Share

Bab 7

Bab 7

Aku menuju dapur berniat untuk memasak, karena hari ini Sari tidak datang, ia sedang sakit dan sudah mengabariku dari semalam.

Ketika aku sampai di dapur, aku melihat Mas Feri sedang mencabut kabel kompor listrik di dapur.

"Mau kamu apakan kompor itu, Mas?" tanyaku.

"Aku mau membawa kompor ini ke rumah kontrakan Ibu, juga beserta kulkas magic com," jawabnya santai tanpa menoleh dan akan mengangkat kompor.

"Aku tidak mengizinkan kamu membawa semua peralatanku ke rumah ibumu,"

"Aku tidak butuh izinmu, ibu di sana tidak punya kompor juga tidak ada kulkas. Di sana juga tidak ada AC jadi aku akan membelikan Ibu kipas angin yang baru!"

Aku gregetan dan mendekati Mas Feri untuk menghalanginya.

"Jangan bawa barang-barangku!" aku menghardik Mas Feri karena tidak tahan menghadapi sikapnya yang semakin egois, bertindak semaunya.

"Ini salahmu, kamu kan yang mau keluargaku pindah! Jadi tak usah protes jika aku membantu Ibu," jawabnya dan melotot menatapku.

"Jika mau membantu Ibumu, beli menggunakan uangmu sendiri. Yang kamu hasilkan dari keringatmu! Buman mengambil barangku," jawabku geram.

"Sombong kamu, mentang-mentang bisa mencari uang sendiri. Aku seperti tak ada harga dirinya lagi! Harusnya dari awal tidak kuizinkan kamu membuka usaha, jika jadinya kamu menjadi istri durhaka. Bisa menghasilkan uang membuat menginjak harga diriku!" ucapnya dan mencerca diriku.

"Jika kamu tidak mengizinkan aku membuka usaha, siapa yang akan membayar hutang biaya ketika kamu masuk rumah sakit? Apakah kamu bisa membayar uang itu, jika kamu tidak dioperasi saat itu bisa saja kamu sudah sekarat. Beruntung Mas kamu masih hidup karena kerja kerasku, sedangkan keluargamu justru tidak peduli! Jika aku juga meninggalkanmu juga ketika sakit, mungkin kamu sudah mati!"

"Kamu..!" Mas Feri menunjukku.

"Kenapa, memang benar kan! Bahkan saat kamu sudah sekarat saja mereka mencemooh, bukannya membantu! Sekarang kamu peduli pada penderitaan mereka, silakan jika itu maumu, kalau aku sih ogah! Cari uang sendiri Mas, kerja. Kamu kan sudah sehat, aku tidak akan meminta gajimu kok, serahkan saja pada keluargamu yang lebih membutuhkan!" ujarku sesantai mungkin. Pasti Mas Feri merasa amat terhina dengan ucapanku, maafkan aku Mas. Karena aku tidak mau di manfaatkan.

Mas Feri berlalu tanpa menjawab sepatah katapun.

šŸšŸ

[Bu Nayla, Pak Feri datang ke toko. Ia meminta uang hasil penjualan, sebaiknya Bu Nayla datang kemari. Karena Pak Feri memaksa.] Diana karyawanku mengirim pesan. Ternyata Mas Feri menuju toko untuk mengambil uang, tak bisa kubiarkan.

Gegas aku mengambil kunci motor tak lupa sekalian mengambil surat penting yang kusimpan di lemari. Setelah semua kumasukkan ke dalam jok motor, bersiap melajukan motor menuju toko. Jangan sampai uang itu di dapatkan olehnya.

Sekitar 10 menit aku tiba di toko, dan terdengar keributan dari suara Mas Feri.

"Kamu sudah saya pecat, kenapa masih di sini!" Mas Feri membentak Diana hingga membuat gadis itu ketakutan.

"Tapi Pak, semua harus izin Bu Nayla. Saya tak bisa menyerahkan kunci laci penyimpanan uang termasuk pada Pak Feri. Jangan pecat saya Pak," suara Diana memohon.

"Serahkan kunci itu, dan saya sudah memecatmu. Sekarang bisa pergi dari toko ini!" Mas Feri membentak Diana.

"Diana, kembali bekerja, tidak ada yang bisa memecat kamu!"

Mas Feri menatapku yang berjalan ke arahnya.

"Kamu tidak malu Mas, ingin mencuri uangku!" bisikku padanya.

"Kenapa aku harus malu, itu juga uangku. Uang istri juga uang suami, jika aku tidak melakukan ini kamu tidak akan mau mengeluarkan uang untukku!"

"Salah, uang Istri tetap uang istri. Kamu tidak berhak memintanya! Bukankah aku sudah memberimu uang, tapi kamu habiskan untuk menyenangkan keluargamu kemarin. Lebih baik kamu pergi Mas dari sini, daripada mencuri!" tegasku lirih.

Mas Feri pergi, aku menghembuskan nafas lega karena ia tidak membentakku di depan umum. Aku juga tidak ingin bertengkar dan disaksikan oleh para karyawanku di sini.

**

Ibu menatapku khawatir ketika aku menyerahkan surat penting itu padanya.

"Kamu sedang ada masalah dengan, Feri?" tanya Ibu.

Aku menceritakan perubahan sikap Mas Feri. Aku tidak mau menutupi kegelisahan yang kurasakan.

"Aku takut Bu, Mas Feri semakin nekat dan memberikan sertifikat rumahku pada Ibunya. Aku tidak mau hasil jerih payahku habis untuk mereka,"

"Semoga Feri berubah, dan seperti dulu lagi. Ibu berharap kalian jangan sampai bercerai," ucap Ibu.

Aku tahu pasti Ibu pasti tak menginginkan kehancuran rumah tangga, di alami putrinya. Tapi aku tak menjamin karena perubahan sikap Mas Feri.

[Kamu bercerai saja dengan Feri, agar adikku mendapat harta gono gini! Jika begini caranya, kamu telah merampas hak Feri, tak bisa menikmati uangnya sendiri.] pesan Whats*pp dari Mbak Misni.

Jadi sekarang ia meminta kami untuk bercerai, berharap harta gono gini. Tak akan, karena Mas Feri tak akan mendapatkan apapun.

[Picik sekali, kamu ingin kami bercerai hanya karena harta. Karena kalian sudah jatuh miskin.] balasku sengit.

[Karena kamu menahan hak Feri. Untuk apa dia bertahan mempunyai istri yang penampilan saja tertutup, tapi hatinya seperti ibl*s! Feri harus menanggung hidup Ibuku dan keluarganya. Sebagai anak lelaki, dia harus bertanggung jawab, kamu jangan menghalangi!] Mbak Misni kembali membalas dan membahas anak lelaki harus bertanggung jawab.

[Silakan saja minta tanggung jawab dari adikmu, tapi harus menggunakan hartanya sendiri. Karena dia tak punya apa-apa! Bukankah anak lelaki Ibu juga ada Gilang, kenapa hanya Mas Feru yang di tuntut. Jangan tebang pilih jika ingin bijak!] mengirim pesan seakan ia bijak, padahal pilih kasih. Gilang anak kesayangan ibunya tak di tuntut apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status