargaimu seperti suamiku, sebelum kamu mengataiku harusnya kamu introspeksi diri! Kamu telah berubah karena keluargamu, kamu lupa dengan hinaan mereka bahkan mereka tidak mau membantu ketika kita kesusahan, kenapa harus aku yang menanggung hidup keluargamu? Kenapa kamu salahkan aku ketika aku menyuruh mereka pergi dari rumah ini! Bukankah Kamu sendiri yang bilang padaku jika mereka hanya tinggal di rumah ini sementara," aku menghembuskan nafas karena berusaha menahan amarah yang mungkin bisa meledak lebih dari ini.

Baru kali ini aku melihat Mas Feri menatapku dengan sorot kebencian, semudah itu ia berubah.

"Tidak usah membahas perlakuan keluargaku yang dulu, kita sesama manusia itu harus saling memaafkan. Manusia itu bisa khilaf, kamu selalu saja membahas yang dulu. Lihat untuk hidup yang sekarang jangan mengingat masa lalu jika itu hanya menyakitkan!" ujarnya seakan bijak dan seperti aku lah pendosa di sini.

"Sayangnya aku tidak akan melupakannya. Karena hinaan mereka lah yang membuatku bertekad ingin membalas semua itu dengan kesuksesanku, dan kamu lihat Mas, bagaimana sikap keluargamu mereka tetap tidak berubah. Lihat saja ibumu memanggil namaku saja seperti alergi, mereka masih sama kenapa aku harus menghargai keluargamu!"

"Berhenti menjawabku Nayla! Kamu pintar sekali sekarang berbicara, harta kita yang sekarang ini juga ada bagianku jadi aku berhak membantu keluargaku. Aku ingin ibuku dan Mbak Misni tinggal di rumah ini lagi, aku akan membawa mereka datang kemari. Kontrakan itu sangat tidak layak untuk mereka. Kamu tahu kan Ibu tidak bisa hidup di rumah seperti itu, mereka terbiasa hidup serba berkecukupan!" ujar Mas Feri kembali membela keluarganya. Seakan keluarga kerajaan saja yang harus di istimewa kan.

"Aku tidak peduli mereka terbiasa atau tidak, harusnya mereka sadar diri karena mereka bukan orang kaya lagi dan rumah ini adalah milikku, tidak ada kata harta bersama. Jika kamu masih ingin membawa mereka datang ke rumahku, lebih baik kamu ikut saja dengan mereka tinggal di sana!" jawabku.

"Jadi kamu mengusirku?!" Mas Feri mengangkat tangannya seakan ingin menamparku.

"Apa Mas tampar aku demi membela keluargamu!" aku berdiri dan menatap Mas Feri.

Mas Feri menurunkan tangannya.

"Aku tak akan pergi, hak-ku tetap ada di sini!" Mas Feri berlalu.

Tak bisa kubiarkan. Semua surat penting harus kuamankan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status